Reuni Hitam Putih Tri Hadiyanto

Tri menyelesaikan sebuah karya rata-rata membutuhkan waktu tiga bulan. Ini dengan “jam kerja” spartan, sejak subuh hingga sekitar pukul 10 malam.

Tri Hadiyanto, Tembi Rumah Budaya, Dwi Marianto, pameran seni rupa, foto: Barata
Yang berpameran dan yang membuka pameran.
Tri Hadiyanto berbincang dengan Dwi Marianto

Melihat warna hitam dan putih segera terkesan sebuah kesederhanaan. Pameran tunggal seni rupa Ahmad Zubair Firdaus Tri Hadiyanto, sedari 21 November hingga 10 Desember 2012 di Tembi Rumah Budaya juga demikian, namun olahan visualnya tidaklah sederhana.

Pameran bertajuk ‘Reunion: A Black White Celebration’ ini memang semata memajang karya-karya hitam putih. Ada 15 karya yang dipajang. Pilihan warna ini menyeret kesan ikutan lain, yakni misteri, yang menguatkan dimensi spiritualitas karya-karyanya.

Semua karya yang dipamerkan berjudul ‘Reunion’, dari ‘Reunion #1’ sampai ‘Reunion #15’. Mengapa ‘reunion’? Kata itu dipilih Tri untuk menamakan suatu peristiwa luar biasa, yakni bertemunya kembali (reunion) antara makhluk (ciptaan) dengan khaliknya (pencipta). Bagi Tri, ini peristiwa yang memesona hati dan pikirannya, sekaligus tak terbayangkan. Maka muncul keinginannnya untuk memperingatinya (to celebrate), sekaligus sebagai bentuk instropeksi diri. Karya ‘Reunion’ diharapkannya berada pada titik kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang “bukan apa-apa” dan “bukan siapa-siapa”.

Meskipun Tri adalah seorang Muslim yang taat dan karya-karyanya bernafas spiritual tapi visualisasinya tidak konvensional. Ia tidak memilih kaligrafi, misalnya. ‘Reunion 11’ memosisikan huruf ‘qaf’ sebagai elemen penting tanpa menjadi karya kaligrafi dalam pengertian konvensional. Konsep ‘kata’ (qola, kombinasi huruf qaf dan lam) lantas diabstraksikannya dalam lingkaran-lingkaran, yang di antaranya bergulir melalui ‘track’ garis-garis yang dinamis. Dalam perspektif spiritual, menurut Tri, kata mempunyai konsekuensi logis yang kental terhadap pikiran dan perilaku. ‘Kata’ dalam karya Tri ini telah ditransformasikannya menjadi ungkapan visual.

Tri Hadiyanto, Tembi Rumah Budaya, spiritual, abstrak, pameran seni rupa, foto: Barata
Pengunjung menikmati ‘Reunion 10’

Meminjam kata-kata Arahmaiani dalam acara ‘artist talk’ pada 8 Desember 2012, karya Tri adalah imaji, bukan kata. Artinya, visualisasi tidak dikekang atau dibatasi oleh kata tapi dioptimalkannya sebagai imaji. Tri sendiri menghendaki agar ‘Reunion’ sebagai dzikir visual bisa menggemakan dzikir-dzikir penikmatnya. “Sadar atau tidak sadar, ketika mata menelusuri gambar visualisasi ‘Reunion’, titik demi titik, garis demi garis, bidang demi bidang… dzikir pun ‘terlantun’ tanpa suara,” ujar Tri berharap.

‘Reunion’ merupakan pameran tunggal pertama alumni Fakultas Seni Rupa dan Disain (FSRD) ITB Jurusan Seni Murni (Grafis) ini. “Kerapihan” ala “mazhab Bandung” masih tampak pada karya-karyanya. Namun Tri menolak untuk dikotak-kotakkan dalam mazhab Bandung atau Yogya. Perupa kelahiran Yogya yang kini berdomisili di Yogya ini ingin berkarya sesuai dengan totalitas ekspresi dirinya.

Karya-karya yang dipamerkan ini dibuatnya pada kurun 2007-2012, rentang waktu yang cukup panjang untuk 15 karya. Tri mengaku, dalam menyelesaikan sebuah karya rata-rata ia membutuhkan waktu tiga bulan. Ini dengan “jam kerja” spartan, sejak subuh hingga sekitar pukul 10 malam. Ada kalanya ketika jenuh ia bersilaturahmi ke tempat kawan-kawannya, yang dampaknya bisa sebagai penyegaran kembali.

Teman agaknya memiliki peran penting dalam proses kreatifnya. Lama tak berkarya di kanvas, pada tahun 2007 ia diajak pameran reuni alumni FSRD ITB angkatan 1979 bersama Arahmaiani, Agus Suwage, Tisna Sanjaya, Siswadi Djoko dan lainnya. Saat itu ia hanya punya beberapa karya drawing di kertas A4. “Wah, ini harus dipamerkan,” desak kawan-kawannya.

Tri Hadiyanto, Tembi Rumah Budaya, spiritual, abstrak, pameran seni rupa, foto: Barata
’Reunion 8’ mengesankan lingkaran yang
stabil dan ayunan yang dinamis

Usai pameran, Djoko menawarkan untuk membelikan material berkarya. Hati Tri melonjak gembira tapi di sisi lain ia tidak mau membebani kantong kawannya. Jadilah ia memilih cat akrilik warna hitam dan putih yang tidak semahal cat warna-warni. Lagi pula, jika memilih cat warna-warni ia tidak bisa tanggung-tanggung dalam memilih warna sehingga biayanya jadi besar. Bermula dari alasan ekonomis ini, Tri berkarya dengan warna hitam putih. Tawaran Djoko juga membuat ia merasa diberi kepercayaan yang sangat besar sehingga bertekad menggunakannya sebaik dan seoptimal mungkin.

Setelah lama absen, tahun 2007 Tri kembali melukis. Awalnya, ia menggunakan cat akrilik dan tinta china. Lantas ditambah bolpoin dan tissue print. Tisu ditempelkan di kanvas lantas ditimpali goresan bolpoin yang ternyata menambah ‘greget’. Ia mengeksplorasi, sebut saja, gaya abstrak geometris.

Lahirlah karya-karya yang senada –dengan lingkaran, segi tiga, dan rentangan garis lurus— namun beragam dalam komposisi dan dinamikanya. Termasuk keragaman sejumlah figur, mulai dari wayang, binatang-binatang aneh, janin, sampai lingga dan yoni. Termasuk juga kesan yang timbul dari sejumlah karya, ada yang liar dan mengerikan, ada yang agung dan elegan, ada yang arkais, ada pula yang silang sengkarut. Yang menarik, di sejumlah bagian karyanya, Tri mengaku kerap kali tidak menyadari atau memahami proses eksekusinya.

Saat menyaksikan karya-karyanya yang dipajang di galeri, Tri mengatakan bahwa persoalan teknis sudah selesai. Yang penting adalah rasa yang muncul ketika menikmati karya-karya itu. Memang pada akhirnya, karya seni rupa berujung pada rasa. Terlebih ketika pilihannya adalah lukisan abstrak dalam warna hitam putih, peran rasa ini kian menjadi penting.

Tri Hadiyanto, Tembi Rumah Budaya, pameran seni rupa, foto: Barata
Tri berbicara dalam acara diskusi menjelang penutupan pameran

Nonton yuk ..!

barata




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta