Tembi

Berita-budaya»KETAPEL, PERLAWANAN SIMBOLIK

18 Jul 2011 08:09:00

KETAPEL, PERLAWANAN SIMBOLIKPastilah kita mengenal ketapel, atau dalam bahasa Jawa disebut plinteng. Permainan ini, tahun 1960-an mudah ditemukan di Yogya. Bahkan sampai akhir tahun 1970-an, ketapel masih sering dipakai untuk permainan. Namun sekarang, sangat jarang menemukan ketapel. Kita sudah terbiasa dengan jenis permainan lain, yang bukan lagi ‘kuno’, tetapi jenis permainan dari plastik dan sejenisnya.

Namun, beberapa hari lalu, ketika SBY berkunjung ke Yogya, kembali kita melihat ketapel. Bukan untuk permainan anak-anak, justru dipakai oleh orang-orang dewasa dan orang tua yang memperjuangkan Keistimewaan Yogyakarta. Komunitas peduli Keistimewaan Yogya, Selasa (12/7) lalu di titik nol kilometer, memegang ketapel dan panah, bukan hendak memanah SBY yang kebetuan tinggal di Gedung Agung, sebutan Istana Presiden di Yogya yang berlokasi di titik nol.

Para ‘pejuang Keistimewaan Yogya’ yang sebagian besar menggunakan pakaian Jawa mengarahkan ketapel dan panahnya ke langit. Mereka seperti hendak membidik ‘sesuatu yang ada di atas’. Tetapi ‘sesuatu’ itu tidak jelas apa. Ekspresi membidiknya kelihatan sungguh2, seolah memang hendak ‘mengusir’ ‘sesuatu’ yang berjarak. Dan katapel memang dipakai untuk membidik ‘sesuatu’ dalam jarak yang agak jauh, misalnya 100 m.

Dalam kata lain, komunitas yang memperjuangkan Keistiemwaan Yogya secara simbolik melakukan perlawanan terhadap simbol kekuasaan yang kebetulan sedang berada di Yogya dan tinggal di ‘Gedung Agung’. Sebagaimana fungsi ketapel yang biasa dipakai untuk membidik sekaliKETAPEL, PERLAWANAN SIMBOLIKgus mengusir ‘sesuatu’ yang dirasa mengganggu, misalnya petani yang sedang menjemur gabah, sambil menunggui biasanya membawa ketapel, kalau ada ayam mendekat hendak memakan gabah, dari jauh petani tersebut bisa mengusirnya dengan ketapel.

Apa itu ketapel?

Barangkali anak-anak muda sekarang tidak terlalu mengenalnya. Katepel terbuat dari kayu, yang memilki cabang mirip dengan huruf ‘Y’. Pada kedua ujungnya diberi karet, atau pentil dan diikatkan serta ditengah karet, untuk mempertemukan karet yang diikatkan pada ujung kkanan dan kiri pada kayu dalam bentuk huruf ‘Y’ diberi kalep, atau potongan kulit, yang fungsinya untuk menyimpan peluru. Dan peluru terbuat dari batu. Cara menggunakannya, potongan kulit yang sudah diisi peluru/.batu kecil ditarik kemudian dilepaskan kesasran. Itulah ketapel.

Para pejuang Keistimewaan dengan ketapel menunjukkan penolakan terhadap kehadiran SBY di Yogya. Seolah, para pejuang Keistimewaan itu seperti melihat ‘hama’ atau jenis hewan lain yang mengganggu ‘suasana Yogya’ dan mereka mengusirnya menggunakan ketapel.

Ini khas perlawanan orang Yogya terhadap sesuatu yang dirasa mengganggu suasana Yogya. Seperti orang Yogya mengusir anjing atau kucing yang mendekati rumahnya dengan ketapel., agar binatang itu tidak mendekati rumahnya. Karena yang ‘diusir’ oleh pejuang Ketistimewaan iniKETAPEL, PERLAWANAN SIMBOLIKdiidentifikasi sebagai sesuatu yang abstrak, maka sasaran ketapel diarahkan ke langit. Ramai-ramai para pejuang Keistimewaan Yogya memegang ketapel dan kepalanya menengadah ke langit seolah sedang mengusir ‘sesuatu’ yang berada di atas dan mengganggu kententraman yang ada di Yogya. Karena selama ini, Yogya Istimewa tidak ada gangguan, tiba-tiba ada ‘sesuatu yang di langit’ mengganggunya. Karena sifatnya berjarak, para pejuang Keistimewaan mengambil senjata sederhana berupa ketapel untuk mengusirnya.

Secara politik kultural, apa yang dilakukan para pejuang Keistimewaan dengan ketapel, sesungguhnya mempunyai makna yang dalam. Bahwa warga Yogya tidak suka terhadap perilaku pemimpin yang tidak memahami sejarah Keistimewaan Yogya dan hendak mengubah pranata Yogya dengan dasar pranata dari luar, yang sebenarnya sudah sejak awal diterapkan di Yogyakarta. Pranata dari luar itu bernama demokrasi, yang dianggap tidak (lagi) cocok di Yogya yang monarki. Padahal, semua orang sudah mengingatkan, bahwa sejak Indonesia berdiri, Raja Yogyakarta, dalam hal ini Sultan HB IX, telah menjalankan demokrasi. Bahkan, Sultan HB IX dikenal sebagai raja yang demokratis.

Dengan kata lain, ketapel yang dipakai pejuang Keistiemewaan Yogya di titik nol kilometer adalah upaya untuk melawan penguasa yang sedang menderita penyakit ‘ abnesia sejarah’.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta