Reog Kubro

Pada setiap hari raya lebaran kedua, yang tahun 2011 ini jatuh pada hari kamis 1 September, penduduk dusun Pasutan, Trirenggo, Bantul, terutama generasi muda dan remajanya, sepakat untuk mementaskan kesenian hasil kreasi mereka yang diberi nama Reog Kubro. Dinamakan Reog karena kesenian ini terinspirasi oleh kesenian Reog Ponorogo, baik gerakannya, musiknya dan juga kostumnya. Sedangkan kubro maksudnya adalah besar. Besar dalam hal jumlah, karena ditarikan oleh hampir semua pemuda remaja dusun Pasutan, dan besar dalam hal tempat pementasan, karena dipentaskan di lapangan sepak bola Pasutan.

Reog Kubro
Supono, tokoh dibalik Reog Kubro (foto: herjaka)

Kesenian Reog Kubro ini, lahir, hidup dan dihidupi dengan semangat swadaya. Seperti kesenian tradisional pada umumnya, Reog Kubro merupakan hasil ekspresi estetika dari masyarakat pendukungnya yang selaras dan sesuai dengan potensi lokal yang ada. Sejalan dengan proses kreatif yang dilakukan yang meliputi, latihan musik, latihan tari dan pembuatan kostum, kesenian reog Kubro ini juga menjadi sarana untuk menjalin semangat kesatuan, gotong-royong, sarana hiburan membangun suasana damai dan sukacita.

Reog Kubro
Buta Terong, salah satu prajurit raksasa (foto: herjaka)

Pada tahun 2006 ketika gempa tektonik menggoncang dengan dasyat dan meluluh-lantakkan bangunan fisik yang ada di Bantul termasuk di dusun Pasutan, bangunan kesenian yang bernama Reog Kubro ini tidak ikut luluh lantak. Justru semangat yang ada pada kesenian Reog Kubro yaitu kesatuan, gotong-royong kedamaian, penghiburan dan sukacita mampu memotivasi harapan hidup yang terpuruk. Ketika siang hari mereka bergotong-royong membenahi dan membangun rumah yang rusak akibat gempa, malam harinya mereka berlatih Reog Kubro.

Proses kreatif yang didapat dari latihan tersebut, menjadikan kemasan Reog Kubro menemukan bentuk yang baru. Dari tarian yang bergaya reog, berubah menjadi tarian yang bergaya wayang uwong, dengan cerita yang menggambarkan perang Giriantara, perang antara pasukan kera Pancawati melawan pasukan raksasa Alengka. Maka kemudian penataan kostum dan penataan tari disesuaikan dengan cerita tersebut. Kecuali untuk musiknya tidak mengalami banyak perubahan, masih berkarakter sebagai musik pengiring kesenian reog.

Reog Kubro
Para prajurit kera (foto: herjaka)

Reog Kubro
Ritual sebelum adegan perang babak ke dua (foto: herjaka)

Reog Kubro
Adegan Anoman dan Sinta (foto: herjaka)

Untuk memenuhi kebutuhan akan kostum dan properti, mereka mengusahakan sendiri. Dengan dibimbing oleh Supono, mereka membuat topeng-topeng perajurit raksasa, topeng-topeng prajurit kera dan topi jamang, topi makuta, yang semuanya menggunakan bahan dari kertas semen. Disamping membimbing pembuatan topeng dan topi, Supono juga melatih gerakan tari wayang uwong. Satu kelompok dilatih gerakan tari perajurit kera dan satu kelompok dilatih gerakan tari prajurit raksasa. Walaupun hasilnya tidak seperti yang diharapkan, tetapi dirinya cukup puas dengan semangat mereka, kata Supono. Hingga akhirnya mereka dapat mementasakan pentas Reog Kubro pada lebaran kedua tahun 2006, dengan kemasan baru

Tidak berlebihan jika pentas pada tahun 2006, empat bulan setelah gempa, merupakan pentas spektakuler, dan sekaligus sebagai bukti bahwa mereka mempunyai daya tahan dan semangat luar biasa dalam menghidupi kesenian Reog Kubro. Tentu saja pentas yang digelar di tengah-tengah proses pemulihan fisik maupun pemulihan mental akibat gempa tersebut menyedot banyak penonton yang haus akan hiburan.

Penyajian pementasan Reog Kubro dibagi dua babak. Babak pertama adalah tarian para prajurit Kera dan para prajurit raksasa dalam posisi memanjang, kanan dan kiri, dengan kostum yang lengkap. Sedangkan untuk babak ke dua adalah adegan perang antara para prajurit kera dan para prajurit raksasa. Beberapa peraga melanjutkan adegan perang tersebut dengan ndadi atau kesurupan. Olehnya karena beberapa penari yang akan ndadi menggunakan kostum yang tidak lengkap seperti pada babak pertama.

Apa yang di kerjakan dan di ekspresikan oleh para remaja dan pemuda dusun Pasutan tersebut mendapat respon positif dari masyarakat Bantul dan sekitarnya. Hal tersebut dapat ditandai dengan hadirnya ribuan penonton dan puluhan pedagang pada setiap pementasan Reog Kubro. Jika pun pada dampaknya kesenian ini mampu memberi rasa damai, penghiburan dan sukacita pada orang lain, dikarenakan Reog Kubro ini telah terlebih dahulu memberi rasa damai, penghiburan dan sukacita bagi pelakunya.

Saat ini, pementasan Reog Kubro dijadikan agenda tahunan, pentas setiap tahun sekali, pada hari raya lebaran ke dua, bertempat di lapangan Pasutan. Bahkan pada tahun 2010 Reog Kubro pentas dua hari berturut-turut, pada lebaran ke dua dan pada lebaran ketiga.

Di tengah era komunikasi global dan pasar bebas yang segala sesuatunya diukur dengan uang, termasuk juga sektor kesenian, anak- anak muda rermaja dusun Pasutan mengusung kesenian khas mereka tidak semata-mata berdasarkan angka rupiah. Karena sesungguhnya kedamaian, penghiburan dan sukacita jika pun harus diuangkan tentunya tak ternilai jumlahnya.

herjaka HS




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta