Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton

05 Nov 2008 11:37:00

Perpustakaan

Judul : Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton
Penulis : Dr. Ir. H. Dradjat Suhardjo, S.U
Penerbit : Safiria Insania Press, 2004, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xiv + 160
Ringkasan isi :

Tata lingkungan fisik merupakan wujud kehendak pemrakarsa dalam mewujudkan ideasi sesuai latar belakang pemrakarsa. Pertimbangan dasar dalam mewujudkan ideasi tersebut ialah perlunya orientasi arah kiblat maupun arah terhadap tanda-tanda permanen alam. Kraton Yogyakarta yang didirikan Pangeran Mangkubumi tahun 1755 dirancang dengan landasan budaya Jawa dan Hindu dengan pembaharuan yang mendasarkan pada ajaran dan nilai Islam. Ajaran Islam memberikan arahan bahwa manusia hidup berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan baik sebelum maupun sesudah meninggal. Gejala yang tampak adalah tata lingkungan fisik Kraton Yogyakarta didasarkan atas konsepsi keseimbangan aktivitas di kota sebagai pusat pertumbuhan dan aktivitas daerah pendukung. Oleh karena itu bangunan prasarana fisik sebagai sarana aktivitas juga terdistribusi seimbang antara bangunan kraton dan bangunan di daerah pendukung dalam bentuk masjid pathok nagara. Dinasti Mataram atau raja menggunakan simbol-simbol agama tersebut untuk mengokohkan posisinya. Jejaring religius yang ditandai dengan masjid yang dibangun berperan dalam pembentukan sistem sosial masyarakat. Masjid kagungan dalem yaitu masjid yang dimiliki oleh kraton dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu masjid keprabon, masjid pathok nagara, masjid perabot (bersamaan dengan makam) dan masjid paringan (untuk masyarakat atau ulama)

Secara entitas kraton terdiri atas tiga bagian teritorial yaitu kraton itu sendiri, negaragung dan mancanagara. Salah satu tanda batas fisik bagi negaragung dalam konteks religius yang bermakna adalah masjid pathok nagara. Monumen-monumen keagamaan mungkin mempunyai makna dan peran penting dalam membentuk tata lingkungan fisik (lingkungan binaan) yang memuat nilai spiritual untuk membuka kemungkinan terciptanya masyarakat yang juga mempunyai nilai spiritual yang terkait dengan lingkungan binaan tersebut.

Keberadaan masjid pathok nagara tidak dapat dilepaskan dari desa dan penghulu pathok nagara. Keistimewaan masjid ini dibandingkan dengan masjid kagungan dalem lainnya adalah fungsinya sebagai Pengadilan Surambi di wilayah negara agung, di samping fungsi lainnya. Fungsi ini menjadikan kedudukan masjid pathok nagara penting dalam struktur birokrasi kerajaan. Keistimewaan ini tidak terlepas dari kedudukan penghulu pathok nagara dalam birokrasi kerajaan dan peranan desa pathok nagara terhadap masyarakat sekitarnya.

Secara geografis posisi masjid pathok nagara mengikuti pola sentralistik di mana kraton (dan masjid keprabon) merupakan pusatnya, sesuai landasan filosofis kraton yang merupakan pusat dari empat penjuru arah angin yang biasa disebut keblat papat lima pancer. Empat arah penjuru angin terwakili oleh masjid pathok nagara Mlangi, Plosokuning, Babadan dan Dongkelan. Lingkaran konsentris yang didapat menunjukkan hubungan antara masjid pathok nagara dengan masjid keprabon. Ini memperjelas hubungan struktural dan fungsional antar keduanya, yang memang banyak digunakan dalam struktur birokrasi kerajaan. Desa-desa pathok nagara sebagai pusat religi di wilayah nagara agung, sedangkan masjid keprabon, penghulu kraton dan Kraton Yogyakarta sebagai pusat baik dalam konsep maupun struktur birokrasi pemerintahan, terutama sebagai jalur konsultasi.

Masjid Mlangi didirikan oleh Kiai Nuriman sebelum Kraton Yogyakarta berdiri. Nuansa masjid Mlangi dan masyarakat sekitarnya adalah tradisional. Masjid Plosokuning didirikan oleh Kiai Mursodo dalam kisaran tahun 1724 – 1792. Bernuansa tradisional, tetapi nuansa keberagaman masyarakat sekitarnya agak berbeda yang ditandai dengan masjid yang melaksanakan pola Muhammadiyah, tidak jauh dari masjid tersebut. Masjid Babadan belum ada sumber yang jelas tentang pendiriannya. Nuansa di masjid ini adalah nuansa Muhammadiyah. Masjid Dongkelan atau Masjid Senggotan diperkirakan didirikan pada kisaran 1757 – 1792 untuk menghormati jasa Kiai Syihabudin terhadap Sultan Hamengkubuwono I. Masjid Dongkelan lebih bernuansa Muhammadiyah.

Masjid milik kraton tersebut mempunyai cirri-ciri khusus. Ciri khusus masjid keprabon adalah ruang inti dengan empat soko guru dengan atap berbentuk tumpang tingkat tiga, atap serambi berbentuk limasan bertingkat dua, ada tratag rambat semacam penghubung antara halaman dan serambi. Tratag rambat membelah kolam di muka serambi. Juga terdapat maksura tempat khusus untuk shalat raja yang terletak pada shaff depan.

Ciri khas masjid kagungan dalem adalah mustaka masjid dengan bentuk seperti tajuk bunga. Mahkota berbentuk gada dengan daun bunganya seperti daun kluwih yang tepi daunnya terbagi-bagi seperti sulur. Model gada kluwih ini juga dimiliki masjid pathok nagara, atapnya juga bertingkat tetapi hanya dua tingkat. Di antara masjid pathok nagara yang ada, nuansa situs Masjid Plosokuninglah yang masih terasa aslinya. Pemugaran tidak merubah substansi yang ada.

Untuk menjaga legitimasi dan kewenangan keagamaan pusat, raja mengangkat para pejabat urusan keagamaan yang akan menjalankan perannya selaku patron agama. Sultan membentuk hirarki dan jabatan keagamaan di dalam jajaran stafnya yang disebut Abdi Dalem Pamethakan. Jabatan tertinggi adalah Pengulu, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sembilan ketib untuk memberikan kutbah, 40 abdi Barjamangah untuk menggenapi jumlah minimum jamaah shalat Jumat, modin untuk mengumandangkan adzan, merbot untuk menjaga kebersihan masjid dan menyediakan air wudhu.

Hasil grand design dari dinasti Hamengku Buwono yang dapat dibaca dari tatanan fisik tersebut adalah pola pengembangan wilayah yang serbacakup, keterpaduan antara kehendak pemrakarsa dan kehendak jama’ah atau rakyat. Hal ini dapat terjadi karena tercapai kesepakatan solusi yang dapat menghindari friksi dan perpecahan dapat diredam. Visi pemilik yang pada awalnya merupakan alat untuk integritas wilayah atau teritorial, genial (trah), dan sosio cultural pada akhirnya harus kompromi dengan komunitas yang lebih mementingkan aspek guna dari masjid.

Fungsi masjid akhirnya tidak dapat terlepas dari fungsi politis, edukatif dan sosial kemasyarakatan. Paradigma ajaran Islam memang menggariskan bahwa masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah langsung kepada Tuhan, tetapi juga tempat kegiatan hubungan antar umat manusia.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta