Kunjungan Mentari International School ke Tembi

Kunjungan Mentari International School ke TembiSenin, 13/2 Tembi Rumah Budaya kembali mendapatkan kunjungan dari Mentari International School, Bintaro, Jakarta. Mereka berkunjung ke Tembi selama 5 hari-4 malam. Ada sekian banyak acara yang akan dijalani. Tidak semuanya dilakukan di Tembi. Sebagian justru dilakukan di luar Tembi. Hal-hal yang dilakukan di Tembi di antaranya adalah latihan gamelan, latihan menari, bermain permainan tradisional, pengenalan lingkungan dan isi Rumah Budaya Tembi, eksplorasi kebudayaan Jawa, melukis gerabah, dan latihan memasak praktis. Anak-anak dari mentari School yang berkunjung ke Tembi ini berjumlah 42 orang plus 4 orang guru pendamping.

Sebagai anak-anak didik denagn latar belakang hidup perkotaan yang notabene serba modern, apa yang ada di Tembi bagi mereka dipandang sebagai sesuatu yang unik atau eksotik. Perangkat musik modern mungkin bukan pemandangan aneh bagi mereka. Demikian pun dengan cara memainkannya. Namun gamelan mungkin cukup asing bagi mereka. Ketika mereka mencoba belajar pun ternyata sangat kelihatan betapa tidak mudahnya. Untuk memukul dengan benar pun masih sulit. Apalagi menyatupadukannya dalam irama yang harmonis, selaras, dan seimbang. Sungguh tidak mudah.Kunjungan Mentari International School ke Tembi

Ada beberapa anak yang cara menabuh gamelannya dilakukan dengan berdiri. Ketika diberi tahu cara yang benar mereka justru heran dan bingung. Bagi anak-anak yang menabuh gamelan dengan cara berdiri itu merasa bahwa dengan cara berdiri menabuh gamelan akan terasa lebih mudah, enak, dan mengasyikkan. Ketika hal itu dibiarkan oleh Tembi mereka baru merasakan betapa tidak enak dan tidak asyiknya menabuh gamelan dengan cara berdiri. Ada juga yang menabuh bilah atau bidang logam gamelannya di bagian pinggir sehingga nada yang dihasilkan sangat tidak pas. Banyak juga yang memukul gamelan dengan alat pemukul yang bukan semestinya.

Untuk latihan vokal pun tidak banyak yang tertarik. Mereka merasa kesulitan menyuarakan nada-nada pentatonis. Bisa bersuara cukup keras tetapi nadanya fals alias blero. Ketika hasil tabuhan mereka mulai bisa didengarkan (enak didengar) mereka pun merasakan kegembiraan. Timbul rasa percaya diri dalam diri mereka. Bahkan rasa percaya diri itu kemudian banyak juga yang mengembang menjadi sebuah kesombongan sehingga pada tingkat selanjutnya mereka cenderung menyepelekan, mengabaikan aba-aba. Akibatnya cara bermain musik mereka itu menjadi banyak yang keliru ataKunjungan Mentari International School ke Tembiu ketinggalan beberapa ketukan dibandingkan ketukan instruktur.

Pada latihan tari pun mereka merasakan kekikukan itu. Mereka merasa asing dengan perangkat atau properti yang harus dipakai dalam latihan tari. Stagen dan sampur yang merupakan properti pokok dalam dunia tari dipandang sebagai alat yang cukup membuat mereka menjadi ribet dan asing. Demikian pun gerak-gerak tari yang dicontohkan oleh instruktur bagi kebanyakan anak-anak itu juga terasa asing. Maklum juga semua hal di atas bagi mereka memang belum begitu dikenal. Inilah letak perlunya belajar produk-produk kebudayaan lokal.

Soal batik juga bukan soal sederhana. Sederhana memang jika baju batik tinggal memakai. Namun proses pembuatan batik, lebih-lebih batik tulis sama sekali tidak sederhana. Butuh ketekunan dan kesabaran luar biasa dalam proses pembuatan batik ini. Anak-anak pun diajak untuk menyelami hal demikian. Sekalipun bentang kain yang mereka batik tidak lebih dari 1 x 1 m namun bidang sesempit itu telah membuat mereka merasakan betapa beratnya membuat batik. Pada sisi ini mereka jadi mengerti mengapa batik bisa menjadi mahal harganya. Mengapa batik menjadi produk kerajinan yang patut diapresiasi dan dibanggakan.Kunjungan Mentari International School ke Tembi

Dengan demikian mereka menjadi memiliki pemahaman tentang apa itu produk kebudyaaan lokal (tradisional). Mereka memiliki perangkat pembandung dengan kebudayaan metropolitan yang selama ini mungkin manjadi atmosfir kebudayaan mereka satu-satunya. Mereka diajak untuk terbuka bahwa di tempat lain ada ”sesuatu” yang lain. Sesuatu yang barangkali bisa menjadi penentu bagi kekinian mereka. Penentu juga bagi hari depan mereka.

Dengan berkeliling, mengamati, mengeksplorasi semua hal yang berkait dengan kebudayaan lokal mereka diajak untuk tidak saja ”membaca” atau ”menonton” produk kebudayaan dari luar, namun juga diajak ikut mengalami, meresapi, merasakannya sendiri. Hal-hal demikian akan menjadi semacam ”mata pelajaran” yang tidak akan mereka temukan di dalam kelas, buku diktat, dan seabrek teori yang disusun orang. Hal demikian pulalah yang akhirnya menjadi endapan yang tinggal dalam memori mereka yang ke depannya tentu akan berguna sebagai bagian dari bekal hidup mereka dalam mengarungi zaman.

a.sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta