Tembi

Yogyakarta-yogyamu»MI LETHEG BANTUL, MI SEHAT YANG DIOLAH SECARA TRADISIONAL

01 Jan 2008 04:16:00

Yogyamu

MI LETHEG BANTUL,
MI SEHAT YANG DIOLAH SECARA TRADISIONAL

Kalurahan Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY selaik dikenal sebagai sentra pengrajin atau industri tahu juga dikenal sebagai sentra pengrajin mi letheg. Mi letheg jika diartikan dalam bahasa Jawa berarti mi yang kotor karena kata letheg berarti kotor atau bahkan sangat kotor. Salah satu pengrajin mi letheg di Trimurti ini terdapat di Dusun Nengahan. Mi letheg di tempat ini sudah menggunakan nama merk Cap Busur Panah. Industri mi letheg di dusun ini merupakan indusrti milik keluarga Judi Muryanto (65).

Jangan dulu merasa jijik jika mendengar kata atau istilah mi letheg karena mi ini justru dibuat tanpa bahan pengawet, pewarna, atau tambahan bahan kimia lain. Mi letheg dibuat dari bahan baku berupa tepung tapioka dan tepung beras. Perpaduan dua tepung ini memang tidak bisa menghasilkan mi putih bersih seperti kertas atau sebening kaca. Warna keruh yang dihasilkan oleh dua macam tepung ini sesungguhnya merupakan warna alamiahnya yang tanpa polesan apa pun.

Kedua tepung ini dilumatkan dengan penggilingan. Uniknya, penggilingan tepung untuk mi letheg di Nengahan, Trimurti, Srandakan, bantul ini masih menggunakan penggilingan tradisional yang perputaran gerak silindernya dilakukan oleh tenaga sapi.

Di sela-sela perputaran silinder itulah 2-3 orang pekerja melakukan pembalikan, penambahan, dan penyiraman air pada tepung yang digiling/dilindas. Sesudah tepung dianggap menyatu, lembut, dan pulen tepung tersebut kemudian dimasak dalam sebuah ketel. Ketel ini dipanaskan dengan kayu bakar. Kayu bakar dipilih karena bahan bakar ini relatif mudah didapatkan tanpa tergantung pada satu produsen tunggal. Selain itu bara dari kayu bakar dibutuhkan untuk pemanasan dalam rentang waktu yang cukup lama. Alasan lainnya adalah karena kayu bakar juga relatif murah harganya dibandingkan minyak atau gas.

Tepung yang telah dimasak itu kemudian dilumatkan kembali dalam penggilingan sambil ditambahkan tepung kering untuk mendapatkan adonan yang dianggap pas. Sesudah itu adonan dimasak kembali dan masuk ke mesik pengepresan. Adonan yang keluar dari mesin pengepresan kemudian ditampung ke dalam ember-ember berisi air jernih. Dari dalam ember inilah kemudian mi diangkat dibentuk sedemikian rupa untuk kemdian ditiriskan dalam anjang-anjang (alat penjemur mi yang terbuat dari anyaman bambu dengan mata anyaman yang agak jarang). Usai itu mi letheg dijemur. Jika sudah kering barulah mi letheg tersebut masuk dalam plastik pengepakan. Setiap kantung plastik pengepakan berisi 5 kilogram mi letheg.

Untuk harga per kantung plastik (5 kg) dihargai Rp 33.000,-. Apabila pembeli datang dengan mengecer, untuk harga per satu kilogramnya adalah Rp 7.000,-. Pembelian dapat dilakukan dengan datang langsung di pusat industri ini maupun dengan cara diantarkan ke konsumen. Untuk sistem hantaran tentu saja dikenakan biaya transportasi.

Judi Muryanto beserta istri memulai usaha mi letheg ini sejak 2003. Sebelumnya mereka menjadi pengrajin dan penjual kue-kue atau jajan pasar seperti jenang dodol, wajik, krasikan, dan sebagainya. Akan tetapi usaha ini oleh istri Judi Muryanto dirasakan cukup berat karena tubuhnya nyaris tidak bisa beristirahat. Kebetulan kakek paman mereka yang menjadi lurah waktu itu telah puluhan tahun tidak lagi memproduksi mi letheg. Sementara anak dan cucu dari kakek pamannya itu tidak ada yang berminat meneruskannya.

Kakek pamannya itu kemudian menawarkan usahanya sebagai pengrajin mi letheg agar diteruskan oleh Judi Muryanto. Sebagai pemacu, segala peralatannya akan diberikan kepada Judi Muryanto. Selain itu mereka juga akan dibelikan dua ekor sapi sebagai tenaga pemutar penggilingingan. Akhirnya mereka meneruskan usaha mi letheg yang telah dirintis oleh kakek paman atau Mbah Lurah sejak 1945.

Produksi mi letheg ini bukannya tanpa kendala. Kendala utama dari produksi ini adalah jika musim hujan tiba. Jika musim hujan tiba, maka penjemuran mi bisa sangat terganggu. Jika hujan tidak pernah berhenti ada kemungkinan mi yang diproduksi menjadi busuk atau berjamur. Jika sudah demikian, tidak ada piliha lain kecuali membuang hasil produksi itu secara sia-sia.

Musim panas atau kemarau seperti sekarang menjadi musim yang menyenangkan bagi produksi mi letheg karena pada proses pengeringannya tidak mendapatkan halangan apa pun. Proses pengeringan tersebut dapat dilakukan satu hari selesai. Menurut Judi Muryanto kini ia bisa memproduksi satu ton mi letheg setiap harinya. Untuk menunjang kinerja produksi mi letheg ini Judi Muryanto mempekerjakan 15 orang. Dari 15 orang itu tidak ada yang menjadi karyawan tetap. Mereka bekerja berdasarkan panggilan Judi Muryanto atau tingkat kesibukan proses produksi. Untuk pemberian upahnya Judi Muryanto tidak membatasi pada hari-hari tertentu. Upah tersebut bisa diambil setiap hari, mingguan, atau bulanan. Semuanya diserahkan kepada masing-masing karyawan.

Permintaan mi letheg biasanya akan meningkat tajam menjelang hari-hari raya seperti Lebaran, Natal, atau bulan Ruwah. Dalam bulan-bulan seperti itu satu ton mi letheg bisa habis dalam satu hari. Bahkan menjelang hari Lebaran berapa pun persediaan mi letheg di tempat ini bisa ludes dalam waktu satu hari. Munculnya aneka macam mi instan memang menjadi pesaing utama bagi mi letheg. Akan tetapi mi ini lebih murah, alamiah dan mudah dimasak dengan bumbu-bumbu sesuai selera pemasaknya. Untuk mengolah mi dalam jumlah banyak (misalnya untuk keperluan hajatan atau pesta) mi letheg tidak bisa digantikan oleh mi instan.

Jika Anda sedang berada di Yogyakarta, tidak ada jeleknya Anda membeli mi letheg ini untuk Anda olah sendiri menjadi mi yang lezat atau untuk oleh-oleh. Rasa mi letheg ini jika sudah diolah dengan bumbu-bumbu sungguh nikmat. Mi-nya tidak mudah lembek (lodrog), empuk namun tekstur dan kekenyalannya tetap terasa jelas di lidah. Selain itu, dijamin tanpa pengawet dan bahan kimia lain. Sebelum menyesal, ada baiknya Anda mencobanya. Yogyakarta tempatnya.

teks dan foto: sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta