- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»Ekskursi SMA de Britto di Tembi
31 Jan 2012 07:50:00Jarum jam sudah melewati angka 12, menunjukkan pukul setengah satu. Tembang mijil masih terdengar dilantunkan dari ruangan kelas yang biasa dipakai untuk belajar pranata adicara. Melongok ke dalam, tampak enam remaja belia sedang serius menembang dipandu Bapak Wahono, pengajar pranata adicara kawakan itu. Beberapa kali beliau mengoreksi, lantas mencontohkan ketepatan nada yang dilantunkan. Para remaja ini juga kerap melontarkan pertanyaan mendasar tentang macapat.
Di ruang seberang baratnya, melongok dari jendela museum yang lebar dan tinggi, tampak seorang remaja berkacamata sedang asyik menggerakkan pahat kecil untuk membentuk cekungan mulut pada kayu kecil di tangannya. Sedangkan belasan temannya sambil duduk lesehan kelihatan serius dengan topeng kayu kecil di tangan mereka masing-masing. Ada yangmencukil, ada yang memoleskan warna. Ada pula yang berbincang dengan pak Warsana, perajin topeng yang memandu mereka dalam menatah topeng kayu. Di punggung kaos yang dikenakan beberapa remaja ini terbaca tulisan ‘de Britto’.
Mereka memang siswa SMA Kolese de Britto yang sedang belajar macapat dan menatah topeng kayu di Tembi Rumah Budaya. Sebagian besar teman lainnya sedang menikmati makan siang yang murah meriah di angkringan atau ber-‘leyeh-leyeh’ di pendapa. Istirahat setelah belajar berbagai “keahlian” baru, mulai dari bermain gamelan, menari, membatik, melukis wayang, sampai memasak kuliner Jawa. Ini hari kedua bagi mereka di Tembidari program tiga hari ekskursi (ekstra kurikuler siswa), 25-27 Januari 2012.
Mereka didampingi dua orang guru, pak Yuli dan pak Hengki, serta subpamong Frater Tama. Frater Tama menjelaskan, ada 96 siswa yang belajar di Tembi dari total 245 siswa kelas 10 (kelas 1 SMA). Lainnya tersebar di 11 tempat, antara lain di rumah Joko Pekik di Sembungan untuk belajar melukis, di Dusun Pucung untuk belajar membuat patung primitif, dan di Tunggak Semi Sleman untuk belajar membuat kerajinan bambu. Sedangkan para siswa kelas 11, menurut pak Yuli dan pak Hengki, melakukan live in di Jakarta, Malang dan Wonosobo, sementara siswa kelas 12 mengikuti retret di Bandungan, Semarang.
Esoknya, seperti kemarinnya, pukul 8 pagi para peserta ekskursi sudah tampak berdatangan padahal kegiatan baru dimulai pukul 9. Mereka wedangan dulu di angkringan atau duduk-duduk di pendapa sambil ngobrol-ngobrol.
Setelah semuanya siap dimulailah kegiatan secara serentak. Para siswa yang kemarin belajar macapat kembali mengulang tembang kinanti dan mijil yang telah diajarkan. Sebagian dari mereka yang terbiasa dengan nada diatonis tampak kesulitan menyesuaikan nada pentatonis Jawa tapi mereka serius terus mencoba. Hari itu pak Wahono memberikan satu tembang lagi, asmaradana. Menurut pak Wahono, dengan tiga tembang itu para siswa juga belajar mengenali titilaras slendro, pelog barang dan pelog bem. Meski demikian untuk membantu pengenalan para siswa yang masih sulit mengikuti, mereka juga dilengkapi dengan notasi diatonis.
Di dekat pantry dan pendapa, 18 siswa yang dibagi dalam 3 kelompok dibimbing Kepala Dapur mas Ebiet membuat carang gesing. Sebagian dari mereka tidak hanya terlihat kikuk dalam memotong pisang atau mengocok telur dan gula tapi juga membungkus carang gesing dengan daun pisang. Memang banyak di antara mereka yang baru kali ini memasak. Pada acara ekskursi ini mereka belajar membuat gulai tahu tempe di hari pertama, dan rawon di hari kedua.
Mereka memasak sambil “dihibur“18 orang temannya yang belajar karawitan. Dibimbing oleh pak Margi, mas Suwandi, mas Sartono dan karyawan Tembi lainnya, para siswa ini menunjukkan kemajuan yang pesat. Dalam tiga hari latihan mereka sudah dapat memainkan enam lagu, mulai dari Kotek, Gugur Gunung, Manyar Sewu, Jaranan, Perahu Layar, sampai Udan Mas.
Di sisi museum, motif batik yang telah selesai dicanting mulai dicelup pewarna oleh mas Akhyar, perajin batik yang membimbing mereka. Ada 9 siswa yang belajar membatik. Kesulitan yang dirasakan mereka dalam membatik adalah menjaga agar malamnya tidak “bleber” karena terlalu cepat mencanting serta di sisi lain agar malamnya tidak mampet karena terlalu lama menunggu. Tapi secara umum hasilnya menarik. Motifnya bebas meski tetap stilis dengan garis-garis lengkung. Sebagian siswa menggambar logo de Britto dikelilingi api yang distilir.
Sebagian besar siswa yang belajar melukis wayang sudah menyelesaikan karya mereka masing-masing, melukis figur wayang di atas kanvas dengan cat akrilik. Kali ini mereka berkolaborasi menggambar petruk di atas 4 panel kanvas yang disatukan. Ada yang membuat sketsa dengan pinsil, ada yang membuat garis dengan cat, ada yang mewarnai. Apa kesulitan dalam menggambar wayang? Beberapa siswa mengatakan sulit dalam menggambar anatominya, ada pula yang sulit menggambar motif-motifnya. Di bawah bimbingan pak Herjaka, ada 14 siswa yang terlibat dalam kegiatan ini sehingga menghasilkan jumlah karya yang cukup untuk dipamerkan, 14 lukisan pribadi dan 1 lukisan bersama.
Yang juga bisa dipamerkan adalah 19 topeng kayu kecil. Topeng-topeng ini sebagian memang tinggal memperhalus template yang sudah dibuat pak Warsana. Toh sebagian wajah topeng-topeng ini diubah lagi oleh para siswa, misal mulut yang ditatah lebih lebar atau pengecatannya menabrak konvensi sehingga beraksen baru. Sebagian topeng yang lain ditatah dari kayu yang belum dibentuk.
Di ruang Sagan yang satu dindingnya berupa cermin, 12 siswa belajar menari dibimbing mbak Made, anggota Tembi Dance Company yang sedang menempuh program S2 di ISI Yogyakarta. Mereka memainkan tongkat dan menari dengan gagah, membawakan tari Prawira, tari kreasi baru ciptaan Made.
Secara keseluruhan, para siswa ini tidak hanya belajar ketrampilan namun juga mendapat pengetahuan kognitif tentang bidang yang mereka pelajari. Waktu belajarnya memang tidak panjang karena dalam sehari hanya sekitar 2-3 jam. Tapi, seperti disampaikan pak Yuli dalam penutupan acara, cukup sebagai pengenalan untuk nantinya bisa didalami dan dikembangkan lagi.
Di Tembi Rumah Budaya sendiri sebagian besar kegiatan ini merupakan program reguler. Macapat setiap malam Rabu Pon, bermain gamelan bagi karyawan setiap Selasa dan Jumat, kursus tari setiap Rabu dan Jumat, selain demo menatah topeng setiap Selasa dan demo melukis wayang setiap Rabu. Dengan demikian bisa menjadi media pembelajaran bagi yang ingin mengenal atau mendalami.
barata
Artikel Lainnya :
- Dolanan Boy-Boy-an-1 (Permainan Anak Tradisional-82)(29/05)
- PASAR KLITHIKAN BERINGHARJO TAHUN 1940-AN(12/10)
- 6 Februari 2010, Kabar Anyar - Berdirinya Candi Sewu(06/02)
- Kebab Turki(30/07)
- GUA LAWA IMOGIRI DAN LEGENDANYA(06/10)
- Cakka Kawekas Nuraga Si Idola Cilik Beranjak Remaja(01/06)
- Acara Budaya di Tembi Juli Ini(10/07)
-
Menurut sumber, Dokumen 2 Institut Sejarah Sosial Indonesia, pelarangan buku di Indonesia sudah ada sejak era kolonial antara tahun 1920-1926. Saat itu adalah masa kejayaan kaum pergerakan yang sering disebut Bacaan Liar oleh negara kolonial, tujuan kaum ini adalah mendorong pembacanya agar turut berpartisipasi bersama kaum pergerakan untuk menentang kediktatoran " href="https://tembi.net/selft/2010/20100317.htm">Pelarangan Buku "Menutup Jendela Dunia"(17/03)- 9 Nopember 2010, Djogdja Tempo Doeloe - POSTER PERJUANGAN DI TAHUN 1949(09/11)
- DOLANAN LAYUNG(31/05)