DOLANAN LAYUNG-1
(PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-60)

DOLANAN LAYUNG-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-60)Layung, dalam pengertian bahasa Jawa adalah awan berwarna kuning di senja hari. Orang Jawa, sebagian ada yang mengatakan Candhik Ayu atau Candhik Ala. Disebut Candhik Ayu, karena warnanya yang indah dan cantik. Namun sebagian lagi masyarakat Jawa menyebut Candhik Ala, karena datangnya awan berwarna kuning itu biasanya menandakan akan datang musibah. Tentu semua itu mengandung “pasemon” atau tanda. Selain itu ternyata, kata layung juga dipakai oleh anak-anak masyarakat Jawa untuk menamakan sebuah nama dolanan. Kebetulan pula, dolanan layung ini memerlukan sebuah alat berupa bola terbuat dari janur (daun kelapa muda). Saat terlempar ke udara terkena sinar matahari, memancarkan kilatan warna kuning, menyerupai layung. Dari situlah akhirnya dolanan ini disebut dengan dolanan Layung (Sukirman, 2004).

Biarpun nama dolanan Layung tidak terdeteksi di Kamus Jawa (Baoesastra Djawa) karangan WJS. Poerwadarminta (1939), namun dolanan Layung cukup dikenal di masyarakat Jawa, setidaknya di wilayah DI. Yogyakarta, setidaknya di era sebelum 1980-an. Sayang, penulis tidak merinci secara detail, daerah mana saja yang mengenal dolanan jenis ini. Dolanan Layung termasuk jenis permainan yang mengandung unsur ketangkasan. Dolanan ini banyak mengandalkan ketahanan dan kekuatan fisik, kekompakan, membutuhkan alat sederhana, dan lahan bermain yang cukup luas.

Sesuai dengan sifatnya, maka dolanan seperti itu biasa dilakukan dan dimainkan oleh anak laki-laki. Sangat jarang anak perempuan bermain Layung. Dolanan ini biasa dimainkan di waktu terang, baik pagi, siang, atau sore hari, sehabis membantu kesibukan orang tua atau pas saat liburan sekolah. Pada zaman dulu, di saat belum banyak listrik, dolanan Layung dimainkan pada malam hari hanya di saat terang bulan purnama.

DOLANAN LAYUNG-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-60)Dolanan Layung menggunakan sebuah alat dolanan bola yang terbuat dari janur. Cara membuat bola janur, biasanya dibentuk dari dua janur (lidinya sudah diambil) yang dianyam dan digulung hingga menyerupai bola. Bagian dalamnya, biasanya diberi kerikil untuk menambah beban berat. Walaupun bentuk sebenarnya lebih ke arah kotak seperti dadu atau kubus. Besar bola kira-kira sebesar bola tenis (agar mudah ditangkap tangan). Setelah jadi, bola daun janur ini biasa disebut dengan nama “gendhok”. Mungkin saja, bola bisa diganti dengan bola tenis, jika kesulitan memperoleh janur. Tetapi, awal mulanya, dolanan ini muncul karena bola yang dibuat berasal dari janur.

Lahan yang dipakai setidaknya berukuran 5 x 12 meter, bisa bertempat di halaman rumah, kebun, atau tanah lapang lainnya. Yang penting, lahan untuk bermain cukup teduh, dengan kanan kiri banyak ditumbuhi pepohonan. Anak laki-laki yang bermain, biasanya berumur 10—15 tahun, sebaya anak SD hingga SMP. Jadi mereka sudah cukup paham terhadap dolanan ini dan bisa bekerja sama dengan temannya dalam permainan. Dolanan Layung, minimal dimainkan oleh 8 anak dan maksimal 16 anak. Mereka dibagi dalam dua kelompok. Seperti permainan lain, dolanan Layung ini juga tidak membedakan status sosial. Jadi siapa saja boleh bermain. Selain itu, dolanan ini juga tidak ada hubungannya dengan upacara tradisional tertentu.

Ada beberapa aturan tidak tertulis dalam dolanan Layung yang harus diketahui dan disekapati oleh semua pemain sebelum dolanan digelar. Satu, ukuran arena bermain (5x12) dibagi menjadi dua bagian sama besar dengan garis tengah sebagai pemisah antara dua kelompok. Dua, jumlah peserta minimal 4 pasang, maksimal 8 pasang. Tiga, kelompok pemain menang (sut) berhak untuk bermain duluan. Empat, kelompok pelempar gendhok dianggap mati jika ada peserta menginjak atau melewati garis lempar, serta gendhok yang dilempar jatuh di luar arena bermain atau jatuh di arena permainan sendiri. Lima, kelompok penerima lemparan dianggap gagal mematikan kelompok lawan, jika tidak dapat menangkap gendhok secara langsung (gendhok telah menyentuh tanah) atau dapat menangkap gendhok secara langsung, tetapi gendhok kemudian jatuh ke tanah. Enam, kelompok pelempar mendapat nilai atau poin apabila lemparannya tidak dapat ditangkap oleh kelompok lawan. Tujuh, pindah bola terjadi setiap kelompok lawan mati. Delapan, bila kelompok penerima (lawan) gagal menangkap bola, maka kelompok pelempar mendapat keuntungan memulai lagi permainan. Sembilan, bila sebuah kelompok sudah mengumpulkan nilai 15 (sesuai kesepakatan), dianggap sebagai pemenang dan berhak digendong oleh pihak yang kalah.

bersambung

Suwandi

Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk., 2004, Yogyakarta, Kepel Press; Baoesastra Djawa, WJS. Poerwaradinta, 1939, Batavia: JB Wolters’ Uitgevers-Maatschappij NV




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta