Ruwahan dan Sadranan di Jogja (Jawa)

Ruwahan dan Sadranan di Jogja (Jawa)

Istilah Sadranan atau Ruwahan mungkin bukan lagi merupakan istilah asing bagi masyarakat Jawa atau bahkan di luar Jawa. Inti dari upacara atau kegiatan Sadranan atau Ruwahan meliputi membersihkan makam, memperbaikinya, mengirimkan doa untuk para arwah leluhur, tabur bunga, dan juga dengan kenduri. Ruwahan sebenarnya mengacu pada nama dalam sistem penanggalan Jawa, yakni bulan Ruwah. Dari nama ini muncullah istilah Ruwahan. Dalam pengertian umum ruwah sering dimaknai sebagai “ngluru arwah” atau bersilaturahmi kepada arwah.

Tidak jelas benar kapan tradisi ruwahan ini mulai muncul. Akan tetapi hal demikian dapat diduga merupakan perkembangan dari sebuah tradisi yang telah lama ada di hampir semua wilayah atau daerah di Nusantara, yakni tradisi penghormatan kepada arwah leluhur. Hal demikian sebenarnya juga menjadi petunjuk bahwa sudah sejak lama masyarakat Jawa mempercayai adanya kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia. Artinya, arwah orang meninggal adalah abadi. Arwah di alam abadi inilah yang oleh masyarakat Jawa dirasa perlu “dikaruhake” (disapa, diajak dialog).

Ruwahan dan Sadranan di Jogja (Jawa)

Bulan Ruwah dalam sistem kalender Jawa biasanya berbarengan dengan bulan Syaban pada sistem kalender Hijriyah. Bulan Syaban sendiri merupakan bulan sebelum bulan Ramadhan (puasa). Oleh karena itu pula Ruwahan lalu dikaitkan pula dengan persiapan menjelang atau memasuki bulan Ramadhan. Ramadhan yang identik dengan matiraga atau penyucian diri itu diawali dengan Ruwahan yang biasanya diisi dengan mendoakan arwah leluhur dan bermaafan dengan tetangga serta sanak saudara. Namun bermaafan dalam bulan Ruwah agak berbeda dengan bermaafan pada bulan Syawal.

Bermaafan dalam bulan Ruwah kecuali tidak semeriah dalam bulan Syawal biasanya secara simbolik juga diwujudkan dalam bentuk makanan berupa ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis makanan ini nyaris tidak boleh dilupakan dalam Ruwah karena ketiga mengandung makna yang berkait erat dengan pengampunan dan kesucian. Ketiga istilah yang digunakan untuk menamakan makanan tersebut diduga berasal dari bahasa Arab. Kolak dianggap berasal dari kata kholaka atau kholik yang artinya adalah maha pencipta. Maksudnya adalah bahwa dengan adanya makanan berupa kolak manusia diharapkan untuk selalu ingat pada Sang Maha Pencipta atau Tuhan yang telah menciptakan manusia dan seluruh alam raya.

Ruwahan dan Sadranan di Jogja (Jawa)

Jenis makanan apem diduga berasal dari istilah afun atau afuan yang berarti pengampunan. Hal ini dimaksudkan agar manusia selalu ingat untuk mohon pengampunan kepada Tuhan karena manusia sangat sering berbuat salah di hadapan Tuhan dan sesama. Permohonan pengampunan juga ditujukan untuk tetangga, sanak saudara, orang tua, dan sesama. Dengan saling mengampuni diharapkan manusia memperoleh hidup yang tenang dan damai.

Sedangkan jenis makanan ketan diduga berasal dari istilah khoto’an yang berarti suci, bersih. Sehubungan dengan hal itu manusia selalu diingatkan untuk berbuat bersih dan suci. Menghindarkan diri dari tindakan kotor, baik di dalam hati, pikiran, tutur kata, maupun tindakan sehari-hari.

Ada pula jenis makanan lain yang disajikan dalam acara Ruwahan tersebut, yakni nasi gurih dan ingkung ayam. Nasi gurih serih disebut juga sega atau nasi suci. Hal demikian juga melambangkan kesucian hati. Sedangkan ingkung utuh melambangkan kepasrahan diri manusia kepada Sang Khalik.

Dengan adanya jenis-jenis makanan tersebut orang selalu diingatkan akan maknanya. Bukan semata-mata pada nikmat atau enaknya makanan tersebut. Dengan melihat dan menyantap jenis makanan tersebut orang diajak untuk menghayati dan melakukan tindakan sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya.

Ruwahan dan Sadranan di Jogja (Jawa)

Ruwahan dalam kebudayaan Jawa juga sering dipersamakan dengan Nyadran atau Sadranan. Sadran sendiri diduga berasal dari istilah sradda, yakni sebuah upacara ziarah kubur yang biasa dilakukan oleh umat Hindu di masa lalu. Demikian seperti makna istilah sradda dalam bahasa Sansekerta. Istilah sradda memiliki kemiripan makna dalam bahasa Kawi yang maknanya adalah peringatan hari kematian seseorang. Sradda sendiri dilaksanakan dalam dua tahapan ritual, yakni pertama berupa pelantunan doa dan pujia-pujian yang diiringi iringan musik dan tahap yang kedua (penutup berupa samadi atau mengheningkan cipta). Pada intinya Ruwahan dan Sadranan memiliki kesamaan makna. Sekaligus kesamaan dalam praktiknya. Semuanya mengacu pada pengertian mendoakan arwah leluhur, memohon ampunan kepada Tuhan dan sesama, dan menuju kesucian diri.

a.sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta