Macapatan ke-114, Memule Mbah Djoyo

Keistimewaan selanjutnya pada Macapatan malem Rabu Pon ke-114 di Tembi Rumah Budaya itu adalah hadirnya empat orang asing, diantaranya adalah: Evelina dari Polandia dan Rafael Cabello dari Spanyol. Lebih istimewa lagi dengan munculnya dua penembang muda yaitu Diwangkara, siswa SMA De Britto, dan Dyah Purwitasari sarjana vokal lulusan Sydney Australia. Masing-masing menembangkan Mijil Raramanglong dan Kinanthi Sekargadhung.

Angger Sukisno, praktisi budaya Jawa, memandu Macapatan malem Rabu Pon ke-114 di Tembi Rumah Budaya, foto: Sartono
Angger Sukisno membuat suasana Macapatan malem Rabu Pon ke-114
menjadi lebih gayeng, tapi tetap serius

Macapat yang diselenggarakan setiap malam Rabu Pon di Tembi Rumah Budaya sudah dimulai sejak tahun 2000. Walaupun rutin diadakan setiap 35 hari sekali, tidak berarti bahwa acara macapatan ini selalu sama antara putaran yang satu dengan putaran selanjutnya. Setiap putaran mempunyai variasinya sendiri-sendiri, baik variasi dari orang yang datang, dari kelompok karawitan yang mengisi selingan, maupun dari materi yang ditembangkan.

Pada putaran ke-114, tanngal 30 Oktober 2012, variasi yang dilakukan adalah pemandu acara. Tidak seperti biasanya, yang menjadi pemandu kali ini adalah Angger Sukisno, praktisi budaya Jawa yang cukup terkenal di Jogyakarta. Di tangannya, acara Macapatan Malem Rebo Pon menjadi cair penuh canda tawa. Diselingi oleh kelompok karawitan Ibu-ibu PKK Tirtomulyo Kretek Bantul pimpinan Ibu Rajiman dan pelatih Bapak Sugiyanto, acara menjadi semakin semarak.

Diwangkara, siswa SMA De Britto, menembang pada Macapatan malem Rabu Pon ke-114 di Tembi Rumah Budaya, foto: Sartono
Diwangkara, siswa SMA De Britto, menjadi penembang termuda,
yang membuat suasana macapatan menjadi terasa tambah segar.
Ia membawakan Mijil Raramanglong.

Walaupun suasana dibuat cair dan semarak, Angger Sukisno berharap agar acara ini berada dalam suasana duka untuk ‘memule’ (menghormati dan meluhurkan orang yang sudah meninggal) Bapak Djoyo Sumarto, yang merupakan tokoh kunci Macapatan malam Rabu Pon di Tembi Rumah Budaya. Semasa hidupnya Mbah Djoyo memandu Macapatan di Tembi ini sejak putara I hingga sampai dengan putaran ke-106. Sebagai tokoh seni Macapat, Almarhum telah menjalin hubungan yang akrab dengan para pecinta Macapat di Kabupaten Bantul dan sekitarnya.

Oleh karenanya pada kesempatan ini, beberapa pecinta Macapat menulis syair-yair tembang macapat, yang berisi doa serta ucapan selamat jalan bagi Mbah Djoyo, seperti cuplikan dua syair tembang berikut ini:

Pra sumitra kakung miwah estri (para kerabat laki-laki dan perempuan)
ngurmati sang layon (menghormati jenasah)
sinartanan donga apurane (disertai dengan doa ampuan)
mugi-mugi Mbah Djoyo swargi (semoga almarhum Mbah Djoyo)
linuwaran saking (dihindarkan dari)
bebenduning luput (hukuman salah)

Ing Ngarsane Sang Hyang Maha Jati (kehadirat Tuhan Maha Esa)
kawula nyenyadhong (hamba memohon)
lumunturing sih palimirmane (turunnya belas kasih)
ring aksama kang dumugeng janji (memberi ampunan kepada yang meninggal)
kepareng manunggil (diperbolehkan bersatu)
ing bangsal swarga gung (di bangsal Surga nana gung)

Dyah Purwitasari sarjana vokal lulusan Sydney, Australia, nembang pada Macapatan malem Rabu Pon ke-114 di Tembi Rumah Budaya, foto: Sartono
Dyah Purwitasari, baru kali pertama tampil di acara Macapatan Rabu Pon,
juga mengundang perhatian para pencinta macapatan
yang rata-rata berusia di atas 50 tahun

Selain menembangkan syair-syair tembang tulisan ‘penggemar’ Mbah Djoyo, macapatan malam itu sebagian besar menembangkan syair-syair tembang macapat karya Mbah Djoyo yang ditulis dari tahun 1989 sampai 2009 .

Keistimewaan selanjutnya pada Macapatan malem Rabu Pon ke-114 di Tembi Rumah Budaya itu adalah hadirnya empat orang asing, diantaranya adalah: Evelina dari Polandia dan Rafaela Cabello dari Spanyol. Lebih istimewa lagi dengan munculnya dua penembang muda yaitu Diwangkara, siswa SMA De Britto dan Dyah Purwitasari sarjana vokal lulusan Sydney, Australia. Masing-masing menembangkan Mijil Raramanglong dan Kinanthi Sekargadhung.

Penampilan mereka yang masih dalam taraf belajar mampu menyedot perhatian dari para pencinta tembang macapat yang sebagian besar berumur di atas 50 tahun. Perhatian lebih yang diberikan kepada mereka berdua bukan karenan kemampuannya dalam menembang, melainkan lebih kepada minat mereka belajar seni macapat.

Dua tamu dari luar negeri pada Macapatan malem Rabu Pon ke-114 di Tembi Rumah Budaya, foto: Sartono
Dua tamu muda dari Polandia dan Spanyol turut menikmati
pergelaran Macapatan yang ke-114

Pada siapa lagi seni tembang macapat ini dititipkan, selain kepada mereka generasi muda. Jika ada satu dua orang muda berminat belajar seni tembang macapat, tentunya generasi tua tidak bakal mencemaskan kesenian tersebut musnah. Ada generasi muda yang mau menerima tongkat estafet, dan membawanya pada jaman, yang sudah tidak ramah lagi dengan seni tradisi, khususnya tembang macapat.

Foto: Sartono, tulisan Herjaka

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta