Sastra di Tengah Dusun

Sastra di Tengah DusunKegiatan sastra di Yogya semakin terus bernafas, bahkan malah semakin santer sehingga memberikan tanda: kehidupan sastra di Yogya semakin menggairahkan. Di lokasi yang terpencil, masuk dusun dan jauh dari akses transportasi, kegiatan sastra seperti sedang menyalakan api. Aktivis sastra pada hadir melakukan performance dan diskusi, setidaknya seperti apa yang dilakukan di Senthong Seni Srengenge Sabtu (21/4) menghadirkan program “Sastra Kampung Halaman’ dan menampilkan pembacaan puisi dan cerpen. Selain itu ada pameran foto

“Sastra Kampung Halaman’ ini mengambil lokasi di dusun Banyutumumpang, Bangunjiwa, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Persisnya di rumah penyair Sitok Srengenge. Di lokasi, sebut saja kampung ini, bangunan pendapa yang berada di antara pepohonan dipakai untuk menyelenggarakan kegiatan sastra.

Sastra di Tengah DusunPendapa yang ada banyak tinganya di tengah dan dipinggiran, selain berfungsi untuk menyangga bangunan, sekaligus dipakai untuk memajang karya foto. Maka, pada acara ‘Sastra Kampung Halaman’ edisi kedua ini, tiang-tiang pendapa dipakai untuk memajang fotografi karya Arik.S. Wartana.

Dalam suasana temaram diluar pendapa ‘Srengenge’, para penampil penuh ekspresif, bahkan pembacaan cerpen yang dilakukan Gita Pratama, memiliki kesadaran panggung sehingga dia bisa ‘keluar’ pendapa sambil terus membaca, seolah mencari ‘tokoh’ yang ada didalam cerpen yang dibacakan.

Arahmaiani, membacakan 7 puisi yang ditulisnya dari tahun 1983, sampai puisi tahun 2000-an. Dalam membaca ia diiringi musik oleh Wukir, sehuingga suasana pembacaan menjadi terasa basah, dan pembacaan nampak hidup. Tampaknya, Arahmaiani tidak ingin pendengar hanya ‘mendengar kata-kata’, karena itu iaSastra di Tengah Dusunmemadukan antara kata dan musik. Keduanya saling mengisi dan menghidupi.

Sastra di tengah dusun Banyutemunpang, Bangunjiwa, Kasihan, Bantul, di rumah Sitok Srengenge, seolah hendak menarik sastra di tengah kehidupan masyarakat desa. Sastra dalam suasana sepi, tidak ada hiruk pikuk kendaraan yang memadati kota. Di Pendapa “Srengenge’, sepertinya sastra sedang (di) hidup (kan) sambil lesehan dan minum secangkir secang yang ditemani kacang rebus, pisang rebus dan ubi. Suasana desa, yang ada di desa mewarnai kegiatan sastra ‘Kampung Halaman’.

Rasanya, Yogya tambah tidak sepi dari kegiatan sastra. Anak-anak muda dari generasi setelah 1990-an, bisa berbaur dengan aktivis sastra dari generasiSastra di Tengah Dusunsebelumnya. Kegiatan sastra dibanyak tempat di Yogya, salah satunya di pendapa ‘Srengenge’ ini menjadi ruang pertemuan antara kreator sastra, penggiat sastra dan pecinta sastra. Gabungan antara performance dan diskusi, menjadi ‘warna’ dari kegiaatan sastra ‘Kampung Halaman”.

‘Senthong Seni Srengenge’ untuk memberi ruang terbuka pada karya seni, dan tidak terlalu ketat kuratorialnya. Orang mempunyai kebebasan dalan menampilkan karya-karyanya, dan tidak selalu menampilkan penulis senior, atau penulis tua. Tetapi, terbuka bagi anak-anak muda untuk mengekspresikan karya-karyanya.

“Saya memang sengaja tidak terlalu ketat dalam kuratorial terhadap karya-karya yang ditampilkan. Tetapi memberi ruang terbuka pada siapa saja untuk tampil” kata Sitok Srengenge.

Setidaknya, kita bisa mempunya banyak pilihan untuk menikmati kegiatan sastra yang ada di Yogya. Salah satunya di Senthong Seni Srengenge ini.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta