Slamet Riyadi Sabrawi Di "Negeri Barbar"

Slamet Riyadi Sabrawi adalah salah seorang linuwih. Yang di tengah kesibukannya sebagai jurnalis dan aktivis sosial juga dokter hewan, dia konsisten mengasah imajinasi dan merawat bakat kepenyairannya.

Peluncuran antologi puisi Slamet Riyadi Sabrawi yang keempat, Sabtu, 24 November 2012 di Pendapa Gambirsawit, Joyonegaran, Mergangsan, Yogyakarta, foto: Tegoeh Ranusastro
Slamet Riyadi Sabrawi sedang membaca puisi yang terkumpul
di antologi puisi ‘Negeri Barbar’’

Slamet Riyadi Sabrawi, seorang penyair produktif, me-launching antologi puisinya yang keempat berjudul ‘Negeri Barbar’. Sabtu malam, 24 November 2012 di Pendapa Gambirsawit. Joyonegaran, Mergangsan, Yogyakarta.

Antologi yang memuat 55 puisi itu dibacakan sejumlah penyair dan aktor teater, diantaranya Landung Simatupang, Bambang Darto, Daru Maheldaswara, Helga Korda, Herlina Tojo, dan dua orang gitaris yang menggubah puisi Slamet Riyadi menjadi lagu, yakni Untung Basuki dan Pedro.

Landung Simatupang membaca beberapa puisi diantaranya yang berjudul ‘Tugu’. Landung membaca dengan suasana tenang, kalem, sangat menghayati puisi yang dibacakan. Mengenakan baju warna merah, rambutnya sudah kelihatan memutih, Landung ‘menghidupkan’ kata-kata dalam puisi karya Slamet Riyadi.

Helga Korda membacakan dua puisi, salah satunya berjudul ‘Negeri Barbar’, diiringi petikan gitar Untung Basuki. Rasanya, dalam membaca judul puisi tersebut, Helga Korda seperti membayangkan negeri kita. Ia begitu menghayati. Emosinya terjaga, sehingga kata demi kata yang dia bacakan terasa enak didengar.

Slamet Riyadi Sabrawi, selain dikenal sebagai penyair, dia adalah seorang dokter hewan, tetapi aktivitasnya banyak di jurnalistik. Ketika masih mahasiswa, Slamet Riyadi Sabrawi bersama Saur Hutabarat mengelola Koran kampus ‘Gelora Mahasiswa’. Selepas dari UGM, Slamet Riyadi Sabrawi bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Sekarang, dia tinggal di Yogya menjadi wakil direktur di LP3Y. Slamet memang tidak bisa lepas dari dunia menulis.

Bakat kepenyairannya tumbuh dan terasah ketika dia ikut Persada Studi Klub (PSK), asuhan Umbu Landu Paranggi, tahun 1970-an dengan pusatnya di Malioboro. Melalui PSK dan Koran Pelopor yang ‘menaungi’ PSK, Slamet Riyadi Sabrawi produktif menulis puisi. Di PSK, Slamet Riyadi Sabrawi seangkatan Emha Ainun Nanjib, (alm) Linus Suryadi AG dan sejumlah penyair terkenal lainnya.

Untung Basuki dan Helga Korda, Peluncuran antologi puisi Slamet Riyadi Sabrawi yang keempat, Sabtu, 24 November 2012 di Pendapa Gambirsawit, Joyonegaran, Mergangsan, Yogyakarta, foto: Tegoeh Ranusastro
Untung Basuki mengiringi dengan gitar ketika Helga Korda membaca

Dalam pengantar buku antologi itu Butet Kertaredjasa, sang ‘Raja Monolog’, menulis: "Slamet Riyadi Sabrawi adalah salah seorang linuwih. Yang di tengah kesibukannya sebagai jurnalis dan aktivis sosial juga dokter hewan, dia konsisten mengasah imajinasi dan merawat bakat kepenyairannya. Tak mengherankan jika catatan-catatan puitiknya yang terhimpun di buku ini, tak ubahnya sebuah kesaksian terhadap perubahan. Perubahan watak manusia yang tergerus perubahan zaman, - yang agaknya semakin ganas menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan kita."

Slamet Riyadi Sabrawi sendiri mengaku, dalam menulis puisi seperti seorang wartawan melakukan reportase. Banyak momentum yang dia temui, dimana saja, jika dia melihatnya akan berubah menjadi puisi. Bahkan, sebelum dia melakukan operasi jantung, Agustus 2012 di Jakarta, masih sempat menulis puisi, salah satunya berjudul ‘Macet’ yang menggambarkan kemacetan Jakarta. Dalam kata lain, kemacetan di jalanan dia metaforkan sebagai kemacetan aliran darah di jantung, yang secara mendadak bisa berhenti.

“Saya menyadari, karena sakit jantung yang saya alami, secara mendadak, seperti kata dokter, jantung saya bisa berhenti,” kata Slamet Riyadi Sabrawi.

Puisi-puisi yang ditulis Slamet Riyadi Sabrawi, yang berangkat dari momentum yang dia temui, kalimatnya tidak langsung menunjuk laiknya bahasa berita, tetapi menggunakan metafor sehingga bahasanya sangat puitis. Tanpa melepaskan irama pada bahasa puisinya, yang membuat puisi karya Slamet Riyadi Sabawi, ketika dibaca terasa sekali bahwa puisinya berawal dari pengalaman hidupnya.

Melihat Tugu Yogya yang sedang direnovasi, Slamet Riyadi Sabrawi yang sering sekali melewati area Tugu, tidak kuasa untuk tidak menulis. Bahkan selain menulis, Slamet Riyadi Sabrawi mengabadikannya pula melalui kemera HP, karena itu pada antologi puisi ‘Negeri Barbar’ ia menyertakan foto pada setiap puisinya. Oleh Karena itu, kita bisa membaca puisi yang berjudul ‘Tugu’ sekaligus melihat foto Tugu.

“Hanya saja, karena mengambil gambarnya menggunakan kamera HP yang sudah tua sehingga hasil fotonya kurang tajam,” kata Slamet Riyadi Sabrawi.

Landung Simatupang, Peluncuran antologi puisi Slamet Riyadi Sabrawi yang keempat, Sabtu, 24 November 2012 di Pendapa Gambirsawit, Joyonegaran, Mergangsan, Yogyakarta, foto: Tegoeh Ranusastro
Mengenakan baju warna merah, tak melepas kaca mata, Landung Simatupang
sedang membaca puisi yang berjudul ‘Tugu’

Ons Untoro

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta