- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»TJERITA SILAT DAN TJERITA ROMAN: KISAH TIONGHOA MASA LALOE
10 May 2011 10:35:00Sumbangan kultur dari Tionghoa masa lalu di Indonesia, setidaknya bisa ‘dilacak’ dari kisah-kisah yang diceritakan dan diterbitkan dalam bentuk buku. Pada masa tahun 1930-an, atau sebelum Indonesia merdeka, etnis Tionghoa, yang dulunya disebut etnis Cina, tradisi tulisnya sudah maju, hal ini bisa dilihat dari karya-karya tulis dalam bentuk cerita yang cukup banyak diterbitkan. Selain itu, dari segi visual, etnik Tionghoa telah memiliki estetikanya sendiri. Dari cover buku cerita yang diterbitkan, atau dari kalender yang diterbitkan, kita bisa menyimaknya.
Satu pameran Ilustrasi Grafis ‘Cheng Li’ diselenggarakan di Bentara Budaya Yogyakarta 3-11 Mei 2011, menampilkan ilustrafi grafis dari Tionghoa dalam bermacam visual. Cover-cover kisah cerita memberikan imajinasi pada simbol kultur Tionghoa pada masa lalu, setidaknya tahun 1930-an sampai tahun 1942, atau sebelum Indonesia merdeka. Cerita yang banyak ditulis pada masa itu, setidaknya dari ilustrasi grafis yang dipamerkan ini kebanyakan adalah cerita silat dan cerita roman. Maka, ada cover yang bertuliskan ‘Tjerita Roman’ dan ‘Tjerita Silat’.
Dari kisah cerita yang ditulis, sebenarnya kita bisa menelusuri, bagaimana etnis Tionghoa pada masa itu membangun nasionalisme di Indonesia. Karena, dalam sejarah kita bisa menemukan orang-orang Tionghoa memiliki nasionalisme yang kuat terhadap negeri ini, bahkan jauh melebih nasionalis dari orang yang merasa pribumi. Dalam kata lain, melalui cerita-cerita silat dan roman, semangat nasionalisme itu ditumbuhkan. Dari kisah cerita yang dipamerkan, setidaknya melalui buku-buku kecil, sama sekali tidak ada cerita politik yang ‘terbuka’ dari etnik Tionghoa. Yang ada hanyalah cerita silat dan roman. Mungkin, sikap politik etnik Tionghoa dituangkan dalam kisah roman atau silat.
Sebagai etnik yang sudah berabad tinggal di nusantara, etnik Tionghoa, sampai sekarang masih mengalami diskriminasi, apalagi pada jaman orde baru, lebih parah lagi perlakuan politik kekuasaan terhadap etnik Tionghoa. Dari segi ekonomi, sejumlah kecil orang Tionghoa bisa sangat berhasil, namun dari segi poliitik dijauhkan. Karena itu, produk budaya Tionghoa pada era orde baru tidak boleh muncul dipermukaan.
Setelah reformasi, terutama pada era presiden Abdurrachman Wahid, ‘hak’ etnik Tionghoa dibuka dan mereka, etnik Tionghoa, boleh mempertunjukkan produk budayaanya sebagaimana etnis lainnya mempertunujukkan. Dari sisi ini, secara politik, etnik Tionghoa tidak lagi dibedakan dengan etnis lainnya.
Pameran Ilustrasi Grafis ‘Cheng Li’ yang menyajikan banyak karya grafis dari etnik Tionghoa, juga buku-buku cerita dalam bentuk buku saku, setidaknya bisa untuk memahami, bahwa etnik Tionghoa sudah cukup lama memiliki karya kebudayaan yang memberi kontribusi pada kebudayaan di Indonesia. Meski dari segi visual cover wajah ‘Tinghoa’nya nampak jelas, kiranya, yang utama bukan untuk mempertunjukkan sifat etniknya, rasanya lebih untuk memberi warna pada etnik-etnik lain. Karena, pada ilustrasi yang lain, kita bisa melihat etnik Tinghoa mengenakan pakaian Jawa, atau pakaian yang tidak menunjukkan identitas etniknya.
Dari pameran Ilustrasi Grafis ‘Cheng Li’ kita bisa mengerti, bahwa etnik Tionghoa telah memberi sumabangan kultural pada Indonesia.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- BPH. Murdaningrat dan BPH. Panular Gugur dalam Perang Jawa (1825-1830)(31/05)
- DAFTAR BUKU PERPUSTAKAAN RUMAH BUDAYA Tembi(01/07)
- DOLANAN UNCAL-2 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-54)(01/03)
- Sammy Simorangkir Menjadi Manusia Baru(23/01)
- 21 Februari 2011, Klangenan - LALU LINTAS DI YOGYA SETELAH ERUPSI MERAPI(21/02)
- YOGYA BUKAN LAGI KOTA SEPEDA(01/01)
- KYAI REGOL DUSUN KREGOLAN SLEMAN(14/07)
- 4 Maret 2011, Kabar Anyar - RUPANYA MASIH ADA SOL SEPATU(04/03)
- SENI RUPA KENCRUNG(13/09)
- BABU DAN BALITA BULE(18/08)