Denni Pratomoaji, Aksinya Memecah Ketuban Penonton.

Denni Pratomoaji, Aksinya Memecah Ketuban Penonton.

Tidak semua orang bisa berhasil karena tahu dengan potensi yang dimilikinya. Orang yang tidak tahu kemampuannya, asal mau melakukan sesuai jiwanya, jauh lebih sukses daripada ikut apa kata orang.

Denni Pratomoaji. Lahir dari keluarga yang cukup mapan. Ayahnya seorang pegawai perusahaan BUMN yang juga memiliki usaha sampingan di bidang pertambangan. Denni kecil tumbuh agak berbeda dengan anak-anak lainnya, bisa dibilang lebih cerdas karena sebelum sekolah TK ia sudah bisa menulis dan membaca. Tapi…nggak salah juga kalo ada yang bilang Denni kecil itu bodoh. Kenapa? penggemar tokoh Superman ini sering membayangkan bisa terbang, mulai lompat dari atas tempat tidur sampai lompat dari lantai dua di rumahnya. Kok beda tipis ya antara cerdas dan bodoh?

Kemampuannya membaca sebelum TK membuat Denni “loncat” kelas. Usia TK ia sudah sekolah di SD. Denni menghabiskan masa SD-nya di kota Bandung di SD Merdeka. Usia TK-SD, seingat Denni tidak ada prestasi yang bisa banggakan karena meski cerdas, Denni mengakui bahwa dirinya malas. Denni selalu cari akal bagaimana caranya agar ia tidak usah pergi ke sekolah. Pernah suatu saat ia membuang tas ibunya ke sungai, hasilnya Denni malah harus ke sekolah dengan ditambah hukuman.

Masa SD Denni cuma dikenal sebagai jago gambar, gambar favoritnya Superman dan tandatangan ayahnya. O eM Gi, sejak kelas I SD Denni sudah bisa membuat tandatangan ayahnya dengan sangat mirip untuk menghidari omelan orang tua karena raportnya jelek.

Selesai pendidikan SD, Denni sekeluarga hijrah kembali ke Jakarta mengikuti penugasan dari tempat kerja sang ayah. Tidak lama mereka di Jakarta, perekonomian keluarga Denni hancur berantakan karena usaha yang dimiliki sang ayah bangkrut karena penipuan.

Keadaan begitu terpuruk sampai seluruh harta benda harus dilepaskan, termasuk juga rumah dan mobil. Denni yang sebelumnya terbiasa mendengarkan lagu-lagu the Beatles, Nat King Cole, Frank Sinatra dari kaset kesukaan ayahnya di mobil setiap kali berangkat sekolah kini harus terbiasa dengan suara bising di angkutan umum.

Keadaan mulai membaik karena usaha catering yang dirintis oleh ibunya berjalan dengan baik. Selesai masa SMP Denni melanjutkan ke SMA 70, Bulungan Jakarta. Di sinilah titik balik seorang Denni. Sifat pendiam yang dibawanya dari kecil sampai SMP ternyata tidak lagi bisa dipertahankan. Denni “terpaksa” harus bergaul karena pada masa itu pulang sekolah selalu jadi saat yang mengerikan karena sekolahnya sering tawuran. Maka nongkrong adalah cara terbaik untuk menunggu saat tawuran atau menghidar tawuran. Waktu nongkrong diisi dengan nyanyi sambil gitaran. Disini Denni sendiri tidak pernah tahu bahwa ia punya suara yang pantas untuk didengar, jauh lebih yahud dari penampilannya. Pernah tanpa sadar ketika Denni nyanyi bersama ia terus nyanyi padahal teman-temannya berhenti untuk mendengar Denni bernyanyi.

Selesai SMA, Denni sempat resah karena pilihan kuliahnya hanya 1, ingin sekolah desain grafis. Meski ditentang sang bunda karena takut cuma jadi seniman lukis nggak jelas, Denni tetap dengan pendiriannya. Ia pergi ke Bandung untuk ikut bimbingan tes masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Meski selalu dapat nilai baikm tapi yang namanya nongkrong ternyata jauh lebih menarik daripada belajar. Denni “ditarik” kembali ke Jakarta oleh ayahnya. Sampai sekarang Denni cuma tahu dari temannya bahwa sebetulnya ia diterima di Fakultas Seni Rupa ITB.

Sebenarnya Denni enggan kuliah bukan cuman karena malas tapi lebih karena memikirkan biaya yang harus ditanggung orangtuannya, cuma caranya aja salah. Maksud hati baik tapi apadaya tak mampu mengungkapkannya. Apalagi ketika ibunya justru meminta Denni ikut tes masuk di jurusan Desain grafis Universitas Trisakti. Mendengar nama kampus itu saja Denni makin ngeri membayangkan biayanya. Semula Denni senang karena saat tes ia dalam keadaan sakit, kena cacar air. Denni berharap tidak diterima daripada membebani keluarga. Tapi sayangnya antara otak dan niat Denni sepertinya kadang nggak kompak. Niatnya nggak diterima, hasil tes malah jadi yang tertinggi. Denni dapat biaya termurah karena tes masuknya dapat rangking I. Denni resmi tercatat sebagai mahasiswa Trisakti angkatan 1992.

Di kampus, Denni sudah dikenal punya suara apik dan sering “ditanggap” seniornya. Setahun kemudian Denni bikin band bersama teman-temannya dengan nama “Spanish Fly”. Dalam setiap penampilannya Denni suka tampil seenaknya, cenderung nyeleneh, tapi anehnya banyak yang suka. Prestasi yang membanggakan Denni dengan band ini adalah pernah seruang dengan personil Dewa 19 di acara pensi SMA Tarakanita I Jakarta tahun 1993.

Tahun 1994 perjalanan Denni di dunia musik makin kental. Denni diminta untuk bergabung dengan the Colors, setelah manajemen grup ini melihat penampilan Denni di acara kampusnya. Enam bulan Denni berjalan bersama the Colors, Denni mulai mandiri dengan ekonominya sendiri karena uang mengalir rutin dari pemasukannya sebagai home band dan desain untuk materi promo café-café tempat ia nyanyi. Tapi kejenuhan makin terasa karena Denni merasa jadi orang lain tampil bersama the Colors, bukan cuma lagu yang dibawakan tapi lebih karena Denni nggak bisa tampil apa adanya. Sampai di satu momen, seluruh personil yang semula sudah sepakat berpakaian merah celana putih untuk tampil di acara 17 Agustus ternyata Denni tampil beda, celana komprang, kaos oblong, sarungan sambil bawa bendera merah putih yang diikat pada sebatang bamboo. Denni nggak peduli dengan “pelanggaran” ini, ia sudah jengah dan sangat siap untuk dipecat. Denni tampil dengan kebebasannya, dengan celaan-celaannya kepada siapapun baik penonton atau sesama personil bandnya. Di luar dugaan pengunjung café suka dan manajemen band minta Denni melanjutkan konsep gilanya, nyanyi diselingi stand up comedy.

Denni Pratomoaji, Aksinya Memecah Ketuban Penonton.

Tahun 1997 Saat Denni siap menyusun skripsi ia dapat tawaran nyanyi sebuah café yang baru akan dibuat. Denni ikut tender desain. Desainnya terpilih dan menang. Sekali tepuk dapat 2 nyamuk : proyek desain grafis dan nyanyi bersama bandnya the Colors.

Selesai proyek desain Denni membangun usaha desain grafis bersama teman-temannya yang sudah lulus duluan. Proyek pertamanya adalah buku wisuda kampusnya. Sedikit miris dan ironis, karena seharusnya ia ada di buku wisuda itu. Denni baru lulus setahun kemudian, 1998.

Perjalanan Denni bersama the Colors berakhir tahun 2000 karena grupnya bubar, bukan karena ulahnya yang suka nyeleneh.

Sepanjang tahun 2000 Denni hanya mengisi hari-harinya dengan pekerjaan desain. Sampai di penghujung tahun 2000 seorang kliennya mengajak Denni kongkow di sebuah café tempat ia dulu sering tampil.

Seperti ada dorongan jiwa, pulang kongkow Denni menelpon beberapa mantan personil the Colors dan Spanish Fly. Terkumpulah 7 personil termasuk dirinya. Mereka setuju dengan konsep yang diusung oleh Denni, tampil gila, nyeleneh tapi tetap dengan musikalitas yang bagus tentunya.

Denni mulai merangkak lagi. Café-café tempat ia main dulu ia datangi. Semula dikira mudah karena toh mereka kenal siapa Denni. Diluar dugaan, mereka menolak karena band ini “kering” nggak ada wanitanya. Denni memang anti personil wanita dalam bandnya karena ia nggak mau ada “anak emas” didalam band.

Bukan Denni Pratomoaji namanya kalo dalam segala urusan tidak dijalani dengan ide gila. Satu ketika ide gila tiba-tiba muncul dengan scenario yang mengesankan band sahabatnya Simon Marantika yang sudah jadi homeband tetap di Jamz cafe dibuat seolah-olah berhalangan karena Simon sang vokalis sakit. Maka “masuklah” Denni dengan bandnya menggantikan band sahabatnya. Diluar dugaan ternyata Denni harus tampil untuk menghibur 5 orang tamu yang terdiri dari sepasang kakek nenek dengan ketiga orang cucunya. Perasaan was-was ditutupi dengan penampilan band yang nggak peduli apakah si kakek dan nenek itu punya penyakit jantung atau tidak karena lagu-lagu yang terlanjur mereka siapkan sebetulnya cenderung berirama agak keras bagi ukuran seusia tamu mereka malam itu. Diluar dugaan lagi, sang kakek ternyata menjanjikan akan datang lagi ke café itu dilain waktu. Padahal respon sang kakek paling tinggi cuma ikut manggut-manggut sambil mengetuk meja mengikuti irama ketika Denni bersama band-nya membawakan seluruh lagu sepanjang waktu.

Dua hari kemudian lagi-lagi diluar dugaan, manajemen café menghubungi Denni untuk tampil kembali. Rasa was-was belum hilang apalagi jumlah tamu bertambah tapi dengan usia yang tidak jauh beda dengan si kakek.

Dua bulan berjalan café semakin bertambah pengunjungnya, sampai di bulan ketiga ruang café tidak mampu lagi menampung pengunjung yang betul-betul tersihir dengan konsep interaktif Denni bersama bandnya, Wong Pitoe. Denni betul-betul jadi dirinya, tukang cela yang menurutnya baru ia sadari adalah salah satu talentanya. Selain bisa membawakan lagu-lagu dengan suara vocal yang betul-betul mirip dengan penyanyi aslinya seperti Phil Collins, Michael Jackson dan lain-lain.

Denni nggak peduli siapa didepannya celaan Denni selalu mengundang tawa, dari menyebut nama Peter F. Gontha menjadi Gogon Srimulat sampai “mengaku” saudara dengan Aburizal Bakrie karena sama-sama berdagu panjang. Kiprah Wong Pitoe semakin berkibar. Di tahun ketiga pendapatan mereka bahkan hampir mencapai satu setengah milyar, melebihi pendapatan grup band pada waktu itu.

Sudah banyak yang Denni pecahkan dengan konsep penampilan yang dibawakan bersama grup bandnya. Mulai dari memecahkan rekor bayaran, memecahkan kaca-kaca café karena membludaknya penonton sampai ke wc sampai pecahnya ketuban seorang penonton saking terlalu banyak tertawa menyaksikan Denni di atas panggung.

Siapa mau ketawa sampe pecah ketuban? Saksikan ulah si Denni di panggung!!

Berjalan dengan konsep dasar yang sama tanpa disangka muncul penolakan dari beberapa personil. Rasa kecewa tidak mungkin Denni tutupi, sebagai pendiri jelas sangat terpukul karena mengusung konsep yang terbukti sukses justru konsep itu dipertanyakan setelah 7 tahun berjalan. Perjuangan mereka di awal berdirinya grup seperti masa lalu tanpa nilai, padahal semua yang bisa mereka capai adalah hasil dari kerja keras masa lalu.

Sebenarnya, Denni bisa saja memecat anggota yang tidak sepaham dengan konsepnya. Tapi Denni bukan orang yang gila kuasa. Ia cuma gila di panggung. Jika ia bubarkan, bukan cuma personil yang kehilangan kerja, tapi bisa juga keluarga. Segila-gilanya Denni, ia masih punya hati, meski luka, ia pilih mundur dari Wong Pitoe, grup musik yang ia lahir dan besarkan. Mengalah bukan berarti kalah.

Temen nan yuk ..!

ypkris




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta