Dwi Sujanti Nugraheni, Setia Memelihara Mimpi

Jika kita setia memelihara mimpi kita, suatu hari nanti pasti akan terwujud. Itu kalimat yang diucapkan pembuat film dokumenter asal Yogyakarta, Dwi Sujanti Nugraheni. Belajar dan berjuang bersama komunitas film dokumenter di Yogyakarta, berhasil membawa ia dan karyanya sampai ke Eropa.

Dwi Sujanti Nugraheni, pembuatan film dokumenter, Yogyakarta, foto: dokumen pribadi
Heni bersama teman-teman dari FFD di Festival IDFA,
Amsterdam, November 2012

“Siapa sangka kesenangannya menonton dokumenter pertanian yang disiarkan di TVRI zaman dulu membawa ia menjadi seorang pembuat film dokumenter sukses. Tercatat ia sudah menggarap 4 karya film: “Pengabar Kematian” (2002), “Janji Jabrik” (2007), “The Silent Boy” (2009), dan “Denok & Gareng” (2012).

Karya terbarunya, “Denok & Gareng”, tidak bercerita tentang sesuatu yang besar. Namun, cerita keseharian Denok dan Gareng itulah yang kemudian dapat merangkum berbagai masalah tentang ekonomi, pendidikan, dalam keluarga. Film inilah yang membawa Dwi Sujanti Nugraheni atau yang akrab disapa Heni berkompetisi di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA), yang berlangsung pada November 2012.

IDFA merupakan salah satu festival tahunan film dokumenter terbesar di dunia yang mulai diselenggarakan pada tahun 1987 di Amsterdam, Belanda. Festival ini menampilkan 60 film dokumenter dari seluruh dunia, 43 film diantaranya fokus kepada Asia Tenggara. Dalam festival film tersebut, Heni bersaing dengan 15 film dari berbagai negara; Amerika Serikat, Australia, Norwegia, Denmark, dan lainnya.

Heni boleh berbangga hati. “Denok & Gareng” mendapat tanggapan yang baik dari penonton di Amsterdam yang ternyata sebagian besar bukan penonton dari Indonesia. Dari empat kali pemutaran regular dan satu kali industry screening, film ini selalu dipenuhi penonton dan tidak ada yang meninggalkan gedung pemutaran sebelum film selesai.

Dwi Sujanti Nugraheni, pembuatan film dokumenter, Yogyakarta, foto: dokumen pribadi
Heni sang sutradara

Sepulang dari Amsterdam, filmnya itu menjadi salah satu karya yang meraih penghargaan di Chop Shots 2012, festival film dokumenter Asia Tenggara yang baru pertama kali digelar di Jakarta, 5-9 Desember 2012. Film tersebut memenangkan juara ke-2 di kelas Kompetisi Internasional.

Heni saat ditemui pada Festival Film Dokumenter Yogyakarta 2012, mengaku tidak pernah menyangka karya yang proses pembuatannya memakan waktu 4 tahun ini membawa begitu banyak prestasi. “Pertama membuat film ini, aku cuma berpikir ingin membuat film tentang mereka, dua anak jalanan yang ingin kembali ke rumah. Dari 4 tahun syuting aku memang kewalahan memilih gambar saat editing, bahkan ada beberapa kaset yang telanjur rusak karena terlalu lama,” paparnya.

Menilik ke masa lalu seorang Heni, ia sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadi pembuat film, apalagi ia mengambil jurusan Sastra Jawa dan Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Memang akhirnya tidak selesai kuliahku karena berbagai macam hal, kemudian aku men-DO kan diri, bukan dikeluarkan, hehehe”.

Kegemarannya menonton berbagai dokumenter, sampai film dokumenter pertanian yang ditayangkan di TVRI, tidak lantas membawa Heni menjadi pembuat film. Lama ia bekerja di LSM, membuka klinik untuk anak-anak jalanan yang tidak punya akses kesehatan karena tidak memiliki KTP atau identitas. kemudian suatu hari ia melihat leaflet “Buat Film Itu Mudah” dari Festival Film Dokumenter (FFD), dan leaflet itulah yang memacu Heni untuk berkenalan dengan dunia film.

Dwi Sujanti Nugraheni, pembuatan film dokumenter, Yogyakarta, foto: dokumen pribadi
Heni bersama Denok & Gareng di Chop Shots Film Festival

Film pertamanya ‘Pengabar Kematian’ kemudian menjadi nominasi festival film dokumenter pertama di Yogyakarta. Ide film pertamanya ini berawal dari seorang bapak yang dikenalnya di klinik tempatnya bekerja. Si bapak bertugas berkeliling desa meniup terompet untuk menandakan baru saja ada peristiwa kematian. Dengan total biaya produksi Rp 200.000, film pertama Heni selesai.

“Waktu itu jurinya Garin Nugroho, yang dulu kita kenal orang yang lumayan berpengaruh dalam dunia film. Dia bilang filmku bagus dan aku punya potensi untuk menekuni dunia film. Dari situ aku semakin terpacu,” paparnya.

Seperti dibukakan jalan, film kedua Heni “Janji Jabrik” juga kemudian berhasil menang sebagai Best Film at Bodyshop Think Act Change Documentary Competition. “Sebenarnya progres karya aku sangat kurang, sejak 2007 sampai sekarang aku hanya produksi 4 film. Tapi aku memang bukan orang yang produktif membuat film tapi hasilnya nggak bagus. Aku lebih suka matang dalam segalanya, bertahun-tahun produksi tidak masalah asalkan hasilnya memuaskan,” tambah penyuka travelling ini.

Sejak bergabung dengan FFD, sampai sekarang, Heni mengaku sudah belajar banyak hal, bahkan belajar langsung kepada orang-orang hebat pembuat dokumenter dari berbagai negara. “Di FFD aku berjejaring sampai ke berbagai Negara, aku tidak bisa memungkiri FFD lah yang membuat aku seperti sekarang, juga support dari mas Nuranto dan orang-orang yang ada di FFD”.

Dwi Sujanti Nugraheni, pembuatan film dokumenter, Yogyakarta, foto: dokumen pribadi
Fim Denok & Gareng yang membawa Heni ke Amsterdam

Dalam waktu dekat, sekitar bulan Maret 2013 Heni akan berangkat ke Australia, lagi-lagi karena filmnya, ia mendapat beasiswa dari John Darling Fellowship untuk mendalami dunia sinematografi di Universitas Nasional Australia. “Teruslah memelihara mimpimu, kelak suatu hari akan tercapai, sama seperti aku yang terus bermimpi untuk menjadi sukses dalam dunia film,” begitu pesan Heni.

Temen nan yuk ..!

Natalia S




Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta