Pasar Desa di Jawa Tahun 1930-an
Banyak juga penjual barang yang hanya menggelar dagangannya begitu saja di atas tikar atau gedhek. Penjual barang model ini tidak memerlukan atap untuk melindungi diri maupun dagangannya. Jika pun hujan atau angin ribut datang, ia akan bersegera mengemasi barangnya dan pulang.
Pada kisaran tahun 1930-an tidak ada toko modern, apalagi mini market dan mal seperti sekarang. Warung dan pasar di berbagai daerah nyaris dibuat atau berdiri ala kadarnya. Semua terjadi karena situasinya memang tidak memungkinkan. Belum banyak orang memiliki akumulasi modal besar untuk membuat toko modern. Kalaupun ada modal belum ada pemasok barang-barang modern. Pabrik atau produsen barang atau benda modern belum banyak. Sarana transportasi juga masih sederhana, bahkan bisa dikatakan langka. Kecuali itu, SDM saat itu juga belum banyak yang maju. Pendidikan masih belum lagi berkembang dengan baik. Pendeknya, semua masih terbelakang.
Meski dalam kondisi semacam itu, transaksi jual beli tetap terjadi di mana-mana. Pasar dan toko pun juga telah ada. Hal ini bisa disaksikan di wilayah-wilayah perkotaan atau pusat-pusat pemerintahan (keraton). Akan tetapi, di desa-desa bahkan kawedanan (kecamatan) hal demikian masih kelihatan minim dan tampil sangat sederhana.
Dangau atau katakanlah warung/kios/los pasar di desa-desa masih dibuat seadanya. Dagangan bahkan cukup digelar di atas tikar atau gedhek (anyaman) bambu yang telah terlebih dulu digelar di atas tanah. Penjual maupun pembeli bahkan hanya duduk di atas tanah tanpa alas. Atap dari kios atau warung tersebut sering juga hanya berbentuk empat persegi dan terbuat dari anyaman bambu. Atap hanya didirikan dengan cara disangga empat galah bambu yang apabila hujan atu angin badai datang suasananya menjadi berantakan tidak karuan.
Banyak juga penjual barang yang hanya menggelar dagangannya begitu saja di atas tikar atau gedhek. Penjual barang model ini tidak memerlukan atap untuk melindungi diri maupun dagangannya. Jika pun hujan atau angin ribut datang, ia akan bersegera mengemasi barangnya dan pulang.
Berikut ini disajikan foto tempo dulu tentang pasar, kios, atau warung di masa lalu. Pemandangan semacam itu mungkin sudah umum di Jawa pada era 1930-an atau sebelum dan sesudahnya.
Foto tersebut menunjukkan ”semangat pagi” pada suasana pasar sederhana. Sederhana dalam arti yang sebenar-benarnya. Pada latar belakang pasar tersebut tampak gunung menjulang. Demikian juga dengan hamparan tegalan/sawah. Keduannya menyuguhkan kealamiahan yang nyaris tanpa polesan. Hadir begitu saja dengan keluguan, kejujuran, dan mungkin juga keterbelakangannya.
Hal seperti foto tersebut mungkin sudah cukup sulit kita temukan di masa sekarang. Mal, mini market, toko modern telah menggantikan semuanya. Gunung, tegalan, dan sawah semakin sulit dilihat karena lahan telah penuh dengan bangunan menjulang. Ruang-ruang penuh dengan tembok, besi baja, plastik, kaca, dan aluminium. Kesejukan alam telah digantikan kesejukan AC. Hembusan angin gunung telah digantikan dengan kipas angin.
Zaman terus bergerak dengan segala dinamikanya.
a.sartono
Sumber: K.T. Satake, 1935, Sumatra, Java, & Bali, Middlesbrough: Great Britain by Hood & Co. Ltd.
Artikel Lainnya :
- Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta(29/07)
- 4 Mei 2010, Kabar Anyar - KUASA KAMERA DALAM 'BORING HAPPY DAYS'(04/05)
- MANFAAT SABO DI KAKI GUNUNG MERAPI(05/05)
- 20 Oktober 2010, Yogya-mu - JASA PAIMAN DALAM PERSURJANAN DAN BESKAP DI JOGJA(20/10)
- Jelajah Pemikiran Budaya Sjafri Sairin dan Faruk HT(14/02)
- 30 Nopember 2010, Kabar Anyar - SIARAN LIVE Tembi DI JOGJATV(30/11)
Alun-Alun lor (utara) tahun 1888(17/10) - Rahayuning Bawana KapurbaWaskithaning Manungsa(27/11)
TONGSENG EMPRIT PILIHAN MENU EKSOTIS(22/12) - 20 Januari 2011, Primbon - WUKU MARAKEH Watak Dasar Bayi(20/01)