Judul : Merapi dan Orang Jawa. Persepsi dan Kepercayaannya
Penulis : Lucas Sasongko Triyoga
Penerbit : Grasindo, 2010, Jakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xxiv + 182
Ringkasan isi :

Merapi dan Orang Jawa. Persepsi dan KepercayaannyaJika diamati dengan seksama akan tampak bahwa untuk mempertahankan kehidupannya, orang Jawa tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan tempat tinggalnya. Ia akan selalu tergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya secara terus menerus. Dari interaksi tersebut, melalui pengalaman dan pengamatan, ia akan mendapatkan gambaran tentang lingkungan hidupnya, yang memberikan serangkaian petunjuk mengenai apa yang dapat ia harapkan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap lingkungan, demi kehidupan yang baik. Oleh karena pada hakekatnya sistem kepercayaan Jawa sama dengan kebudayaan Jawa maka ia adalah serangkaian pengetahuan, petunjuk-petunjuk, aturan-aturan, resep-resep dan strategi-strategi untuk menyesuaikan diri dan membudidayakan lingkungan hidup, yang bersumber pada sistem etika dan pandangan hidup orang Jawa. Sejak kecil orang Jawa telah akrab bergaul dengan alam yang melingkungi dirinya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan hidupnya tegantung dari kekuatan-kekuatan alam : air, tanah, angin, matahari, hujan, hama, penyakit dan lain-lain. Ketergantungan terhadap alam merupakan ungkapan dari kekuasaan adikodrati yang tak dapat diperhitungkan yang disebut sebagai kekuatan gaib atau angker. Orang Jawa diajar bukan untuk menguasai alam, tetapi bagaimana menyesuaikan dirinya dengan kehidupan alam yang serba gaib dan menitik beratkan bagaimana menjaga keselarasan atau harmoni dengan alam. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan keguncangan kosmos. Dengan mengadakan selamatan, sesaji, membaca mantera-mantera dan doa-doa, ziarah ke petilasan dan makam leluhur, bersemadi dan berpuasa, yang berpangkal pada keprcayaan Jawa maka keselarasan kosmos terjaga dan pulih kembali.

Hal-hal seperti itu dipercaya pula oleh penduduk yang tinggal di lereng Merapi. Penduduk di lereng-lereng Gunung Merapi mengenal siapa pendiri desa yang telah menurunkan mereka, lewat cerita-cerita yang secara turun-temurun beredar di antara mereka. Selain itu mereka juga mempunyai kepercayaan bahwa selain manusia, dunia semesta alam juga dihuni makhluk lain yang mereka sebut bangsa alus atau makhluk halus. Seperti halnya kehidupan manusia, dalam dunia makhluk halus ini juga terdapat hirarki pemerintahan dengan semua atribut dan aktifitasnya. Gunung Merapi adalah keraton makhluk halus yang dipimpin oleh Empu Rama dan Empu Permadi. Rakyatnya adalah segala jenis makhluk halus yang tinggal di Gunung Merapi. Sedangkan pasukan dan abdi dalem yang bertugas adalah roh-roh manusia yang semasa hidupnya berkelakuan baik. Pada saat-saat tertentu apabila Merapi membutuhkan tenaga baru, pasukan Merapi akan mengambil roh-roh dari manusia yang masih hidup. Mereka yang diambil rohnya, tiba-tiba akan sakit dan meninggal. Penduduk sekitar lereng Merapi mempercayai bahwa roh orang mati masih berhubungan dengan mereka dalam bentuk pertolongan atau bencana.

Penduduk di lereng Merapi membagi makhluk halus dalam tiga golongan yaitu leluhur, dhanhyang dan lelembut. Leluhur adalah roh semua orang yang telah meninggal. Dhanhyang adalah makhluk halus yang menempati dan menguasai tempat tertentu seperti jurang, mata air, desa dan lain-lain. Makhluk ini bersifat baik, suka menolong dan mau bersahabat dengan manusia. Lelembut adalah makhluk halus yang derajatnya paling rendah dan bersifat jahat. Jenis-jenisnya antara lain, banaspati, peri, gendrowo dan gundhul pringis. Penduduk lereng Merapi mempercayai bahwa tempat-tempat yang dihuni makhluk halus merupakan tempat angker yang harus dihormati dan tidak boleh diganggu. Daerah yang paling angker adalah kawah Merapi karena dipercaya sebagai istana keraton makhluk halus Gunung Merapi.

Bagi penduduk di lereng Gunung Merapi, kegiatan bahkan letusan Merapi bukanlah merupakan suatu ancaman serius yang harus sangat dikhawatirkan, malahan kadangkala, dianggap anugerah. Merapi dipersonifikasikan sebagai makhluk manusia yang sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Penduduk mempunyai kepercayaan, letusan dan kegiatan gunung ini disebabkan oleh Eyang Merapi dan makhluk halus di bawahnya. Mereka akan berterima kasih kepada Eyang Merapi karena setiap tahun sekali, terutama bulan Sura, Merapi mengeluarkan lahar/meletus kecil.Letusan ini dipercayai sebagai makhluk halus yang sedang membuang kotoran, mengadakan lawatan ke Laut Selatan atau sedang pesta/duwe gawe. Setiap tahun Jawa Wawu, Merapi dipercaya akan meletus besar karena Eyang Merapi mengadakan renovasi keraton, atau kunjungan besar-besaran ke Laut Selatan. Apabila terjadi letusan, sebelumnya penduduk akan diberitahu melalui tanda-tanda tertentu, misal mimpi, oleh roh leluhur atau makhluk halus Gunung Merapi. Penduduk mempunyai kepercayaan bahwa apa yang rusak (dalam kepercayaan mereka diminta Eyang Merapi) akan mendapat ganti berlipat.

Agar bisa hidup selaras dengan Gunung Merapi, penduduk melakukan adaptasi-adaptasi tertentu yang sudah menjadi kepercayaan turun-temurun. Misalnya mencari tanah pertanian dan pemukiman yang baik dan tidak dihuni makhluk halus yang jahat, mentaati pantangan-pantangan yang berlaku misal merumput tidak di hutan larangan, tidak memakai pakaian berwarna hijau daun, dan berkata-kata tidak sopan. Upacara atau selamatan juga merupakan hal yang sangat penting bagi mereka, untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin. Fungsi utama selamatan adalah untuk menetralisir bencana yang datangnya dari luar kekuasaan manusia, terutama yang datangnya dari keraton makhluk halus Gunung Merapi, sehingga terjadi perdamaian di antara keduanya.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta