Ketika Siswa SD Menikmati Pameran Seni Rupa

Anak-anak tidak hanya menikmati lukisan yang realis dan naturalis, atau lukisan yang berwarna-warni. Mereka diberi opsi tentang keragaman lukisan, baik gaya, aliran, maupun lainnya.



Siswa SD Negeri Sanden 2, Bantul menikmati karya lukis Tri Hadiyanto, Tembi Rumah Budaya, foto: BarataSiswa SDN Sanden 2 serius memperhatikan lukisan ‘Reunion 6’

Ketika Siswa SD Menikmati Pameran Seni Rupa

“Bagus tapi aneh,” ujar seorang anak laki-laki kepada temannya.

Di hadapan mereka terpampang sebuah lukisan hitam putih yang penuh dengan lingkaran, segi tiga dan garis. Karya AZF Tri Hadiyanto yang cenderung dekoratif dan abstrak surealis ini seperti menyimpan misteri bagi mereka. Saat itu karya-karya Tri sedang dipamerkan di galeri Tembi Rumah Budaya dengan tajuk ‘Reunion: A Black White Celebration’.

Temannya juga ikut mengomentari lukisan lainnya. Mereka menebak-nebak figur lukisan tersebut. “Ini wayang dikurung,” katanya sambil menunjuk figur wayang hitam putih di dalam sapuan bentuk geometris. Tak ada gambar kurungan, lebih berupa batasan ruang yang dibedakan oleh gradasi warna. Jadi, imajinasi ikut merespon.

Ketiga anak itu masih duduk di kelas 5 SD. Bersama sekitar 20-an teman-temannya, ditemani sebagian orang tua, para siswa SD Negeri Sanden 2, Bantul, ini sedang menikmati karya-karya Tri di ruang galeri, pada Minggu pagi 2 Desember 2012. Guru lukis mereka, Wahyono, memimpin rombongan ini. Siswa yang ikut dari kelas 2 sampai 5 SD. Mereka peserta program ekstra kurikuler melukis di sekolah.

Menurut Wahyono, ia sengaja membawa para muridnya untuk melihat pameran seni rupa. Ia ingin agar murid-muridnya tidak sekadar melukis tapi mereka mengenal dunia lukis. Dengan mengajak ke galeri seni rupa, mereka diharapkan dapat melihat lukisan secara langsung, dan mengetahui lebih jauh mengenai kehidupan seorang pelukis.



Siswa SD Negeri Sanden 2, Bantul menikmati karya lukis Tri Hadiyanto, Tembi Rumah Budaya, foto: BarataTri Hadiyanto menyemangati anak-anak agar terus melukis

Si empunya karya, Tri Hadiyanto sengaja menyempatkan hadir untuk bertemu anak-anak ini. Sebelumnya, begitu dikabari akan ada kunjungan siswa SD, Tri langsung menyambut antusias. Ia memuji anak-anak sebagai pelukis yang luar biasa karena imajinasi mereka yang lepas. Sembari tak lupa mengritik intervensi orang dewasa yang justru mengungkung imajinasi anak-anak. “Saya berutang budi pada masa kanak-kanak saya,” ujarnya mencontohkan.

Duduk lesehan di dalam galeri bersama anak-anak itu dan orang tuanya, Tri menjelaskan kesukaannya menggambar sejak kecil. Bersama 2 orang saudaranya, mereka kerap menggambar di kertas, lantai bahkan tembok. Lantas mereka saling berkomentar apik (bagus) atau elek (jelek). Menginjak sekolah lanjutan, Tri terus asyik menggambar. Favoritnya, tokoh-tokoh jagoan pembasmi kejahatan. Lantas ia membuat komik sederhana. Hobinya disalurkan lebih intens saat ia kuliah di Jurusan Seni Murni (Grafis) Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB).

Tri kemudian mempersilakan anak-anak untuk melihat lukisan-lukisannya. Puput, siswa kelas 5 SD yang tahun ini sempat meraih juara melukis tingkat provinsi mempersoalkan perspektif lukisan yang membingungkannya. “Gambarnya kok bisa ke depan, bisa ke belakang ya?” tanyanya.

Dijawab Tri dengan sabar bahwa efek itu terjadi karena penempatan warna hitam dan putih serta tebal tipis garis. Lukisan-lukisan Tri memang tidak memiliki perspektif yang jelas, yang memang sengaja ia posisikan demikian. Tidak seekstrim atau selugas Escher tapi menguatkankan kesan kesemestaan dan spiritualitas.



Siswa SD Negeri Sanden 2, Bantul menikmati karya lukis Tri Hadiyanto, Tembi Rumah Budaya, foto: BarataPuput terheran-heran, kok ada bagian gambar yang
bisa terlihat di depan, bisa terlihat di belakang

Pelukis berambut kuciran ini juga menjelaskan kenapa ia memilih warna hitam dan putih. Alasannya, hitam dan putih adalah ibu segala warna. Kalau semua warna –yang diistilahkan dengan mejikuhibiniu (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu)— dicampur, hasilnya warna hitam. Sebaliknya kalau deretan warna tersebut diputar dengan cepat, hasilnya warna putih.

Tri juga menyampaikan bahwa belajar menggambar atau melukis penting bagi pengembangan kreativitas, logika, dan imajinasi. Semua ini penting bagi tumbuh-kembang diri, apapun profesinya, tanpa harus jadi pelukis. Di akhir acara, ia menyerahkan lusinan krayon dan buku gambar kepada Wahyono untuk dipergunakan para siswa.

Menurut Wahyono, kunjungan ke luar sekolah ini baru pertama kalinya. Rencananya, ia akan menjadikannya sebagai program reguler. Tembi Rumah Budaya sendiri gembira jika program kunjungan apresiasi pameran seni rupa ini juga bisa dilakukan sekolah atau sanggar lainnya.

Karena sesungguhnya program Wahyono ini menarik. Anak-anak tidak hanya menikmati lukisan yang realis dan naturalis, atau lukisan yang berwarna-warni. Mereka diberi opsi tentang keragaman lukisan, baik gaya, aliran, maupun lainnya. Bukan cuma memetik yang bagus tapi bisa juga juga imajinasi yang terkesan aneh. Intinya adalah mengasah kreativitas dan rasa estetik.



Siswa SD Negeri Sanden 2, Bantul menikmati karya lukis Tri Hadiyanto, Tembi Rumah Budaya, foto: Barata
Tri memberi hadiah krayon dan buku gambar kepada para siswa yang
diajakan oleh guru gambar mereka Wahyono (kanan) untuk mengenal langsung dunia lukis.
Inisiatif sang guru gambar ini sangat diapresiasi Tri

barata

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta