Hitam Manis, Pandang Tak Jemu

Hitam Manis, Pandang Tak Jemu

Empat tahun dalam berkarya bukan waktu yang pendek. Begitulah Kelompok Hitam Manis yang berdiri pada tahun 2008 di Sangkring Art Space ini telah menghasilkan cukup banyak karya, baik pribadi maupun kelompok. Kali ini mereka berpameran perdana di tempat kelahirannya, Sangkring Art Space, pada 4-18 Oktober 2012, bertajuk 'Hitam Manis'.

Kelompok yang diawali 7 anggota ini kini tinggal 5 orang, yakni Maslihar aka Panjul, Nyoman Adiana aka Ateng, Robet Kan, I Nyoman Agus Wijaya aka Koming, dan I Wayan Agus Novianto. Semuanya menimba pendidikan di ISI Yogyakarta, satu orang masih kuliah, lainnya sudah lulus atau keluar di tengah jalan. Sebagian di jurusan seni lukis, sebagian di jurusan patung. Tidak heran bahwa karya-karya mereka terdiri dari lukisan dan patung.

I Nyoman Agus Wijaya atau Koming masih menampilkan patung-patung plat galvanis berwujud anjing. Karya-karya anjing Koming memang terkesan kuat dalam ekspresi wajah dan gesture. Malah sudah menjadi kekhasannya. Misal ketika melihat sosok anjing platnya, saya teringat patung anjing bermain bola dari bahan serupa pada pameran di Galeri Ars Longa beberapa tahun lalu, yang ternyata memang karya Koming.

Kali ini ia mengeksplor figur baru, manusia. Koming masih menunjukkan kepiawaiannya dalam membentuk anatomi dan gerak, terutama karyanya ‘Menggiring Matahari’ dan ‘Dancing in the Sky’. Namun dalam hal ekspresi wajah, figur anjingnya lebih hidup. Menarik pula Koming menambah bahan daur ulang komponen mobil pada ‘Menggiring Matahari’. Bentukan lingkaran dan tekstur garis vertikal dari komponen tersebut justru menegaskan gerak dari sang figur bersayap yang sedang berlari. Koming cukup jeli mengombinasikannya.

Maslihar menampilkan bulir beras sebagai tema karyanya. Ia juga membentuk beras dari bahan batu, bata, dan semen dalam karya ‘Sebongkah Kehidupan’. Ia memosisikan beras dari bata ini dalam kuncian semen. Apakah Maslihar ingin mengritik tumbuhnya bangunan yang kian meminggirkan sawah penghasil padi? Karya tiga dimensi lainnya adalah sederet bulir beras yang terbuat dari kain dan kapas, mengesankan kelembutan. Ada bulir berwarna kuning yang agaknya merepresentasikan nasi kuning, simbol rasa syukur terhadap Tuhan. Kelima karya dalam satu kesatuan ini dijuduli ‘Ada Tuhan dalam Bulir Beras #1’. Ada bulir yang dipenuhi jarum sebagaimana proses pengobatan dengan akupuntur, seakan tengah disembuhkan. Ada pula bulir yang dibalut benang merah jarang-jarang.

Nyoman Adiana kali ini memilih petinju sebagai tema lukisannya. Spirit bertarung dipadu kekokohan menjadi benang merah ketiga lukisannya. Warna latar yang samar yang tetap menunjukkan sapuan-sapuan kuas seakan ingin menonjolkan objek figur petinju sekaligus menggambarkan dunia yang dinamis, bukan dunia adem yang stagnan.

Hitam Manis, Pandang Tak Jemu

Karya tiga dimensi Robet Kan ‘Self Portrait’ terbuat dari kayu bekas dan kain perca. Karya ini tidak dibuat di studionya tapi di tempat lain, tempat Robet mendapat potongan kayu. Kebiasaan dolan Robet memberinya manfaat. Karya ini sederhana dan lucu. Rambut Robet yang aslinya gimbal direpresentasikan dengan ular keket dari beragam kain batik bekas. “Saya memang selalu ingin memasukkan unsur tradisi ke dalam karya,” kata seniman kelahiran Yogya ini.

Karya Robet lainnya tak kalah santai. Tiga buah lukisan besar, masing-masing berukuran 150 x 140 cm, antara lain menampilkan istrinya yang sedang leyeh-leyeh sambil tersenyum. Tidak hanya bentukan, warna maupun goresan ketiga lukisan ini pun mengesankan rasa santai.

Lukisan I Wayan Agus Novianto menekankan aksentuasi warna dengan bentukan dekoratif. Warna merupakan elemen penting dalam karyanya sehingga tidak sekadar membentuk ruang tapi juga menyemarakkan dan membentuk atmosfer lukisannya. Ini merupakan perkembangan dalam proses kreatifnya. Menurut Wayan, karya-karya sebelumnya lebih berfokus pada objek, tetap dengan botol dan gelasnya, dengan warna monokrom.

Wayan adalah anggota termuda, masih kuliah tapi didaulat menjadi ketua kelompok Hitam Manis. Ia bergabung sejak tahun pertama kuliah.

Pameran ini menampilkan karya kelompok dan perorangan. Karya kelompok dikerjakan bareng oleh para anggotanya. Robet mengisahkan bagaimana para anggota mengerjakan karya kelompok ini, mulai dari membuat sket, mencari bahan, merangkai, melas, mewarnai sampai finishing. Ide bisa berubah di tengah jalan tapi semuanya dirembug bersama. Karya ramai-ramai ini patut diacungi jempol sebagai sisi lain proses kreatif yang biasanya individual. Para anggota berusaha menyingkirkan keegoannya.

Walhasil lahirlah karya-karya yang menarik perhatian. Semuanya diolah dari bahan daur ulang. Kebanyakan berbahan plat yang tidak diwarnai. Pola-pola las dibiarkan apa adanya seperti hasil cantingan batik. Ada Gatotkaca naik sepeda onthel, yang pernah dipajang di Abubakar Ali pada Biennale 2009. Ada superhero yang sedang terbang, juga Batman yang sedang nongkrong di kloset sambil merokok. Kata Robet, superhero juga butuh kesendirian untuk bersantai.

Hitam Manis, Pandang Tak Jemu

Karya mereka terbaru adalah ‘Cit Cit Cuit’ dan ‘Barong Cat’, yang bahannya diambil dari komponen bis Ramayana yang sudah tidak terpakai. ‘Cit Cit Cuit’ berupa tabung-tabung yang diberi lempengan sayap lantas diwarnai ngejreng menjadi 9 burung yang sedang terbang. ‘Barong Cat’ terbuat dari tabung gas dipadu kawat-kawat menjelma menjadi figur barong gaya baru.

Sebagian karya mereka kini masih dipamerkan di Festival Salihara, Jakarta. Sebagian lagi pernah dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta dan di Museum Majapahit Mojokerto.

Dalam proses kerja kelompok dan individu ini, ada proses kreatif yang sehat, yang mengayakan gagasan dan teknis para anggotanya. “Di Hitam Manis, kelompok boleh mempengaruhi individu, dan individu boleh mempengaruhi kelompok,” kata Robet.

Pengamat seni Aprijadi Ujiarso dalam pengantarnya menulis, “Pameran tunggal Kelompok Hitam Manis yang pertama kali ini di Sangkring Art Space menjadi momen penting yang memang sudah waktunya harus terjadi. Penting karena selama 4 tahun sejak hidup dan kehadirannya, kelompok ini telah berhasil “mengganggu” status quo diam–diam yang selama ini berlangsung di wilayah patung. Penting bagi kelima anggota menjelaskan persoalan–persoalan estetis selama 4 tahun berproses bersama. Penting bagi kelompok Hitam Manis untuk menyatakan jati dirinya sebagai kelompok yang terbentuknya tanpa referensi khusus di wilayah seni visual global. Penting pula untuk menyatakan, kini Kelompok Hitam Manis sanggup memanggul tanggung jawab kreatif sepenuhnya.”

Hitam Manis, Pandang Tak Jemu

“Hitam manis, hitam manis, pandang tak jemu, pandang tak jemu, “ lantun Mus Mulyadi.

barata


Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta