Penyair, Peragawati dan Desainer Tampil di Bawah Terang Bulan Purnama
Tosa Santosa, yang sehari-harinya sebagai penyelenggara peragaan busana, dan memiliki kegemaran menulis puisi, mengirimkan 10 puisiyang semuanya diberi judul ‘Rentak 1-10’. Dia membawa seorang peragawati dan seorang desainer untuk membacakan puisi-puisi karyanya.
Lia Mustafa
Langit bersih, bulan bundar di atas menyinari puisiyang sedang dibacakan oleh para penyair dan pembaca lainnya, dalam acara Sastra Bulan Purnama, Jumat 20 September 2013 di Amphytheater, Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta.
Lima Penyair dari tiga kota, demikian tajuk dari Sastra Bulan Purnama edisi ke-25, namun satu penyair dari Sidoarjo berhalangan hadir sehingga hanya ada 3 penyair dari Yogya dan 1 penyair dari Banyuwangi. Namun, beberapa penyair membawa pembaca puisikaryanya dari kalangan berbeda, misalnya Tosa Santosa menghadirkan pembaca dari kalangan birokrat, desainer dan peragawati. Puisi Sri Sulandari dibacakan penyair perempuan lainnya.
Hari Palguna, penyair yang pernah menerbitkan antologi puisidan cerpen, tampil membacakan puisikaryanya sendiri. Ia tampil pertama dengan membaca puisiyang berjudul ‘Kredo Puisi’ seolah untuk menegaskan, bahwa malam bulan purnama ini adalah ‘malam milik penyair”.
“Hatiku di hatimu berlabuh
Diterpa angin, deburan ombak bertabuh’
Suara Hari Palguna mantap, seperti hendak meneguhkan malam puitik di bulan purnama ‘hanyalah’ milik penyair, atau setidaknya milih para penggemar puisi, yang selalu hadir di acara Sastra Bulan Purnama.
Hari Palguna
Fevi Machruriyati dari Sidoarjo berhalangan hadir. Namun, puisinya dibacakan oleh murid-murid SMP Negeri 2, Bantul, dengan iringan gitar akustik. Anak-anak ini, dengan kostum yang mereka pilih sendiri, ingin tampil secara lain dalam membacakan puisi, dan hal itu menunjukkan bahwa anak-anak SMP memiliki kreativitas dalam membaca puisi.
Tosa Santosa, yang sehari-harinya sebagai penyelenggara peragaan busana, dan memiliki kegemaran menulis puisi, mengirimkan 10 puisiyang semuanya diberi judul ‘Rentak 1-10’. Dia membawa seorang peragawati dan seorang desainer untuk membacakan puisi-puisi karyanya.
Lia Mustafa, peragawati dan juga perancang busana, sesungguhnya tidak asing dengan dunia sastra, lebih-lebih dunia teater. Karena pada tahun 1980-an ia pernah bergabung dengan teater Tikar, yang dipimpin Gentong HSA.
“Salah besar kalau saya disebut tidak mengenal dunia sastra, karena pada tahun 1980-an saya tergabung di teater Tikar Sanggar Bambu yang dipimpin oleh Mas Gentong, dan saya pernah diajak Nana Ernawati untuk membaca puisidi Tembi, tetapi belum sempat bisa ikut. Baru kali ini saya bisa ikut membaca puisidi Sastra Bulan Purnama,” kata Lia Mustafa.
Dua puisikarya Tosa Santosa, yang berjudul ‘Rentak 5” dan ‘Rentak 7” dibacakan Lia Mustafa dengan penuh ekspresi.
Perpaduan pembacaan puisidan peragaan busana ditampilkan oleh Lia Mustafa dan Afif Syakur, sehingga penampilannya menjadi terasa lain. Perbedaannya lebih pada kostum yang dikenakan Lia Mustafa, meski terasa sederhana, tetapi memberikan nuansa yang berbeda.
Suyanto
Hal yang sama juga pada penampilan Afif Syakur, meski hanya mengenakan aksesori yang dikalungkan pada leher, seolah baju hitam yang ia kenakan seperti memiliki kelengkapan lain, dan sekaligus bisa menjadi properti dalam membaca puisi.
Sri Sulandari, laiknya seorang aktivis sosial, yang membaca puisidengan ‘gempita’. Tangannya diangkat ke atas, mengepal, atau bahkan menuding, seolah ia seperti sedang menghadapi kendala yang ada di depannya. Dengan puisiNdari, demikian panggilannya, seperti sedang ‘melawan’, entah siapa yang dilawan, mungkin melawan dirinya sendiri.
Suyanto, penyair dari Banyunwangi, tampil dengan cara lain. Pada detik-detik terakhir sebelum menyelesaikan puisiyang ia bacakan, Yanto meminta lampu dipadamkan. Di tengah kegelapan, Yanto tidur tengkurap sambil terus membaca puisi. Barangkali, ini performance yang biasa ia lakukan di Banyuwangi.
Kita kutipkan satu puisikarya Suyanto, berjudul “Menanti Pagi’.
MENANTI PAGI
Sudah tuntas keringatku
lalu kudapati senyumu berlari
menemuiku sayangMalam ini menjelang perpisahanku
dengan siang
kuukir seonggok papan
dan kau melihat dengan mata jalangApakah tidak mau berpisah dengan siang
tanyaku lagi
ya kau masih terus diam
dan lamunanmu menari-nari dengan
rintik hujanTapi malam terus mengajakku begadang
sedangkan pagi terus menanti
rasanya aku tidak ada waktu untuk tidur
sejenakApa yang kau tunggu sayang
“Pagi”, jawabmu, dengan malu-maluMaret, 2011
Afif Syakur
Ons Untoro
Foto:Sartono
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Malam ini Lima Penyair Tiga Kota Membaca Puisi di Tembi(20/09)
- Memutar Kembali Kenangan Radio Lama di Bentara Budaya Yogyakarta(20/09)
- Macapat Tembi Rumah Budaya, Bersatunya Kawula dan Gusti(19/09)
- Museum Harus Berubah, Menjadi Museum yang Berorientasi pada Masyarakat(19/09)
- Ziarah Batin 40 Hari Masroom Bara Di Pojok Beteng Wetan(18/09)
- Lakon Mahesasura Lembusura dari Sukra Kasih nan Memikat Hati(18/09)
- Awak Redaksi Tembi.net Juara I Sayembara Penulisan Crita Cekak(17/09)
- Testimoni Digie Sigit Untuk Munir(17/09)
- HUT ke-64 Tahun Majalah Praba, Ketahanan Media Berbahasa Lokal(16/09)
- Lihat Kebunku dalam Konser Seriosa di Karta Pustaka(14/09)