Membaca Gambar Anak Di Ngewotan

Membaca Gambar Anak Di NgewotanSejumlah gambar karya anak-anak dipajang di ruang diskusi ‘Roemah Sastra Anak Ngewotan’ Jum’at (25/2) lalu. Agustinus Hari Santosa, beberapa tahun lamanya di Sanggar Melati Suci ‘menemani’ anak-anak menggambar. Hari mengajak mellihat dan ‘membaca’ gambar anak dalam satu diskusi yang mengambil tema ‘Gambar Anak dan Tulisan Anak: Oase Kreativitas Anak’.

Hari Santosa menjelaskan, bahwa anak-anak dibiarkan melakukan eksplorasi dalam membuat gambar. Masing-masing anak diminta melukiskan peristiwa yang mereka kenal.

“Hasilnya memang seringkali mengagetkan, karena gambar-gambarnya ada yang disertai tulisan” ujar Hari Santosa.

Sebagai pemandu menggambar anak di Sanggar Melati Suci, meski sekarang lebih banyak dilakukan secara privat, Hari Santosa melihat, bahwa pelajaran menggambar merupakan reduksi dari seni rupa. Hari Santosa sering tak habis mengerti ketika anak-anak dibiasakan dengan mewarnai gambar yang sudah ada, apalagi dengan lomba mewarnai. Karena bagi Hari Santosa, mewarnai bukan sedang melakukan eksplorasi atau berkarya seni, tetapi sekedar bermain warna.

Membaca Gambar Anak Di Ngewotan“Padahal bagi saya, akan lebih baik jika anak-anak dikenalkan melalui cat air, sehingga bisa mengenali campuran antar warna menjadi warna lain’ ujar Hari Santosa.

Dari beberapa gambar yang dipajang, Siddha Malilang, pemerhati sastra anak, alumni Cambridge, melihat gambar yang disertai kata-kata lebih sebagai melengkapi. Artinya, gambar melengkapi kata-kata. Pada sastra anak, demikian Sidha, tentunya termasuk gambar, dunia anak yang (di-) hadir (-kan), bukan sebaliknya dunia anak dalam persepesi orang tua.

Di Indonesia, sastra anak belum terlalu dikenal. Yang paling banyak disebut adalah dongeng dan cerita anak. Memang kita bisa menemukan cerita anak, atau mungkin sastra anak, tetapi nilai-nilai yang ditransfer adalah nilai-nilai yang baik menurut orang tua. Padahal, menurut Siddha, apa yang dianggap baikMembaca Gambar Anak Di Ngewotanbagi orang tua bisa berbeda dalam pengertian anak.

Dituturkan oleh Siddha, biasanya, kisah dalam sastra anak dimulai dari anak itu sendiri. Artinya, anak dalam dunianya sendiri, yang orang tuanya sedang pergi atau sudah mati. Di dalam dunianya itu, anak akan memerankan dirinya sesuai dengan imajinasinya, yang barangkali sama sekali lain dengan imajinasi orang tua. Meski akhirnya, anak akan kembali pada orang tua. Artinya juga, kembali pada nilai-nilai orang tua.

“Gambar-gambar yang disertai tulisan pada anak-anaknya pak Hari Santosa, saya melihat, dari segi eksplorasi gambar cukup menyenangkan, tetapi dalam konteks sastra anak belum mencerminkan sebagai sastra anak” kata Siddha MalillanMembaca Gambar Anak Di Ngewotang.

Pada gambar dari karya anak-anak dari ‘Sanggar Melati Suci;, yang sempat dibawa dan dipajang pada ruang diskusi, ada gambar yang diberi judul ‘Nyi Sayek’. Anak yang menggambar ini, sedang memvisualkan peristiwa gempa dan dia menggabar seorang perempuan tua yang bernama Nyi Sayek sebagai korban gempa.

Dalam pengamatan Siddha. anak-anak sebenarnya suka melihat detil. Hal yang tidak diperhatikan oleh orang tua, anak-anak akan memperhatikannya. Gambar-gambar anak ini seringkali memperlihatkan detil dan memiliki imajinasi visual, meski tidak bisa keluar dari norma orang tua.

“Pada gambar yang memvisualkan seorang ibu dan disertai puisi yang menuliskan kisah seorang ibu. Kata-katanya semuanya memuji ibunya, seolah anak tidak mempunyai pengalaman sakit hati pada ibu atau orang tuanya, misalnya sering dimarahi, disalah-salahkan. Dalam puisi dan gambar, anak itu menempatkan ibunya sangat sempurna” kata Siddha.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta