Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Raja, Priyayi, dan Kawula. Surakarta 1900 1915

06 Oct 2008 11:23:00

Perpustakaan

Judul : Raja, Priyayi, dan Kawula. Surakarta 1900 – 1915
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Ombak, 2004, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xxv + 149
Ringkasan isi :

Pada masa itu di Surakarta ada dua kekuasaan pribumi yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Di atas keduanya ada kekuasaan Belanda, di mana kekuasaan ini diperkuat dengan masuknya modal swasta. Buku ini khusus membahas tentang Kasunanan (Paku Buwana X) dan hubungannya dengan priyayi, kawula serta pemerintah kolonial Belanda. Untuk memerintah kerajaan Sunan dibantu oleh seorang patih yang diangkat dengan persetujuan Belanda. Meskipun kedaulatan politik Sunan terbatas dan kekuasaan ekonominya juga menyurut namun Pakubuwana X, yang memerintah pada masa itu, dapat dianggap sebagai raja besar. Walaupun telah kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi juga mundur, bukan berarti Sunan kehilangan segala-galanya. Sunan masih menguasai simbol-simbol budaya yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai penguasa. Simbol-simbol itu sangat efektif bagi masyarakat tradisional. Pakubuwana X adalah seorang yang mempunyai EI (emotional intelegence) atau kecerdasan emosional tinggi, tetapi IQ (Intelegence Quality) rendah. Sunan sangat lemah dalam hal linguistic dan matematika, tetapi dengan EI lah Sunan menjadi raja besar. Dalam kehidupan sehari-hari ia sadar sebagai raja sehingga tidak ragu-ragu menggunakan simbol-simbol (meskipun ketinggalan jaman) untuk menegaskan kekuasaannya. Simbol tersebut antara lain melalui pakaian, penghormatan, bahasa, payung kebesaran dan lain-lain yang dibuat sangat cermat dan rinci.

Raja melihat priyayi dan kawula sebagai abdi yang harus duduk di lantai, sementara kekuasaan raja ditunjukkan dengan gelarnya yang sangat panjang. Priyayi dan kawula melihat raja sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan akan adanya wahyu yaitu bahwa raja mempunyai kekuasaan territorial, birokrasi dan hukum. Priyayi melihat kawula sebagi wong cilik yang tidak mempunyai simbol kekuasaan oleh karenanya rendah, kasar dan tidak terpelajar. Kawula akan memandang priyayi melalui jumlah sembah yang berhak diterima, pakaian yang dikenakan dan bahasa yang diucapkan. Cara kawula memahami simbol berbeda dengan priyayi, sebab ketika sampai di bawah simbol meluntur. Berbeda dengan priyayi yang sehari-hari harus berhadapan dengan simbol, kawula hampir-hampir tidak berhadapan dengan simbol raja secara langsung. Mereka berhadapan dengan simbol raja secara langsung hanya pada waktu-waktu tertentu misal prosesi kematian, pernikahan atau sekaten. Terhadap priyayilah sehari-hari kawula berurusan dengan simbol. Kekuasaan raja dan perilaku priyayi ini diam-diam menimbulkan hasrat untuk melawan dalam wujud budaya tandingan.

Pada tahun 1900 – 1915 di bawah Pakubuwana X ada tiga jenis priyayi yaitu priyayi yang bekerja pada raja, priyayi yang bekerja untuk kerajaan (parentah ageng), dan priyayi terpelajar (bangsawan pikiran). Priyayi jenis pertama dan kedualah yang disebut abdi dalem. Pada masa itu bisa menjadi priyayi adalah sesuatu yang sangat “terhormat”. Untuk menjadi priyayi (sesuai yang diinginkan) seseorang terlebih dahulu harus suwita, kemudian magang. Setelah dianggap mampu baru diwisuda menjadi priyayi dan berkarier sebagai priyayi. Kalau kerjanya baik bukan tidak mungkin ia mencapai pangkat yang tinggi.

Perilaku seorang priyayi sudah dibakukan misal kecakapan berbahasa, gerak-gerik tubuh, air muka dan moral yang baik. Tetapi ada kebiasaan priyayi yang tidak baik tetapi sudah membudaya misal tayuban yang disertai mabuk-mabukan dan main perempuan. Gedung Abipraya (Abipraya adalah organisasi priyayi abdi dalem raja yang terkelola dengan baik) adalah pusat budaya priyayi.

Tangga sosial yang tergantung pada hubungan personal itu menempatkan pribadi yang lebih tinggi tangga sosialnya di atas pribadi yang lebih rendah. Pada mata rantai itu raja berada di puncak hierarki. Sehingga priyayi menjadi lapisan sosial yang lebih dulu sadar kedudukan, terhadap raja dan terhadap kawula. Mereka nunut kamukten (numpang kemuliaan) raja dengan melanggengkan simbol kekuasaan. Dengan kata lain kepentingan raja juga kepentingan priyayi. Priyayi juga mengambil jarak dengan kawula, karena kawula tidak paham simbol-simbol kehalusan priyayi. Priyayi jenis inilah yang bercita-cita untuk mati mulia sebagai abdi dalem raja. Adapun priyayi terpelajar (bangsawan pikiran) yang menghendaki kemajuan pada masa itu kalah popular. Akhirnya terciptalah struktur sosial di mana raja berada di puncak, disusul sentana dalem (keluarga raja), abdi dalem priyayi dan terakhir kawula atau wong cilik.

Budaya tandingan muncul sebagai alternatif akibat pengaruh kekuasaan dan dominasi budaya keraton yang sudah mengakar dalam, bisa dalam bentuk kepercayaan yang aneh-aneh. Misal cerita tentang Sunan Lepen. Sedang Laweyan adalah sebuah kampung yang membentuk komunitas sendiri, dengan saudagar (batik) sebagi pusat hierarki. Mereka mengembangkan sendiri hierarki sosial lengkap dengan gelar-gelarnya. Keluarga pemilik perusahaan menjadi puncak sistem status dimulai dari kedudukan nenek sebagai mbok mase sepuh, kakek sebagi mas nganten sepuh, ibu sebagai mbok mase, ayah sebagai mas nganten, anak perempuan sebagai mas rara dan anak laki-laki sebagai mas bagus. Di bawahnya ada pekerja-pekerja yang juga bertingkat-tingkat sesuai keahliannya. Gelar itu hanya berlaku ke dalam untuk menandai status sosial, dan tidak berlaku terhadap komunitas yang lain. Mereka tetap menjadi wong cilik betapapun kayanya. Saudagar Laweyan adalah elite dari komunitasnya, tidak mendapat tempat dalam sistem status resmi dari kerajaan. Dalam posisi semacam itu wajar Laweyan menjadi pusat gerakan ekonomi dan keagamaan, menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnya SI (Sarekat Islam). Hal ini berbeda dengan para saudagar dan santri dari Kauman, karena saudagar dan santri dari Kauman kebanyakan masih berkaitan dengan abdi dalem.

Walaupun Pakubuwana X tidak dapat berkuasa penuh tetapi dengan sadar memainkan “nasionalisme Jawa”. Pakubuwana X sering berkeliling ke berbagai daerah, mengirim utusan untuk menengok kubur Pakubuwana VI di Ambon. Ini adalah lambang nasionalisme dan pemberontakan simbolis terhadap pemerintah kolonial. Pernikahannya tahun 1915 dengan puteri Sultan Hamengkubuwan VII dari Yogyakarta (untuk mencari permaisuri baru, karena permaisuri lama tidak melahirkan anak laki-laki) juga merupakan pemberontakan simbolis. Seluruh kota menjadi pentas kolosal tempat simbol diperagakan. Bahkan residen “diatur” sedemikian rupa untuk menambah kewibawaan Sunan. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang dengan EI yang tinggi dan EI tinggi ini dimiliki Paku Buwana X Reaksi positif datang dari organisasi-organisasi di Surakarta seperti Narpo Wandowo, Abipraya, BO (Boedi Oetomo) dan SI. Bahkan orang-orang radikal SI menyambut baik perkawinan tersebut.

BO adalah organisasi para bangsawan pikiran , kaum intelektual, abdi dalem atau bukan dari Surakarta atau wilayah lain di Surakarta. BO mengidentifikasi diri sebagai organisasi priayai terpelajar, membedakan diri secara jelas dengan SI yang dianggap organisasi wong cilik tidak terpelajar. BO mempunyai budaya afirmatif, mendukung kekuasaan Sunan yang simbolis maupun actual. Sementara SI Solo sebagai organisasi kawula mempunyai sikap kritis pada stratifikasi sosial, tetapi afirmatif/mendukung pada kekuasaan Sunan. Di balik keikutsertaan keduanya dalam menyambut pernikahan Sunan ada maksud tersembunyi, yaitu dukungan pada nasionalisme Jawa yang dipersonifikasikan dalam diri Sunan, serta pembangkangan diam-diam pada kekuasan kolonial.

Andaikata Pakubuwana X tidak mengedepankan politik simbolis untuk memperkuat kekuasaannya nasib hubungannya dengan penguasa, priyayi dan kawula akan lain. Bila ia terang-terangan memberontak seperti Paku Buwana VI bisa-bisa ia kehilangan tahta.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta