UGM Simpul Kebudayaan

UGM Simpul Kebudayaan

Purna Budaya, yang kini telah berganti nama PKKH, kependekan dari Pusat Kebudayaan Koesnadi Harjosoemantri, Senin (22/10) lalu, mempunyai kegiatan kebudayaaan, dan kegiataan itu bukan hanya untuk PKKH sendiri, melainkan untuk Yogya. Apalagi, PKKH berada dibawah naungan UGM, maka tema ‘UGM untuk Jogja’ menjadi menarik, karena kita bisa tahu, bahwa sesungguhnya UGM bukan hnya untuk dirinya sendiri. Yang menarik dari acara Senin malam itu, Rektor UGM (yang baru), Prof.Dr, Pratikno membuka Pekan Seni dan Budaya UGM dengan pidato Kebudayaan. Tentu, pidato ini bisa kita mengerti, bahwa UGM membuka ruang kebudayaan untuk masyarakat Yogyakarta.

Dan memang, dalam pidatonya Praktikno memiliki harapan agar kebudayaan di Yogyakarta semakin dinamis dan UGM bisa menjadi simpul dari dinamika kebudayaan itu. Ada satu hal yang menarik dari apa yang dikatakan oleh Pratikno menyangkut kebudayaan dan Yogya, ialah apa yang disebut sebagai tata nilai Yogya. Baginya, kebudayaan di Yogya bukan hanya menyangkut ruang dan geografi, tetapi yang lebih penting dari itu adalah soal tata nilai Yogya.

“Dalam konteks Keistimewaan, Yogya sesungguhnya bukan hanya untuk warga Yogya, melainkan untuk Indonesia” kata Pratikno

Untuk menunjukan betapa terbukanya Yogya terhadap UGM, Pratikno menyebut rektor UGM sejak pertama, yang dipegang oleh Prof Sarjito sampai rektor sekarang yang dijabat oleh Pratikno, semua bukan dari Yogya, melainkan semua besar dan berkualitas di Yogya. Pratikno sendiri lahir di Bojonegara.

UGM Simpul Kebudayaan

“Yogya memang telah memberikan yang terbaik untuk UGM’ kata Pratikno.

Pada awal pidato Pratikno memberikan ilustrasi antara wong Yogya dan wong Sumantrah, sebutan untuk orang Sumatra yang diberikan oleh orang Yogya, atau untuk menandai orang yang berasal dari pulau lain, setidaknya bukan Yogya, ialah sebagai orang seberang.

Yogya memang sudah sejak lama, apalagi setelah UGM berdiri, orang dari luar Yogya, termasuk yang disebut sebagai orang seberang pada datang ke Yogya untuk belajar di UGM. Yogya memang telah memberikan maknanya pada Indonesia.

UGM, yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan, sesungguhnya terbuka terhadap kehadiran seniman. Praktino membuka kemungkinan seniman berkumpul di UGM, melalui PKKH untuk saling meneguhkan jati diri Yogya dan UGM.

Dalam pidatonya, Pratikno menyebutkan, bahwa dalam statuta pendiriannya UGM dinyatakan sebagai Balai Nasional Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan. Karena itu, UGM tidak pernah memisahkan antara Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan.

“Saya rasa, kita bisa membuktikan akan hal itu, dengan menunjuk pemerintah pusat meniru UGM, karena kembali menyatukan Pendidikan dan Kebudayaan dalam satu kementrian” ujar Pratikno.

Pidato Kebudyaan ini selain sebagai launching ‘UGM Untuk Jogja’ sekaligus menandai pembukaan pameran seni rupa yang mengambil tajuk ‘Membunuh Kemenangan’ oleh Komunitas Barak Seni Stefan. Menandai pembukaan pameran itu, pelukisnya, Stefan Buana, memberikan lukisan Gajah Mada karyanya kepada Rektor UGM, Prof.Dr. Praktikno, M.Sos. Sc.

UGM Simpul Kebudayaan

Pekan Seni dan Budaya yang berlangsung sampai 29 Oktober, menampilan beberapa acara kesenian, termasuk diskusi. Selain pameran seni rupa, ada pentas seni mahasiswa, geguritan dan macapat, penampilan Acapela Mataram, monolog yang akan mementaskan lakon ‘Demokrasi’ karya Putu Wijaya, lagu puisi oleh Untung Basuki, pementasan teater dan pada acara penutupan akan ditampilkan Ketoprak Komunitas Lemu, dengan lakon ‘Suminten Ngglamber (Edan Kabeh!!!).

Rasanya, kegiatan kesenian dan kebudayaan UGM ini, seperti akan ‘mengembalikan’ kegiatan kebudayaan yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Kebudayaan pada masa Umar Kayam dan rektor UGM dipegang Prof Sukaji.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta