- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Yogyakarta-yogyamu»MENCERMATI TIGA TITIK SISTEM PENGGELONTORAN KOTA YOGYAKARTA
07 Apr 2010 09:37:00Yogyamu
MENCERMATI TIGA TITIK SISTEM PENGGELONTORAN
KOTA YOGYAKARTA
Kita bisa membayangkan sendiri apabila penggelontoran dan pengatusan di sebuah kota tidak terbangun dan tersistemisasi dengan baik. Kota akan kotor, berbau, dan tentu tidak sehat. Kota Yogyakarta yang memiliki keletakan di bagian tengah dan dikelilingi 4 kabupaten itu memiliki beberapa keuntungan. Salah satu keuntungannya adalah karena keletakannya berada di sisi selatan Kabupaten Sleman yang notabene merupakan kabupaten penghasil mata air. Hal demikian terjadi karena keletakan Sleman yang berada di sisi selatan lereng Gunung Merapi yang sejak semula dikenal sebagai sumber (tangkapan) air.
Untuk menggelontor kotoran di wilayah Yogyakarta, beberapa bendungan dibuat di sisi utara (Sleman). Salah satunya adalah Bendung Gajahan yang terletak di Dusun Gemawang, Sinduadi, Mlati Sleman. Bendung Gajahan ini menaikkan aliran Sungai Code sekitar 30 meter. Air Sungai Code yang telah naik ini sebagian kemudian dialirkan ke arah kanan (barat-selatan) melewati pinggiran timur Dusun Gemawang kemudian mengikuti Jalan Monjali (Nyi Tnjodroloekito)-AM. Sangaji- lalu dipecah ke Jalan R.W. Monginsidi dan P. Mangkubumi.
Pemecahan ini terjadi di sudut timur selatan kampus STM Negeri I Yogyakarta. Aliran yang lurus ke selatan masuk ke Jalan P. Mangkubumi-Malioboro-A,Yani-Kraton hingga ke Bantul. Air dari Bendung Gajahan ini demikian vital keberadaaannya. Tidak aneh jika di masa lalu saluran air ini dijaga dengan ketat oleh petugas yang kebetulan memiliki rumah di dekat Bendung Gajahan. Penjagaan ini dilakukan agar aliran air dari saluran ini tidak terganggu, terkotori, dan sebagainya. Sebab di masa lalu saluran-saluran semacam ini sering dimatikan dengan tujuan untuk dicari ikannya. Maklum pada masa lalu ikan air tawar tersedia melimpah di berbagai saluran air. Baik sungai, selokan, saluran irigasi, dan sebagainya.
Pada musim-musim kemarau yang panjang dimana debit air Sungai Code menyusut, Bendung Gajahan biasa dikeruk dan di atas bangunan bendungan lama ditambahkan karung-karung pasir dan bebatuan dengan tujuan agar aliran air terhimpun dan bisa dialirkan untuk penggelontoran Kota Yogyakarta. Akan tetapi hal ini kadang-kadang masih kurang mencukupi.
Untuk mencukupi debit air yang cukup besar yang mampu memberikan penggelontoran ke arah Kota Yogyakarta, maka di Dusun Karangjati, Sinduadi, Mlati, Sleman juga dibuat bendungan atau sistem pintu-pintu pengendali air yang oleh masyarakat Karangjati masa lalu dikenal dengan istilah Telih Selokan Mataram. Seperti diketahui istilah telih dalam masyarakat Jawa sama artinya dengan tembolok. Mungkin istilah itu muncul karena bentuk persimpangan atau sistem pembagian air di tempat ini memilik bentuk bangunan seperti kolam bundar lonjong, mirip tembolok ayam. Di dalam telih ini dibangun setidaknya dua pintu air untuk pembagian aliran air. Telih Selokan Mataram ini sekarang letaknya persis berada di ujung barat jembatan baru yang menghubungkan Karangjati dengan Pogung Kidul dan Sendowo (Jembatan Prof. Ir. KRMT Wreksodiningrat).
Dari Telih Selokan Mataram inilah air dari Sungai Progo dapat ditambahkan untuk memperbesar debit air yang berasal dari Bendungan Gajahan. Jika pun hal ini dirasa masih kurang mencukupi, maka debit air akan ditambahkan di pintu air berikutnya yakni di daerah Petinggen. Dulu pintu air di Petinggen tersebut terdapat di sisi barat utara Asrama Mahakam (sekarang di depan Toko Roti Jasmine). Persis di sisi barat utara Batas Kota.
Sayangnya, saluran dan pintu-pintu air itu sekarang kurang terperhatikan. Saluran air mulai dari Bendung Gajahan hingga Malioboro semuanya tertutup cor beton dengan alasan untuk efisiensi tempat dan ruang. Alasan ini mungkin ada benarnya. Akan tetapi kita juga mesti ingat bahwa masyarakat kita masih belum bisa berdisiplin untuk tidak membuang sampah sembarangan. Akibatnya kalau saluran ini mampet oleh sampah, banjir segera menggenangi jalan Monjali-AM. Sangaji. Pembersihan sampah pun terasa cukup sulit dilakukan pada saluran yang tertutup beton seperti itu.
Sekarang apa yang dapat kita pikirkan jika suatu saat semua sungai kotor oleh limbah. Apakah kita masih mampu memberikan penggelontoran untuk membersihkan Kota Yogyakarta ? Tidakkah dengan kotornya air sungai mulai dari hulu hingga hilir kita justru akan memeratakan kotoran-kotoran itu di sepanjang aliran penggelontoran ?
Mungkin sejak dini kita perlu sadar diri bahwa untuk kenyamanan hidup bersama memang diperlukan sikap berkorban dengan ketulusan. Berkorban untuk tidak mengotori sungai. Berkorban untuk ikut menjaga kualitas air. Ikut menjaga properti pintu air. Pengorbanan bisa dimulai dari diri sendiri mulai dari hal yang paling kecil yang mungkin bagi orang lain akan dipandang sebelah mata belaka. Tidak apa-apa. Tidak ada hal yang besar yang tidak dimulai dari hal yang kecil.
a. sartono
Artikel Lainnya :
- Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta (Geguritan, Crita Cekak, Macapat, Siteran) (11/11)
- Mengenang Mbah Djoyo Sumarto(20/10)
- 16 Juni 2010, Kabar Anyar - OTOBIOGRAFI KI HADI SUGITO AKAN DISUSUN(16/06)
- TRADHISI NYUMBANG(08/07)
- Jogja Jadi Kota Naga(10/02)
- BAH SIWIL DAN BERDIRINYA DUSUN SOMAKATON, PIYUNGAN(03/11)
- 22 Januari 2011, Kabar Anyar - Kata-kata Tak Dikenali Artinya(22/01)
- BATIK (5) Motif-motif batik dalam upacara mitoni(06/01)
- 2 Desember 2010, Kabar Anyar - BARANG BEKAS DIBUANG SAYANG(02/12)
- Bisma (11) Airmata Raja(08/03)