Anti Kekerasan Di Titik Nol

Anti Kekerasan Di Titik Nol

Titik nol kilometer di Yogya tidak pernah sepi. Bukan karena lalu lintasnya padat. Karena, lokasi ini berada di tengah kota Yogya, jalur utama dari Malioboro dan bebeberapa titik jalur lainnya. Persisnya, berada di depan pintu masuk Kraton Yogyakarta. Jadi, dari titik nol, alun-alun utara, yang merupakan halaman depan Kraton Yogyakarta bisa dilihat dengan jelas, karena jaraknya hanya sekitar 200 meter.

Jum’at siang (11/5) lalu di titik nol kilometer ada demonstrasi menggugat kekerasan yang terjadi di Yogyakarta. Dipimpin oleh Imam Aziz, ketua PBNU, demonstrasi anti kekerasan diikuti oleh ratusan orang terdiri dari beragam elemen masyarakat.

“Yogyakarta adalah kota damai, penuh toleran, karena itu kita tolak perilaku kekerasan yang merasa paling benar sendiri” kata Imam Aziz dalam melakukan orasi.

Yogyakarta, yang dikenal memiliki kesantunan, beberapa tahun belakangan tidak sepi dari perilaku kekerasan. Kelolompok masyarakat seperti mengambil peran, untuk bertindak seolah seperti polisi, misalnya melakukan razia, membubarkan diskusi dan seterusnya, dengan cara kekerasan.

Satu peristiwa yang baru terjadi, Rabu (9/5) malam lalu, satu diskusi yang diselenggrakan di LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) dibubarkan dengan paksa oleh MMI, dan dalam melakukan pembubaran dengan cara kekerasan. Suatu hal yang tidak masuk akal sesungguhnya, satu kelompok masyarakat membubarkan kegiatan kelompok masyarakat lainnya dan dilakukan dengan cara kasar dan, tentu saja, tidak melalui dialog.

Anti Kekerasan Di Titik Nol

Yogya, yang masyarakatnya mendukung anti kekerasan, seringkali ‘dinodai’ oleh kelompok kecil masyarakat dengan bertindak brutal. Tak ada etika disertakan, atau barangkali memiliki etika sendiri. Dalam konteks ini kita bisa bertanya: Etika macam apa yang dipegang jika kekerasan disertakan dalam menegakkannya?

Orang boleh tidak setuju atas pendapat orang lain, tetapi tidak mempunyai hak melarang untuk mengatakan pendapatnya. Berbeda pendapat adalah sesuatu yang mulia dan sangat manusiawi. Menjadi masalah jika berbeda pendapat untuk kemudian menyingkirkan. Orang yang merasa memiliki kekuasaan, biasanya akan menyingkirkan orang lain yang pendapatnya berbeda.

Pada kasus kekerasan di LKIS kita menjadi heran, ketika kemudian mendengar informasi, bahwa pelakunya tidak tahu, bahwa LKIS adalah lembaga milik NU. Suatu tindakan yang ceroboh tentu saja, karena mengambil keputusan tidak melakukan penyelidikan, dan keputusan yang diambil salah, tapi celakanya merasa benar.

Apa yang dilakukan di titik nol dengan melakukan demonstrasi penuh tertib dan damai untuk menolak kekerasan dan mendukung anti kekerasan, rasanya merupakan suara masyarakat Yogyakarta khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Kita yakin, masyarakat Yogyakarta tidak suka terhadap kekerasan. Tapi seringkali terjadi kekerasan dan tidak pernah tuntas diselesaikan.

Kita bisa bertanya di mana aparat keamanan ketika kekerasan terjadi?

Pada kasus di LKIS, aparat datang terlambat setelah kekerasan berlangsung dan pelakunya sudah meninggalkan lokasi. Kita sering mendengar kisah seperti ini, aparat datang setelah kekerasan usai berlangsung.

Anti Kekerasan Di Titik Nol

Kekerasan bukan hanya dialami oleh satu lembaga, tetapi juga pernah dialami oleh individu. Pelaku kekerasan di Yogya bukan hanya dari kelompok agama, tetapi kelompok kultural juga bisa bertindak sama dengan kelompok agama. Hanya karena perbedaan pandangan, kelompok kultural berupa adat misalnya, bisa menghantam kelompok sosial masyarakat yang berbeda pendapat tersebut.

Jadi, toleransi di Yogyakarta mestinya bukan antar kelompok agama, tetapi juga berlaku antar etnis dan lainnya, termasuk memberi toleransi terhadap perbedaan pendapat. Rasanya, apa yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat di titik nol kilometer, sesungguhnya bukan hanya untuk MMI, melainkan juga untuk kelompok masyarakat lainnya yang acap bertindak seenaknya hanya lantaran berbeda pendapat.

Anti kekerasan di Yogyakarta sepertinya (memang) dititik nol. Suatu hal yang harus kita cegah, bahwa kekerasan menjadi sesuatu yang normal di Yogyakarta, atau di Indonesia.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta