Stasiun-stasiun Kecil di Jogja (3)

Stasiun-stasiun Kecil di Jogja (3)

Perjalanan menyusuri stasiun kecil-lama pun dilanjutkan Tembi setelah sebelumnya Tembi berhenti sebentar untuk mengabadikan Stasiun Winongo yang kelihatan lebih renta dibandingkan stasiun-stasiun sebelumnya (Dongkelan dan Ngabean). Kerentaan bangunan Stasiun Winongo ini menjadi kelihatan semakin memprihatinkan karena tampaknya stasiun ini tidak mendapatkan sentuhan yang cukup memadai dibandingkan dengan Stasiun Ngabean dan Dongkelan.

Dari Stasiun Winongo perjalanan Tembi dilanjutkan menyusuri jalan dusun menuju ke timur dan tembus ke Jalan Bantul (sisi selatan Sungai Winongo). Perjalanan dilanjutkan ke arah selatan dengan menyusuri Jalan Bantul. Kini yang hendak dicari Tembi adalah Stasiun Cepit. Menurut keterangan yang diperoleh Tembi Stasiun Cepit berada di sisi utara Pertigaan Cepit pada jarak sekitar 50-100 meter. Posisinya berada di barat jalan Bantul. Sampai di lokasi seperti yang didapatkan Tembi, Tembi tidak menemukan satu bentuk bangunan pun yang mengindikasikan bahwa bangunan itu adalah bangunan stasiun. Kembali Tembi bertanya kepada penduduk sekitar.

Menurut penduduk setempat Stasiun Cepit dulu memang pernah ada di lokasi seperti yang diceritakan Tembi di atas. Menurut sumber setempat Stasiun Cepit dulunya bukan merupakan bangunan permanen. Setengah dari dinding bangunan stasiun ini dibangun dari bahan berupa papan kayu. Sementara setengah dinding bagian atasnya dibangun dari anyaman bambu (gedhek). Begitu stasiun ini tidak berfungsi sebagai stasiun lagi segera saja bangunan Stasiun Cepit ini cepat menjadi rusak dan akhirnya kemudian digantikan oleh bangunan baru yang difungsikan untuk warung dan pemukiman.

Stasiun-stasiun Kecil di Jogja (3)

Ya, Stasiun Cepit telah tiada dan tanpa bekas. Tembi kembali meluncur ke arah selatan menuju Stasiun Bantul. Stasiun Bantul berdiri di ibukota Kabupaten Bantul. Keletakan Stasiun Bantul berada di sisi timur Jalan Bantul (Jalan Jenderal Sudirman, Bantul), tepatnya di sisi selatan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Bantul. Stasiun Bantul saat ini telah berubah fungsi menjadi warung makan di bagian utaranya. Sementara ruang bagian selatan digunakan untuk usaha bengkel sepeda motor. Warung makan di tempat ini juga dinamakan ”Warung Stasiun” yang mungkin akan mengingatkan orang bahwa bangunan yang digunakan untuk warung itulah yang dimaksud sebagai Stasiun Bantul. Keberadaan Stasiun Bantul tidak semenyolok stasiun-stasiun lainnya karena keberadaan stasiun ini sekarang berderet dan berjejalan dengan bangunan lain yang memenuhi sisi timur Jalan Jenderal Sudirman Bantul.

Pada Stasiun Bantul ini Tembi singgah sebentar. Sekadar membeli teh panas dan sepiring nasi dengan sayur dan lauk. Di samping itu Tembi sempat berbincang dengan pemilik warung tersebut (Bu Nining). Intinya pemilik warung telah menempati warung bekas stasiun itu sejak puluhan tahun yang lalu. Ia juga mengatakan bahwa telah banyak orang mampir ke warung ini untuk memotret dan menanyakan perihal Stasiun Bantul. Namun pemilik warung tidak bisa bercerita banyak mengenai sejarah Stasiun Bantul.

Usai menikmati makan dan minum di Warung Stasiun Bantul Tembi melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Palbapang. Stasiun Palbapang terletak di sisi barat Perempatan Palbapang, Bantul. Posisinya berada di sisi utara jalan yang menghubungkan Palbapang-Srandakan. Stasiun Palbapang ini memiliki arah hadap ke utara. Kini Stasiun ini dicat dengan paduan warna biru tinta dan putih (abu-abu). Bangunan Stasiun Palbapang cukup terawat seperti halnya Stasiun Ngabean dan Dongkelan. Pada Stasiun Palbapang inilah perjalanan Tembi diakhiri. Dari sekian perjalanan antarstasiun kecil yang tidak lagi memiliki fungsi sebagai stasiun itu Tembi mencoba membayangkan bagaimana romantisnya suasana perjalanan dengan kereta api ”kluthuk” masa itu. Orang bisa berbincang asyik di dalam gerbong sambil memandangi pemandangan alam nan indah. Lembah, sungai, bukit-bukit, areal persawahan, kampung-kampung, kebun, semuanya.

Stasiun-stasiun Kecil di Jogja (3)

Kini hal demikian tidak mungkin lagi terjadi. Apa boleh buat. Zaman terus melaju meninggalkan jejak-jejak kesejarahan yang kadang menjadi remang-remang bahkan gelap dan misterius. Penyingkapan jejak-jejak semacam itu bukannya tidak penting. Ia menjadi penting sebagai pijakan untuk melangkah ke zaman kemudian. Tidak ada zaman ini jika tidak ada masa atau zaman lalu. Tidak ada masa yang akan datang jika tidak ada masa kini. Demikian. Kereta api yang menyusuri dusun-dusun kecil di Jogja telah mulai ditinggalkan. Sebenarnya Tembi masih ingin melacak jejak stasiun kecil Kota Gede, Brosot, Sewu Galur, dan Gading. Akan tetapi mungkin hal itu bisa dilakukan di lain waktu.

Stasiun-stasiun kecil mulai ”mati”. Bus dan pesawat terbang telah menggantikan. Kendaraan pribadi turut meninggalkan kereta api dan stasiunnya. Berjibunlah kendaraan pribadi. Marilah menuai macet, semrawut, dan pemborosan energi yang tak terbendung sekaligus menumpahkan segala polutan di muka bumi.

”Naik kereta api tut...tuuut...tuuuut, siapa hendak turut......”

Tamat

a.sartono

sumber: potensidaerah.ug.ac.id.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta