Melihat Tembi dalam Karya Ilmiah

Melihat Tembi dalam Karya Ilmiah

Tembi Rumah Budaya tidak hanya menarik minat pecinta seni budaya atau pun wisatawan tapi juga para insan pendidikan. Kunjungan sejumlah sekolah dan perguruan tinggi untuk mempelajari koleksi maupun aktivitas di Tembi Rumah Budaya seakan tak kunjung putus. Minat studi dalam bentuk lain adalah kajian skripsi yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa.

Sedikitnya ada empat mahasiswa yang menjadikan Tembi sebagai obyek penelitian skripsinya. Keempat mahasiswa itu adalah Romiyati dari Fakultas Ilmu Budaya UGM pada tahun 2004, Wahyu Ernaningsih dari ASMI “Desanta” (2004), Dyah Kartika Artasari dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (2007), dan Siti Nurjanah dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (2009).

Skripsi Dyah Kartika Artasari mengkaji sejarah berdiri dan cara pelestarian Museum Tembi Rumah Budaya. Sedangkan skripsi Siti Nurjanah mengkaji bentuk dan fungsi bangunan-bangunan di Tembi Rumah Budaya pada saat ini, dibandingkan dengan bentuk dan fungsi bangunan di masa dulu.

Melihat Tembi dalam Karya Ilmiah

Dengan membaca berbagai karya ilmiah tersebut kita dapat mengetahui sejarah dan perkembangan Tembi Rumah Budaya, baik fisik maupun nonfisik.

Keberadaan institusi rumah dokumentasi budaya, atau lebih dikenal dengan Museum Jawa Tembi Rumah Budaya, tidak terlepas dari keberadaan institusi sebelumnya yaitu Lembaga Studi Asia Bidang Kajian Jawa pada tahun 1994 yang berdomisili di Surakarta. Pada tanggal 6 September 1995 institusi ini pindah ke Jalan Parangtritis Km. 8,4 Dusun Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, sebagaimana lokasi museum sekarang. Museum ini diresmikan dan diperkenalkan kepada masyarakat pada tanggal 21 Oktober 1999 bersama-sama dengan peluncuran buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Pada saat itu museum tersebut masih di bawah naungan Lembaga Studi Jawa. Selanjutnya pada tanggal 12 Mei 2000 berpindah naungan ke Rumah Budaya Tembi, yang lantas berganti nama menjadi Tembi Rumah Budaya.

Seiring perkembangan, pengunjung Tembi Rumah Budaya mulai banyak, baik pengunjung domestik maupun manca negara. Tidak jarang mereka menanyakan tentang tempat singgah sementara. Dari sinilah muncul gagasan untuk menambah bangunan yang difungsikan sebagai penginapan, dan akhirnya dapat diresmikan pada tanggal 1 Januari 2008.

Melihat Tembi dalam Karya Ilmiah

Wujud bangunan di Tembi Rumah Budaya bila dikaitkan dengan nilai-nilai budaya Jawa dapat dilihat dalam wujud bangunan seperti pendhapa (diberi nama Yudhanegaran), pringitan, gandhok kanan (Purworejo), gandhok kiri (Wonogiri), dalem tengah (Madyasura), gadri, longkangan. Untuk bangunan penginapan, Tembi Rumah Budaya berusaha mewujudkannya dalam bentuk rumah tradisional Jawa yang diberi nama Polaman, Ngadirodjo, Gandjuran, Wuryantoro dan Adikarto. Keseluruhan bangunan tersebut berbentuk limasan, dengan susunan ruangan hampir sama.

mewujudkan nuansa tradisional dan sejarah budaya yang pernah ada di Jawa. Tembi Rumah Budaya berusaha melestarikan bangunan tradisional yang mempunyai arti bukan sekadar memelihara bangunan kuno akan tetapi ikut memperluas pesan dan informasi nilai-nilai budaya yang ada untuk ditawarkan kepada masyarakat luas dengan berbagai fasilitas yang disediakan. Dilihat dari fungsinya arsitektur Tembi Rumah Budaya mempunyai fungsi mengakomodasi berbagai kegiatan yang diperlukan, dan erat hubungannya dengan kegiatan seni.

Melihat Tembi dalam Karya Ilmiah

Bentuk arsitektur tradisional Jawa di Tembi Rumah Budaya ini tentu saja ada beberapa yang berubah untuk menyesuaikan diri dengan fungsi dan kebutuhan saat ini. Misalnya pringitan, pada masa dulu untuk pementasan wayang kulit, kini berubah fungsi menjadi alur gerak karyawan dan pengunjung. Dalem Tengah (Madyosuro) merupakan bangunan yang dibangun secara permanen dengan dinding tembok, bila dilihat dari atapnya merupakan rumah kampung pokok yang belum mendapat tambahan apa pun. Pada ruangan bagian belakang terdapat 3 buah kamar yang disebut senthong yaitu senthong tengen, senthong tengah/pasren dan senthong kiwa. Bangunan ini dulu berfungsi sebagai ruang keluarga, tempat tinggal orang tua dan anak perempuan serta tempat menyimpan benda berharga, sekarang berubah fungsi menjadi “rumah dokumentasi budaya” tempat menyimpan benda-benda koleksi. Bangunan perpustakaan (Mertoyudan) berbentuk kampung dara gepak, tetapi sudah tidak terdapat senthong. Bangunan seperti itu dulunya merupakan tempat tinggal golongan menengah ke bawah.

Bangunan penginapan Ngadirodjo berdinding kayu tetapi menggunakan lantai tegel/ubin semen, mempunyai dua saka guru/tiang. Bangunan ini merupakan bangunan limasan pokok, dengan hanya terdapat satu susunan ruang dalam bangunan. Ciri khas bangunan limasan pokok terlihat jelas pada atapnya yang berbentuk segitiga sama kaki yang disebut kejen. Dulunya merupakan rumah tinggal golongan wong cilik sampai priyayi. Untuk kenyamanan tamu pada bangunan ini dipasang AC. Bangunan penginapan Adikarto juga berdinding kayu dan berlantai tegel/ubin semen, mempunyai dua saka guru/tiang yang menopang di bagian tengah ruangan. Bentuk bangunannya merupakan variasi bentuk limasan pokok yang disebut limasan pacul gowang. Ciri tersebut dapat dilihat pada atapnya yang memakai sebuah atap emper terletak pada salah satu sisi panjangnya sedang lainnya diberi atap tritisan. Dulunya adalah rumah tinggal golongan wong cilik sampai priyayi. Untuk kenyamanan juga menggunakan AC.

Melihat Tembi dalam Karya Ilmiah

Sebagai tambahan informasi atas kajian skripsi-skripsi ini, perlu disebutkan bahwa bangunan-bangunan ini merupakan koleksi dari museum atau rumah dokumentasi Tembi Rumah Budaya. Bangunan yang menjadi bagian interaksi pengunjung, dan sebagiannya malah dapat diinapi, sehingga pengalaman budaya dapat dirasakan secara lebih hidup dan dinamis.

Teks: Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta