Tembi

Berita-budaya»SEYOGYANYA DARI PANTURA

13 May 2011 10:36:00

SEYOGYANYA DARI PANTURAMudah dirasakan, mudah dipahami, mudah dinikmati, serta tetap menarik dan berkualitas. Begitulah lukisan-lukisan Tri Bagdo Sulistiyono yang selalu menampilkan wayang golek sebagai ikon khasnya. Tri dan tiga kawannya tampil dalam pameran seni rupa ‘Seyogyanya’ di Galeri Biasa (26-30/4).

Tema tradisi di tengah dominasi arus modernisasi tidak pernah mati. Begitu pula dalam seni rupa, karya-karya bernada menggugat ini masih terus bermunculan. Boleh dikata karya-karya semacam ini berada di antara karya seni rupa yang bertolak dari pola tradisional dan retradisionalisasi di satu sisi, dan yang bertolak dari revitalisasi di lain sisi.

Karya-karya Tri Bagdo Sulistiyono berangkat dari semangat menggugat, yang gundah gulana atas terjangan modernisasi yang mengancam nilai-nilai tradisi. Wajah wayang golek dalam lukisannya adalah wajah yang damai dan santun, dengan senyum tersungging yang anggun. Menampilkan ikSEYOGYANYA DARI PANTURAon wayang golek dalam tema besar yang sama selama sepuluh tahun lebih jelas membutuhkan keragaman cara visual. Pada pameran ini setidaknya ada tiga positioning. Pertama, benturan modernisasi dan tradisi. Karyanya yang berjudul ‘Akulturasi’ berupa tiga panel lukisan, menampilkan sesosok wayang golek yang terkoneksi kabel-kabel dari sebuah bola dunia. Namun kulit wajah close up-nya di panel kiri dan kanannya mengelupas terimbas gelombang hijau dari bola dunia, simbol globalisasi. Artinya, dalam akulturasi ini terjadi ketidakseimbangan pengaruh.

Kedua, kondisi tradisi yang memprihatinkan. Lukisannya ’Capek Deh’ meski secara teknis bentukan realisnya bagus namun sebagai visualisasi gagasan tergolong biasa, seorang dalang yang duduk terkulai bersama wayang golek yang tergeletak di sampingnya. Lukisan yang lebih menarik dan menggigit adalah ’Memory of the Age’, yang mengangkat persoalan klasik mengenai tradisi yakni ingatan yang memudar, tradisiSEYOGYANYA DARI PANTURA semakin menjadi bagian dari masa lalu. Empat sosok wayang golek terlihat samar dalam sapuan-sapuan putih yang hanya menyisakan penanda-penanda tradisi dari kostumnya. Masih ada sesosok wayang utuh yang sedang menundukkan kepala seperti berduka dan berdoa, mencerminkan keprihatinan. Sapuan warna merah melintang di bagian bawah kanvas.

Ketiga, semangat kejayaan dan kebesaran tradisi. Lukisan ’Spirit Merah Putih’ mengekspresikan keanggunan tradisi yang menawan. Dalam komposisi simetris dengan pembagian bidang dan garis yang jelas, sebuah gunungan yang terbagi warna merah dan putih diposisikan sentral. Di dua bidang diagonal, relief bermotif lung-lungan memberi aksen tradisi, ditambah relief wayang golek berwarna monokromatik yang berdiri berjajar. Ada pula motif kain poleng Bali, kotak-kotak hitam putih yang bersSEYOGYANYA DARI PANTURAelang-seling. Di sisi kiri sesosok wayang golek dengan kostum berwarna yang lengkap berdiri santun.

Selain mengandung gugatan, sosok wayang golek Tri telah mengalami revitalisasi dengan sedikit perubahan dari sosok pakemnya, baik dari wajah maupun kostumnya. Perubahan ini mencerminkan semangat pembaruan Tri yang menginginkan agar seni tradisi tetap hidup dan disukai. Pembaruan-pembaruan ini menurutnya penting untuk menghadapi penyeragaman globalisasi.

Kepada Tembi alumni jurusan seni rupa Sarjana Wiyata Yogya ini menjelaskan bahwa persoalan tradisi yang terancam oleh globalisasi merupakan masalah krusial. Ia melihat adanya kecenderungan penyeragaman terhadap keanekaragaman kekayaan tradisi kita. Sejumlah pranatSEYOGYANYA DARI PANTURAa sosial seperti kerja bakti, ronda, berkah bumi mulai menghilang karena dianggap tidak efektif. Tradisi, menurutnya, menjadi gangguan bagi globalisasi, notabene kapitalisme.

Pameran ‘Seyogyanya’ menampilkan karya-karya dari kelompok ‘4 Sekawan Perupa Pantura’. Selain Tri yang tinggal di Batang, ada Bambang Kucir Trilaksono dari Pekalongan, Hery Panjang (Pekalongan) dan Tot Arist Bumi Mara (Batang). Pekalongan dan Batang yang berjarak sekitar 40 kilometer ini terletak di pantai utara (pantura).

Kelompok ini bersifat cair dan tidak permanen. Para perupa ini, kata Tri, biasa berkumpul di Rumah Seni APA, Batang. Ada sekitar 30 perupa yang berada di jalur Pekalongan-Batang kerap berdiskusi dan berkarya di rumah ySEYOGYANYA DARI PANTURAang didiami Tri ini. Pameran mendatang akan diikuti perupa-perupa lain di komunitas ini. Kota pamerannya, kata Tri, tetap Yogya yang dianggapnya sebagai pusat seni rupa dengan tujuan untuk meluaskan wawasan dan jaringan perupa-perupa di daerahnya.

Karya-karya ketiga perupa lainnya tidak kalah menarik, terutama karya Bambang Kucir. Karya-karya Bambang yang abstrak terasa ekspresif dan kuat. Sebagiannya masih mencerminkan bentukan obyek nyatanya. Misalnya dalam ’Deco’ ia bermain stilisasi yang beranjak dari gaya tradisi. Begitu pula dalam bentukan gunung(an), ombak laut dan elemen alam lainnya dari bahan mix media. Karyanya yang lain ’Improvisasi Bidang 2’ diperkuat dengan susunan dan tumpukan materi tiga dimensi. Terasa suasana chaos dan bergejolak dalam penyusunan, goresan dan pewarnaannya.

KarySEYOGYANYA DARI PANTURAa Hery Panjang bernuansakan kritik sosial dan lingkungan. Ia senantiasa menampilkan warna hijau baik sebagai keseluruhan atau serpihan. ’Terkikis Satu Titik’ menampilkan gedung-gedung tinggi dan cerobong pabrik bertekstur dedaunan serta kepulan asap hijau di langit yang hijau, lantas selembar daun kering berwarna coklat melayang jatuh.’Konfrontrasi’ mengingatkan pada perebutan wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Beberapa gundukan dedaunan diserbu barisan semut. Semut merah dari dedaunan kering, semut hitam dari dedaunan hijau dimana sebagian semut merah berbaris menuju dedaunan hijau. Suasananya nglangut dalam atmosfir warna kelabu yang mengepung. Ada pula ’Sisa-sisa Malam’ yang romantik dimana lelaki yang tertidur kelelahan di atas daun pisang. Di ujung kakinya, segelas kopi berisi kopi tergeletak di atas tatakan. Berlatarkan warna biru langit, ia seakan tenggelam dalam mimpi.

Sedangkan Tot Arist bermain dalam warna-warna kontras yang mencolok. Gayanya khas, sebatang pohon yang berbuahkan rumah-rumah kecil berwarna kuning yang mencerminkan keoptimisan. Tanah warna-warni pilkadot, berlubang-lubang laiknya rumah lebah, menjadikan karyanya tampil manis. Dua karyanya ini, ’Reborn #1# (Setelah Magma)’ dan ’Reborn #2# (Akan Tetap Ada)’, mungkin berkisah tentang semangat kehidupan setelah meletusnya Gunung Merapi.

’Seyogyanya’ bukan sekadar pameran di Yogya tapi menyiratkan sebuah imbauan atas kondisi yang terjadi kini. Barangkali juga, seperti tersirat dalam perbincangan dengan Tri, pameran ini menunjukkan gaya visual yang terus mengeksplorasi ekspresi diri yang jujur, bukan semata mengikuti tren pasar.

barata




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta