Tembi

Yogyakarta-yogyamu»UPAYA PERLINDUNGAN IKAN DAN LINGKUNGANNYA

02 Jun 2010 10:26:00

Yogyamu

UPAYA PERLINDUNGAN IKAN DAN LINGKUNGANNYA

Kita mungkin belum banyak yang tahu tentang Undang-Undang RI No. 31/2004 yang isinya antara lain berbunyi Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pelanggaran terhadap Pasal 12 Pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Di daerah Banyu Urip, Jatimulyo, Dlingo, Bantul, Propinsi DIY Undang-undang tersebut dituliskan dalam sebuah papan. Papan tersebut kemudian dipasang di pinggiran Sungai Oya. Papan dipasang di dekat jalan desa yang menghubungkan desa dengan sungai tersebut. Jalan desa ini bisa dikatakan merupakan jalan satu-satunya di wilayah dusun itu yang menghubungkan dusun dengan sungai. Jadi siapa pun orang yang akan memasuki Sungai Oya dari arah Banyu Urip mau tidak mau harus melalui jalan ini sehingga papan peringatan ini hampir pasti dilihat dan dibaca oleh orang-orang yang melintasi jalan tersebut.

Papan peringatan sebagai upaya pelestarian ikan dan lingkungannya (dalam hal ini Sungai Oya) di wilayah ini memang sangat urgen mengingat Sungai Oya merupakan sungai yang cukup potensial habitat ikannya. Selain itu Sungai Oya di wilayah ini juga relatif belum banyak unsur pencemarnya. Mumpung masih demikian, sejak awal masyarakat di lingkungan wilayah ini diingatkan untuk tidak mencoba-coba mengganggu dengan cara dan tujuan apa pun akan sumber daya ikan dan lingkungannya.

Sayangnya hingga saat ini pelanggaran atas hal-hal semacam itu, yakni hal-hal tentang perusakan lingkungan, pemusnahan sumber daya hayati, termasuk perusakan dan pencurian Benda Cagar Budaya nyaris tidak pernah diangkat menjadi kasus-kasus pelanggaran hukum dengan sanksi atau denda yang bisa membuat pelaku menjadi jera. Hampir semua kasus-kasus tersebut di atas selalu berlalu tanpa penyelesaian secara hukum. Boleh dikatakan semuanya lewat begitu saja. Akhirnya hal semacam ini tidak memberikan pelajaran yang baik bagi pelaku pelanggaran. Dengan begitu lalu timbul asumsi bahwa perusakan lingkungan tidak akan menimbulkan resiko apa-apa bagi pelakunya. Hal demikian bisa dicermati bukan hanya dalam kasus yang dituliskan ini. Hal demikian bisa dicermati di lingkungan terdekat kita masing-masing.

Sesungguhnya negara Indonesia memiliki banyak kekayaan alam dan budaya. Sayangnya kita sebagai bangsa justru tidak pernah menghargai semuanya itu. Kita menganggap bahwa kita boleh memilikinya semau-mau kita. Kita boleh merampok dan menyikatnya asal kita mau dan mampu. Apalah artinya orang lain, generasi berikut. Mereka semua akan menemukan nasib baiknya sendiri-sendiri. Mungkin demikian pikiran orang-orang yang melakukan perusakan lingkungan atau katakanlah perampokan lingkungan dengan sumber daya hayatinya.

Ada pula yang beralasan bahwa karena kita lapar dan tidak punya uang, maka kita menyikat apa pun yang ada di lungkungan sekitar. Ketika lingkungan terlanjur rusak, tercemar, dan sebagainya orang pun bisa beralasan: lapar mendorong kami melakukan perusakan, pelanggaran, dan perbuatan-perbuatan buruk yang lain.

Sebenarnya semua itu berpulang pada bisikan hati nurani. Hukum, aturan, larangan, bahkan ancaman tidak akan efektif jika orang memang telah gelap nuraninya. Akan tetapi hukum, aturan, dan larangan itu bukannya tidak penting. Ia menjadi penting karena ia menjadi media pengingat, cermin, dan rambu yang bisa mengarahkan nurani orang untuk berbuat atau bertindak lebih baik. Mengarahkan orang untuk berpikir ulang untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain maupun diri sendiri.

Papan peringatan yang dipasang di Banyu Urip, Dlingo, Bantul ini sekalipun keletakannya jauh dari perkampungan. Bahkan di sebuah ladang di pinggiran Sungai Oya namun efektif sebagai media pengingat atau peringatan bagi warga setempat untuk menjaga Sungai Oya dan lingkungannya. Jika pun ada orang asing masuk wilayah ini dan berniat melakukan ”penggarongan” ikan lebih-lebih dengan cara meracun atau menyetrumnya, mereka akan berhadapan langsung dengan warga setempat. Memang, warga setempatlah yang sesungguhnya menjadi pengawal garda depan untuk hal-hal yang demikian. Jika warga setempat tidak peduli, maka papan peringatan yang dipasang pun akan kehilangan fungsi.

a. sartono k.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta