"PROSES MENJADI"
PENTING BAGI MASYARAKAT JAWA
Kebudayaan Jawa merupakan sistem kehidupan yang lengkap, rinci, konsisten, dan canggih sehingga patut dinamakan sebagai kebudayaan adilihung dan “linuwih” (unggul). Di lain pihak, kebudayaan Jawa yang adiluhung itu juga merupakan sistem yang sangat kompleks. Akibatnya masyarakat awam, terutama anak-anak, sulit untuk memahaminya.
Kebudayaan Jawa mempunyai konsep hidup yang disebut “Memayu Hayuning Bawana”. Pada dasarnya konsep hidup itu merupakan konsep pembangunan berkelanjutan yang sangat efektif karena menggunakan pendekatan holistik, yaitu pendekatan berupa “penataan kesadaran batin”. Kalau kesadaran batin ini sudah tertata (managable), maka perilaku dan akal yang dihasilkan akan dengan sendirinya benar. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan pembangunan dari Barat yang menggunakan kesadaran akal (rasional). Dengan demikian, penataan kesadaran batin yang dilakukan oleh masyarakat Jawa lebih berorientasi pada “proses menjadi” (to be), sementara pendekatan kesadaran akal oleh dunia Barat lebih berorientasi pada “proses memiliki” (to have). Demikian pendapat yang disampaikan oleh Sri Haryatmo (peneliti Balai Bahasa Yogyakarta) dalam acara “Workshop dan Dialog Sastra Jawa” yang digelar oleh Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta di Joglo Tamansari Yogyakarta pada Kamis (22/12/2011) lalu.
Lanjutnya, dalam mencapai “memayu hayuning bawana”, diperlukan proses transformasi dan internalisasibudaya. Dalam transformasi budaya ini hendaknya mencakup proses penemuan kembali, pemaknaan kembali, dan perumusan kembali terhadap nilai, norma, dan etika budaya Jawa sedemikian rupa sehingga dapat dipahami, diterima, dan diterapkan dalam masyarakat awam. Proses internalisasi kebudayaan adalah suatu proses untuk menanamkan nilai-nilai, norma, dan etika kebudayaan kepada masyarakat dengan tujuan penataan kesadaran batin.
Sementara berkaitan dengan bahasa (dan sastra) Jawa, menurutnya, bahwa bahasa Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa merupakan sistem yang sangat kompleks. Dengan kompleksitas itu, bahasa Jawa tidak banyak dipahami dan dimaknai oleh masyarakat, terutama generasi muda. Padahal bahasa Jawa mempunyai kekuatan yang luar biasa. Jika budaya Jawa dapat dikatakan adiluhung, bahasa Jawa juga adiluhung. Adiluhungnya bahasa Jawa antara lain terlihat dari lengkapnya bahasa Jawa dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya. Kekuatan bahasa Jawa di samping sebagai alat komunikasi orang Jawa, juga menjadi sarana identitas jati diri bangsa, sarana menghormati orang lain, sarana mengungkapkan konsep dan fakta, serta sarana mengungkapkan ekspresi diri. Contoh bahasa Jawa dapat mewakili konsep dan fakta, dalam aktivitas “membawa”, diungkapkan dengan berbagai kosa kata yang berbeda, seperti: nyunggi, mundhak, mikul, ngindhit, nyangking, mbopong, nyangkrik, dan lain-lain.
Demikian pula dalam mengungkapkan ekspresi bersastra, bercerita, berdialog, dan sebagainya. Dalam hal bersastra, penyair atau pengarang akan lebih leluasa dalam meilih kata-kata yang tepat dan puitis karenabahasa Jawa sangat lengkap. Dalam bahasa Jawa terdapat “dasanama”. Misalkan kata “anak”, terdapat sinonimnya yang lengkap, seperti: putra, sunu, yoga, weka, atmaja, siwi, putri, dan sebagainya. Dengan lengkapnya kosa kata dalam bahasa Jawa, diharapkan para penyair dapat mengarang (menghasilkan karya) lebih baik, asalkan ia mau belajar dengan serius dan percaya diri.
Sementara itu, menurut Iman Budhi Santosa, seorang pembicara lainnya, antara lain mengatakan bahwa dalam tradisi para leluhur Jawa, manakala menghadapi situasi buruk, yang dilakukan bukanlah “sesambat” (mengeluh) kemudian “nyalahake liyan” (menyalahkan pihak lain), “kahanan” (situasi lingkungan), dan zaman. Melainkan, segera mesu budi (introspeksi, mawas diri). Membangun ketahanan diri atau melakukan pembajaan diri. Sekaligus menggali berbagai potensi, baik yang kasat mata maupun tidak kasat mata untuk dijadikan “aji-jaya kawijayan” (senjata mencapai kemenangan) sebagai bekal melanjutkan perjuangan mengabdi pada keyakinan yang dimiliki.
Acara ini juga diisi dengan praktik berdialog berbahasa Jawa, ragam ngoko, ngoko alus, dan krama, serta diskusi tanya jawab seputar bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Sebenarnya acara akan dilanjutkan dengan membuat “geguritan” (puisi bebas berbahasa Jawa), namun karena keterbatasan waktu, maka setiap peserta diminta membuat geguritan di rumah masing-masing. Acara ini dihadiri sekitar 70 peserta, yang terdiri dari pemerhati sastra Jawa wakil kecamatan se-kota Yogyakarta, guru SD, SMP, dan SMA, serta para budayawan setempat.
Suwandi
Artikel Lainnya :
- DOLANAN SLIRING GENDHING-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-31)(04/05)
- UANG NEGARA DIRAMPOK(24/10)
- Batara Guru(30/03)
- HANYA ADA MENU PIG DI PIG RESTO(23/05)
- 20 Mei 2010, Situs - GPH PUGER CIKAL BAKAL KAMPUNG PUGERAN JOGJA(20/05)
- Siti karo Slamet. Jilid 1(16/05)
- NYATUS DINA HERU KESAWA MURTI AKU CINTA ISTRIKU(19/11)
- DAUN PINTU SEBAGAI PENGINGAT AKAN BENCANA(02/02)
- 12 Nopember 2010, Figur Wayang - Watak Ksatria(12/11)
Masjid Kauman tahun 1888 dan 1925(17/10)