Eko Balung, Rela Berjibaku Demi Sa' Unine.

Eko Balung, Rela Berjibaku Demi Sa' Unine.Rasanya tidak banyak yang tahu bahwa seorang Concert Master pernah tidak tahu mana yang disebut dengan violin (biola), viola, dan cello. Itu yang terjadi ketika Ignatius Eko Yuliantoro atau yang akrab dipanggil Eko Balung waktu dites masuk Sekolah Menengah Musik Yogyakarta. “Waktu ditanya yang mana biola, aku asal tunjuk aja, eh ternyata benar”.

Julukan “Balung” yang dalam bahasa Jawa berarti tulang itu, ia dapatkan saat sekolah di Sekolah Menengah Musik karena posturnya yang lebih tinggi dan lebih besar dibandingkan teman-teman sebayanya.

Eko yang lahir pada 31 Juli 1977 adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Ayahnya seorang Polisi. Sejak kecil sudah akrab dengan musik. Di rumah pamannya yang kebetulan tidak jauh dari tempat tinggalnya di daerah Ganjuran ada peralatan band milik pamannya, disinilah ia mulai belajar gitar sewaktu masih duduk di bangku SD.

Selesai menamatkan pendidikan di SMP, semula Eko Balung mantap untuk melanjutkan sekolah di SMA De Britto, salah satu sekolah favorit di kotanya. Sayang, kemantapan tidak disertai dengan kelengkapan informasi. Saat akanEko Balung, Rela Berjibaku Demi Sa' Unine.mendaftarkan diri di De Britto ternyata sudah terlambat. Pendaftaran sudah ditutup. Akhirnya ia memilih Sekolah Menengah Musik karena hobinya bermain musik. Di sini ia didorong ayahnya untuk mempelajari alat musik lain selain gitar. Di sekolah ini ia mulai belajar biola. Guru biola pertama Eko Balung adalah Sapto Ksvara Kusbini, anak dari Kusbini, pencipta lagu wajib, “Bagimu Negeri”. Di sekolah ini, saat Eko duduk di kelas I mengikuti sebuah workshop yang dibimbing oleh I Gde Bagus Wiswakarma seorang maestro biola dari Indonesia yang tinggal di Eropa. Disinilah minatnya pada biola muncul. “Tanpa workshop itu aku nggak akan bisa main biola.” Ia begitu terpesona dengan kepiawaian sang Maestro saat mengikuti workshop tersebut dan sempat merasa “kehilangan” saat sang Maestro kembali ke Eropa.

Selesai pendidikan di Sekolah Menengah Musik, Eko melanjutkan pendidikan Strata I-nya di Institut Seni Indonesia, Jogjakarta tahun 1997. Di sini oengetahuan dan ketrampilannya bermain biola diasah lebih tajam oleh dosen biola C.H. Kristianto.

Pengalamannya belajar pada workshop I Gde Bagus Wiswakarma saat kelas I di SMM yang baginya sangat berkesan ternyata bergayung sambut. Di Kampus ini ia bertemu lagi deEko Balung, Rela Berjibaku Demi Sa' Unine.ngan sang Maestro idolanya. Melihat minatnya yang besar pada biola, sang Maestro mereferensikan Eko Balung kepada Yayasan Musik Indonesia di Wisma Subud, Fatmawati, Jakarta untuk mendapat beasiswa belajar biola pada I Gde Bagus Wiswakarma selama 3 tahun.

Semangatnya yang tinggi untuk belajar mendorongnya untuk bergabung dalam Sa’Unine String Orchestra pada tahun 1998 jumlahnya baru sekitar belasan orang. Di sini ia banyak belajar dari seniornya Oni Krisnerwinto conductor Sa’ Unine bagaimana bermain yang baik dan benar dalam sebuah orchestra.

Dari segi teknis bermain biola kemampuannya memang tidak perlu diragukan. Secara pribadi Eko Balung juga dianggap mampu menjembatani para anggota dalam hal mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan Sa’ Unine. Posisi Concert Master, menurutnya adalah bentuk kepercayaan dari rekan-rekan di Sa’Unine. Fungsi yang tidak mudah sebetulnya karena sebagai Concert Master ia harus bisa menterjemahkan apa yang diinginkan oleh Conductor dan menyampaikannya kepada seluruh anggota. Dalam hal ini, seorang Concert Master juga harus bisa “ngemong” atau membimbing anggotanya, bahkan kepada anggota yang lebih tua. Baginya menjadi pemimpin bagi anggota yang usianya lebih tua tidak menjadi halangan karena ia selalu mau mendengar dan bEko Balung, Rela Berjibaku Demi Sa' Unine.erani mengatakan bagaimana yang sebaiknya. “Kalau memang nggak bisa, ya enggak bisa”. Cerita Balung jika pendapat yang diajukan anggota tidak sesuai dengan yang seharusnya. “Inilah enaknya di Sa’ Unine, di sini kita bisa marah, bisa bercanda tapi kita punya kesadaran bahwa kita adalah satu kesatuan”.

Balung memang suka bercanda, tapi jika bicara soal pekerjaan ia selalu serius terutama jika sudah bicara soal komitmennya pada Sa’ Unine. “Apapun aku lakukan demi Sa’ Unine. Jujur, aku sedih kalau ada anggota yang nggak disiplin atau belum menjadikan Sa’ Unine ini sebagai diri kita sendiri.”

Eko Balung adalah pribadi yang tidak ingin dibatasi. Tidak hanya dalam berkarya tapi juga ketika membicarakan hal-hal yang serius dengan berbahasa Indonesia. Kita tidak akan menyangka bahwa berbincang bersamanya dengan bahasa Indonesia ternyata membatasi dirinya untuk menyampaikan isi pikirannya dengan santai. “Aku jadi kaku kalo ngobrol pakai bahasa Indonesia, soalnya perlu mikir dulu sih”. Jelas penggemar barang antik ini serius.

Berbicara soal target berkarya bersama Tembi Rumah Budaya untuk menghasilkan satu album setahun dalam kurun waktu 5 tahun yang dihitung sejak 2010, sebenarnya ia berharap bahwa bentuk ini tidak perlu ditarget. Artinya, “kalau bisa lebih dan sampai kapanpun Sa’Unine akan selalu “update” menjadi musik khas Indonesia yang sesuai dengan era-nya dan akan melahirkan generasi penerus di masa depan”. Tandas ayah dari Rafael Windrasto Satrio Adhi, buah perkawinannya dengan Florentina Windrasanti yang dinikahinya tahun 2009 ini mantap.

Temen nan yuk ..!

ypkris




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta