Perjalanan Personal Harlen Kurniawan
Warna putih pada batu yang meruncing itu nampak menonjol dalam selimut warna hitam. Seakan tak menyerah pada kegelapan. Diperkokoh pagar kayu yang mengelilingi, serta ikatan tali merah yang mengesankan semangat dan keberanian. Tanpa diberi judul ‘Pondasi Putih’ pun, lukisan ini sudah menyorongkan narasi kekokohan.
Lukisan ini salah satu dari 16 karya Harlen Kurniawan yang dipamerkan di ViaVia Café sejak 14 Maret lalu. Dalam pameran tunggal bertajuk ‘J.O.U.R.N.E.Y’ ini Harlen menggunakan media kertas meski ia melukisnya dengan cat akrilik. Ia sengaja tidak menggunakan kanvas seperti karya-karyanya sebelumnya.
Alasannya, seperti diungkapkan Harlen kepada Tembi, karya-karyanya ini merupakan hasil coretannya saat perjalanan dalam rentangan waktu pamerannya di Bandung, Medan dan Yogya pada paruh akhir 2011. Di Bandung ia berpameran sekali, dan di Medan dua kali. Sejak dulu, tepatnya sejak 1999, ia terbiasa membawa kertas kemana-mana. Karya-karya yang dipamerkan kali ini merupakan hasil perenungannya selama rentang perjalanannya ini. “Ini merupakan coretan introspeksi diri saya,” ungkapnya.
Selain itu, menurutnya, melukis di atas kertas bisa lebih spontan dan mengalir. Ruang kertas yang panjangnya sekitar 30 sentimeter juga lebih mudah direspon ketimbang ruang kanvas yang panjangnya 150 sentimer.
Perupa kelahiran 1980 ini senantiasa berusaha jujur dalam berkarya. Lukisan ‘Pondasi Putih’ menunjukkan tekadnya untuk tetap bergeming dan kokoh dalam kejujurannya. Ia mengaku, agama merupakan fondasinya dalam hidup. “Religi tidak mengungkung saya dalam berkarya tapi justru memberi kebebasan yang bertanggung jawab,” katanya.
Kejujuran ini, spontan apa adanya, agaknya juga nampak dari gaya lukisannya yang cenderung abstrak. Jika ada yang menyebut karyanya sebagai raw art mungkin benar. Yang jelas, karya-karyanya tidak tergolong indah dalam batasan kriteria umum. Dalam beberapa hal, karyanya mengingatkan pengaruh Jean-Michel Basquiat, seniman yang dikagumi Harlen. Karyanya, ‘Basqikuk’, menyindir kekikukan sebagian seniman penghamba pasar yang kikuk berkarya setelah boom senirupa lewat
Bagi Harlen, kepekaan personal dalam berkarya sangat penting, yang nampak dalam penggalian keliaran dalam dunia imajinasi yang selalu berkembang. Menurutnya, bentuk fisik tubuh hanya merupakan transformasi sedangkan yang mendominasi di sini adalah ruang imajinasi dan keliaran berfantasi, yang tak berujung dan tak pernah selesai.
“Niat saya hanya berkarya,” tegas alumni ISI Yogyakarta ini. Harlen percaya bahwa setiap goresan karya ada ruhnya. Keyakinan yang agaknya mencuat dari seniman yang berkarya dengan (sepenuh) hati.
Dengan gaya melukis yang dipilihnya ini agaknya tidak banyak kolektor yang melirik karya-karyanya. Namun Harlen memilih bertahan untuk setia dengan kejujuran ekspresinya. Tetap membutuhkan finansial di jalan senirupa yang dipilihnya, ia yakin karya-karyanya memiliki pasarnya sendiri. Terbukti pada akhir 2011 yang lalu misalnya, ada kolektor dari Amerika Serikat dan Rusia yang memborong karya-karyanya. Kolektor dari Amerika ini, sepasang suami istri, sempat berdansa di depan karyanya, mungkin karena daya bicara lukisannya yang merangsang keriangan untuk menari. Kolektor dari Rusia bahkan ingin membeli seluruh 17 karyanya yang tengah dipamerkan. Tapi atas permintaan Harlen yang menghendaki satu karya sebagai arsip, ia “hanya” membeli 16 karya.
Karya-karyanya yang diminat kolektor Rusia ini sarat dengan kritik sosial, wujud kegundahannya atas perusakan lingkungan dan ketidakadilan yang terjadi. Ekspresi semacam ini beberapa kali saya temui dalam karya-karyanya pada pameran bersamanya di tahun 2010. Namun dalam pameran kali ini agaknya Harlen tengah menukik ke dalam dirinya yang personal, termasuk perspektif hidupnya. Meski ada satu karya, ‘Tinggal Sepetak’, dalam greget sapuan kasar warna tanah yang, menurut Harlen, menggambarkan semakin tersisihnya sawah akibat pembangunan perumahan di daerah tempat tinggalnya.
Ia juga mengekspresikan hal-hal “ringan”. Karyanya yang juga menarik secara visual, ‘Negeri Gunung’, menurut perupa kelahiran Bukit Tinggi ini, merupakan gambaran tempat kelahirannya, Bukik Apit, yang dikelilingi tiga gunung, yakni Merapi, Singgalang dan Sago. Tetap dengan distorsi abstrak, karya ini mengesankan keheningan yang damai dalam dominasi putih dilintasi garis kuning, dengan tiga sosok distortif gunung yang tak menonjol.
Pada 26 Maret lalu, ia mendisplay tambahan sekitar 40 karyanya sehingga lebih mewakili keutuhan perjalanannya. Penutupan pameran yang seharusnya pada 4 April ini lantas diundur menjadi 14 April.
‘Journey’ yang dipilih sebagai tajuk pamerannya kali ini mengandung penjelajahan diri. Termasuk, menurutnya, perjalanan estetis. Karenanya Harlen tak sekadar traveling, jalan-jalan atau berwisata seperti turis. Tapi melakukan renungan atas proses kreatif dan jalan hidupnya selama ini, baik dengan gaya serius yang pekat maupun gaya main-main yang ringan.
barata
Artikel Lainnya :
- TOMBRO BACEM PANDAN DI Tembi(25/04)
- PEMBANTU-PEMBANTU KELUARGA KOLONIAL DI MASA LALU(12/05)
- VINYL ATTACK Pameran Piringan Hitam(22/04)
- 29 Maret 2010, Klangenan - 2000 IKLAN SEPANJANG 1 KM(29/03)
- Cemilan Gurih-Manis, Martabak Jamur dan Pisang Kencana(11/02)
- 7 September 2010, Bothekan - WEDI WIRANG WANI MATI(07/09)
- NASI GORENG IGA PLASMA FOOD CORNER(24/10)
- Bebek Goreng Di Surabaya(25/06)
- 13 Desember 2010, Klangenan - PLESETAN: DARI KATA MENUJU VISUAL(13/12)
- KREATIVITAS UNTUK ATASI SAMPAH(27/06)