- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»RETAK WAJAH MOELYONO
18 Aug 2011 07:17:00Lukisan Moelyono bukan hanya sekedar indah dan menarik, tetapi memuat persoalan sosial yang kompleks. Rasanya, Moelyono adalah salah seorang pelukis yang menyadari, bahwa karya seni lukis tidak pernah sepi dari problem. Justru, bagi Moelyono, menciptakan karya lukis berangkat dari persoalan. Agar tidak ‘dituduh’ melakukan propaganda, estetika dari karya lukisnya diperhitungkan. Jadi, melihat karya seni lukis Moelyono, setidaknya yang dipamerkan di Rumah Seni Cemeti 5-26 Agustus 2011 dengan tajuk ‘Retak Wajah Anak-Anak Bendungan”, kita akan menemukan karya seni lukis Moelyono seperti itu.
Sesuai judulnya ‘Retak wajah’ lukisan karya Moelyono, yang berupa wajah-wajah orang memang ‘ditampilkan’ retakan-retakan dimukanya. Sebenarnya yang retak bukan wajahnya, melainkan tanahnya. Pada ‘wajah’wajah’ yang retak, kita bisa menemukan retakan tanah. Agaknya, Moelyono hendak berkata pada publik, akibat bendungan yang ‘mengambil’ lahan penduduk, kehidupan mereka menjadi ‘retak-retak’.
Bendungan Wonorejo, Jawa Timur mulai dibangun 1982. Bendungan ini untuk mengendalikan banjir dan pembangkit PLTA, untuk obyek wisata, dan untuk memasok kepentingan air minum di kota Surabaya. Kita pasti bisa membayangkan, bahwa pembangunan Bendungan membutuhkan lahan yang luas. Untuk pembanguan Bendungan Wonorejo ini telah dibebaskan 520 hektar tanah perwawahan, pemukiman, sekolah dan pasar tergusur. Warga yang tanahnya terkena gusur dipindahkan dengan transmigrasi lokal, antar pulau, atau pindah ke keluarganya dan ada yang tinggal dikawasan sabuk hijau.
‘Retak Wajah Anak-anak Bendungan’ selain menyajikan seni lukis, juga menghadirkan karya instalasi. Kecuali itu, Moelyono menunjukkan data-data geografis wilayah Wonorejo. Dihadirkan pula dokumentasi proses kerja Moelyono bersama warga dan anak-anak.
“Moelyono juga membawa beberapa karya lukis di atas kaca garapan seorang petani di desa Wonorejo, pak Katar. Moelyono seperti membawa pengunjung ke dalam lokasi penelitiannya saat masih dalam proses pembangunan, dengan tali-tali menjuntai berpendulum dan konstruksi besi yang belum selesai digarap. Marka-marka pengukur elevasi air yang ditempelkan, Moelyono hendak menyatakan staSa’Uninetpentingnya menimbang kembali pemaknaan dan pemilihan media seperti halnya instalasi secara taktis dan efisien” tulis Nindito
Melalui karya-karyanya, baik seni lukis maupun instalasi, Moelyono seperti sedang berkisah mengenai Bendungan. Tetapi bukan Bendungannya yang menjadi fokus, melainkan kisah mengenai warga masyarakat yang menjadi korban, terlebih anak-anak. Maka, tajuk pamerannya menunjuk anak-anak ‘Retak Wajah Anak-anak Bendungan’. Anak-anak yang mestinya memiliki mimpi, malah menderita akibat modernisasi, yang dalam bahasa rezim (orde baru) disebut sebagai pembangunan.
Lukisan ‘wajah-wajah’ karya Moelyono, semua kulit mukanya berupa tanah-tanah retak, sehingga seluruh mukanya terlihat retakannya. Di dalam lukisan ada gambar produk industri, misalnya hp dan produk industri lainnya. Barangkali, melalui barang-barang industri itu, Moelyono hendak berbisik: meski warga korban Bendungan mengalami penderitaan, tetapi tidak bisa ‘lepas’ dari serbuan produk industri modern.
Moelyono meletakkan karya lukis pada wilayah seni untuk pembebasan. Seni bagi dia tidak bebas nilai, karena itu melalui seni lukis melakukan penyadaran untuk masyarakat yang dilupakan. Meskipun karya seni lukisnya memilikikeberpihakan, tetapi karya lukis Moelyono tidak ‘dihadirkan’ secara agitatif.
Secara singkat, Rumah Seni Cemeti memberi informasi mengenai Moelyono, agar publik yang menikmati pameran ‘Retak Wajah Anak-anak Bendungan’ mengenali latar belakangnya.
“Moelyono lahir di Tulungagung 1957, belajar di ISI Yogya. Sejak tahun 1990-an Moelyono telah aktif bekerja untuk lembaga swadaya masyarakat disamping terus berkarya sebagai perupa. Ia menggunakan seni sebagai medium advokasi untuk penyadaran akan berbagai problema spesifik di masyarakat, sebagian besar dilakukannya dengan penduduk desa dan anak-anak. Di sisi lain, pengalaman lapangan serta realitas kehidupan yang dihadapinya memunculkan banyak inspirasi juga eksplorasi di dalam karyanya sendiri. Moelyono mempertanyakan fungsi-fungsi seni dan mengkomunikasikan kepada audiens seni/urban yang berbeda”.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- 23 Februari 2010, Kabar Anyar - THE RAKUS OF SOMETHING WRONG DI TBY(23/02)
- Stasiun-stasiun Kecil di Jogja(08/08)
- 8 Maret 2010, Klangenan - KULTUR LAMA PADA PERANGKAT MODERN(08/03)
- 12 Februari 2011, Denmas Bekel(12/02)
- 27 Nopember 2010, Kabar Anyar - TARIAN UNTUK PENGUNGSI(29/11)
Gedung Societet 1941(17/10) - PAMERAN FOTO NEWS YANG BERAGAM(16/01)
- Watak Wanita Berdasarkan Katuranggan(23/06)
- KICIK KAMBING, TONGSENG, SATE DAN TENGKLENG(12/07)
- Mangut Lele Mbah Marto Lele Asap Pedas Manis(24/06)