Tembi

Yogyakarta-yogyamu»SEPEDA DI ANTARA KENDARAAN BERMOTOR

01 Jan 2008 09:00:00

Yogyamu

SEPEDA DI ANTARA KENDARAAN BERMOTOR

Orang bilang di Yogya mudah ditemukan sepeda. Itu betul. Sampai tahun 1970-an, atau bahkan pertengahan tahun 1980-an sepeda masih melenggang di jalan-jalan. Anak-anak sekolah, mahasiswa bahkan pegawai kantor menggunakan sepeda untuk menuju tempat belajar dan kerja. Tahun 1960-an sampai 1970-an sepeda “merajai” jalan raya. Sepeda motor, apalagi mobil, adalah jenis kendaraan mewah yang hanya dimiliki orang-orang tertentu, khususnya orang yang mempunyai uang berlebih.

Namun sekarang, sulit menemukan sepeda di antara deru sepeda motor dan mobil. Bukan berarti sepeda hilang dari jalan raya. Masih ada yang menggunakan, tetapi jumlahnya sedikit sekali. Di tempat-tempat parkir, misalnya di pertokoan, apalagi di kawasan Malioboro, sepeda motor mendominasi tempat parkir. Pengendara sepeda kesulitan mencari tempat parkir. Yang lebih menyedihkan, petugas parkir enggan merespon sepeda yang akan diparkir. Demikian juga, di tempat parkir sekolah dan kantor-kantor, sepeda sudah jarang ditemukan. Memang masih bisa ditemukan sepeda di parkir, setidaknya seperti di pasar tradisional “Pijenan”, Dusun Bergan, Wijirejo, Pandak, Bantul, namun tetap saja tampak sedikit di tengah “melimpahnya” sepeda motor.

Tetapi bukan berarti orang Yogya tidak menyukai sepeda. Masih bisa ditemukan pasar sepeda, setidaknya pasar sepeda “Gappsta” di Pugeran jalan MT Haryono sejak tahun 1967 sampai hari ini masih ada dan setiap hari “memajang” puluhan sepeda siap jual. Di jalan Imogiri juga ada penjual sepeda yang menyediakan rupa-rupa sepeda. Dari sepeda bekas sampai sepeda baru.

Saat melewati jalan-jalan utama di Yogya, misalnya jalan Malioboro, jalan Gondomanan, jalan Solo, jalan Kaliurang, jalan Affandi (dulu jalan Gejayan), jalan Brigjen Katamso dan beberapa jalan lain, sepeda motor dan mobil memadati ruang-ruang jalan. Namun mencari sepeda lewat, kalau ada akan segera tampak: karena satu-satunya yang lewat.

Perilaku pengendara sepeda terkadang tidak taat lalu lintas. Misalnya, suatu kali di jalan utama menuju Kabupaten Bantul, tepatnya di perempatan Masjid Agung, Bantul, terlihat seorang pengendara sepeda tidak peduli lampu merah. Ketika semua kendaraan bermotor berhenti lantaran lampu lalu lintas menyala merah, si pengendara sepeda onthel tidak mengindahkannya, terus melaju sembari menerobos antrian kendaraan lain.

Seringkali sepeda diperlakukan sebagai life style. Karena itu hanya “sejenak” dipakai. Misalnya, pada acara sepeda gembira. Setelah usai acara itu, sepeda dilupakan. Kembali orang menggunakan sepeda motor atau mobil.

Ada seorang laki-laki, pekerja finishing bangunan, yang sampai hari ini masih naik sepeda untuk keperluan kerja. Dia tinggal di satu desa di wilayah kecamatan Pajangan, Bantul. Setiap hari, sejak 1970-an, ia memakai sepeda untuk bekerja di kota. Tempatnya pun berpindah-pindah karena jenis pekerjaannya mengharuskan berpindah-pindah. Pagi jam 07.30 ia pergi menuju tempat kerja di Yogya. Pada sore hari jam 17.00 biasanya ia sudah memasuki Bantul, khususnya di dusun Kalakijo. Ini hanya untuk memberi gambaran bahwa sepeda tidak hilang.

Ada juga seorang laki-laki lain, tinggal di dusun Jatisawit, Balecatur, Gamping, Sleman, setiap hari menggunakan sepeda untuk pergi kerja. Lantaran tempat tinggalnya di pegunungan, saat berangkat kerja sepeda dituntunnya sampai jalan raya, yang berjarak 1 km dari rumah tinggalnya. Pulang kerja, karena kondisi jalannya naik, ia harus kembali menuntun sepedanya. Inilah bedanya dengan pengendara sepeda motor, yang tak perlu menuntun jika menempuh jalan terjal dan menanjak.

Di tengah berjubelnya sepeda motor dan mobil, sepeda menjadi tampak unik dan “istimewa”. Mungkin seperti Yogyakarta di tengah perubahan jaman: unik dan istimewa.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta