Malioboro
Sekitar tahun 1977, hampir tiap sore, saya sering jalan kaki melewati Malioboro. Suasananya masih lengang. Kendaraan tidak terlalu padat dan trotoar masih bisa dipakai untuk jalan kaki. Tetapi, ketika hal yang sama kembali saya lakukan pada Juni 2012, waktunya juga sore. Malioboro sudah padat, bukan hanya oleh kendaraan, tetapi termasuk pedagang dan pengunjung dari luar kota yang, agaknya, merasa belum ke Yogya, kalau alpa mengunjungi Malioboro.
Siapa yang datang ke Yogya, tidak melupakan Malioboro. Lokasi ini tak luput dikunjungi. Letaknya di jantung kota Yogyakarta. Kapan datang di pusat kota Yogyakarta, artinya sedang tidak melupakan Malioboro. Seorang wisatawan domestik, yang tinggalnya masih di Jawa Tengah, sangat ingin ke Melioboro, karena selama ini belum pernah ke Malioboro. Bersama rombongan ia diajak ke pasar Beringharjo, yang lokasinya ada di Malioboro. Namun, wisatawan domestik tersebut, seorang perempuan, karena hanya di dalam pasar, masih meminta untuk diajak ke Malioboro.
Hal di atas hanyalah satu contoh, bahwa wisatawan domestic, merasa perlu ke Malioboro ketika datang ke Yogya.
Pasar Beringharjo memang bukan Malioboro, ia memang merupakan entitas tersendiri, yang lokasinya ada di Malioboro. Karena itu, perempuan tersebut ‘merasa belum’ berada di Malioboro. Karena dalam bayangannya Malioboro bukan pasar tradisional seperti halnya pasar Beringharjo.
Malioboro merupakan salah satu ikon dari Yogyakarta, yang selalu dirindukan oleh wisatawan. Orang-orang yang berkunjung ke Yogya, berupaya meluangkan waktu untuk sejenak menikmati Malioboro. Kawasan Malioboro sepanjang kira-kira 1 km sampai di titik nol Km, persis di depan gapura masuk Kraton Ngayogyakarta. Saban hari, apalagi pada hari libur, Malioboro tidak pernah sepi. Tua-muda dan remaja, berkerumun di Maliboro. Dari pagi sampai malam, Malioboro dipenuhi orang.
Tentu saja, Malioboro tahun 1970-an dengan Malioboro tahun 2000-an tidak lagi sama. Jarak waktu 30-an tahun telah mengubah banyak hal. Pada masa 30 tahun lalu, nuansa kultural Malioboro masih sangat kuat. Interaksi yang berlangsung di Malioboro tidak semata berdasar ekonomis, tetapi lebih kuat pada interaksi sosial budaya, sehingga ketika malam hari menikmati nasi gudeg di depan pasar Beringharjo misalnya, bukan dalam konteks ekonomi, tetapi lebih pada konteks kultural. Gudeg hanyalah fasilitas dari interkasi kultural. Karena makan gudeg sambil berbincang tentang banyak hal sampai larut malam, bahkan bisa sampai dini hari. Seniman dan orang-orang kampus melakukan ritus semacam itu di Malioboro. Dalam kata lain, Malioboro sebagai ‘ruang pertemuan’ dan kegiatan ekonomi sekedar sebagai fasilitas yang menyertai dan sifatnya independen. Karena penjual gudeg tak terkait langsung dengan komunitas seniman, tetapi ‘melayani’ interaksi seniman. Agaknya, lebih pas dikatakan, penjual gudeng dan seniman/akademi saling mengisi kepentingannya.
Suasana kultural di Maliboro sepanjang 10-an tahun antara 1970-1980-an, masih sangat kuat. Orang bisa saling berjanji untuk bertemu di Malioboro. Selain karena fasilitas komunikasi tidak ada,, suasana guyub pergaulan di Yogya pada masa itu, memungkinkan interaksi sosial berlangsung di Malioboro.
Pada masa itu, setiap kita datang ke Malioboro bisa dipastikan akan bertemu antar teman. Jadi, Malioboro ketika itu menjadi tempat untuk saling bertemu, misalnya di depan hotel Garuda, atau lesehan gudeg pasar Beringharjo.
Kini Malioboro semakin ramai. Penjual gudeg yang mengambil tempat di depan pasar Beringharjo dan menjadi teman bagi seniman dan akademisi, tidak lagi bisa ditemukan. Gantinya, di Malioboro terdapat banyak warung lesehan, sepanjang trotoar Malioboro, penuh dengan warung lesehan yang mulai buka jam 9 malam setelah toko tutup. Tapi, ada beberapa lokasi trotoar, karena bukan toko, melainkan perkantoran, warung lesehan sore hari sudah mulai buka.
Selain toko, mall dan hotel, disepanjang Malioboro kita bisa menemukan pedagang kaki lima yang bertebaran mengambil tempat di trotoar. Kita sudah mahfum, bahwa trotoar selain untuk pejalan kaki, sekaligus untuk pedagang kaki lima.
Di Malioboro, sekarang sering diselenggarakan untuk kegiatan pawai atau karnaval. Atau juga demonstrasi, satu hal yang mustahil dilakukan pada 30 tahun yang lalu. Malioboro telah diisi kegiatan publik dengan rupa-rupa bentuk kegiatan. Kalau hendak menyebut kegiatan yang melibatkan public paling besar, ialah apa yang dikenal dengan istilah Pisowanan Ageng. Pada tanggal 20 Mei, sebelum Soeharto lengser, berbagai macam komponen masyarakat melakukan Pisowanan Ageng pada Sultan Hamengku Buwana X, dan Maliobo, terhitung dari Tugu sampai Pagelaran Kraton Yogyakarta penuh akan orang. Ada yang memperkirakan sekitar 1 juta orang mengikuti Pisowanan Ageng.
Setelah itu, terutama saat reformasi bergulir, Malioboro tidak (lagi) alergi terhadap kegiatan demonstrasi. Malioboro kini telah menjadi ruang menyalurkan ekspresi bagi warga masyarakat Yogyakarta.
Namun, masa lalu Malioboro hanya bisa diingat. Ia tidak bisa (di-) kembali (-kan).
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- Anglo, Si Kompor Tanah Liat(30/10)
- PRAMUKA DAN KESEHATAN(01/02)
- 25 Januari 2011, Kabar Anyar - SEKOLAH INTERNASIONAL SINGAPURA DI SURABAYA BELAJAR SENI TRADISI DI Tembi(25/01)
- 7 Oktober 2010, Situs - PESANGGRAHAN NGEKSIGANDA(07/10)
- Ngangsu Banyu ing Kranjang(12/02)
- SATE LEGI DAN SATE BLENDOK, KHAS BERINGHARJO YOGYAKARTA(01/12)
- PANCASILA DAN UUD 45 YANG DILUPAKAN(19/07)
- STASIUN-STASIUN DI YOGYA YANG MERANA(01/01)
- Kebab Turki(30/07)
- PANGERAN SUMENDI DAN LEGENDA TERJADINYA DUSUN SENDEN, PAKEM, SLEMAN(29/09)