Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Ekspedisi Bengawan Solo. Hancurnya Peradaban Sungai Besar. Laporan Jurnalistik Kompas

30 Sep 2009 01:01:00

Perpustakaan

Judul : Ekspedisi Bengawan Solo. Hancurnya Peradaban Sungai Besar. Laporan Jurnalistik Kompas
Penulis : Tim Kompas
Penerbit : Kompas, 2008, Jakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xiv + 274
Ringkasan isi :

Buku ini merupakan rangkuman perjalanan jurnalistik harian Kompas. Ekspedisi ini berusaha memotret secara mendasar masalah-masalah sungai tersebut dari sejarahnya, bagaimana peran manusia di sekitarnya, apa manfaat yang diperoleh dari sungai, hinggga kerusakan yang diakibatkan olehn ulah manusia. Lewat ekspedisi ini banyak aspek kehidupan berhasil disingkapkan, termasuk kehidupan budayanya . Bengawan Solo tidak hanya menjangkau lintas area, tetapi juga lintas masa. Sebagai sungai purba berbagai peristiwa berlangsung di dalamnya, di lembah atau di sekitar daerah alirannya. Bengawan sepanjang kurang lebih 527 km ini menuliskan peristiwa dari zaman prasejarah, zaman kerajaan Hindu dan Budha, kerajaan Islam, Perang Diponegoro, zaman revolusi sampai pendaratan darurat pesawat Garuda.

Hulu Bengawan Solo berupa Kali Muning dan Kali Tenggar di Desa Jeblogan, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, berbatasan dengan Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Punung kaya akan gua karts (kapur), yang di antaranya pernah menjadi hunian masa “berburu” dan “mengumpulkan makanan tingkat lanjut”. Daerah Pacitan adalah tempat penting dalam riset teknologi paleolitik sebab terdapat banyak perangkat prasejarah dalam bentuk yang jelas. Bukti kehidupan prasejarah juga didapati di sejumlah tempat yang berada lebih ke arah hilir Bengawan Solo, yaitu daerah Sragen, Karanganyar, Blora dan Ngawi.

Dua lokasi di Sragen yang ditengarai sebagi situs prasejarah adalah Sangiran dan Sambungmacan. Kendati tidak berada tepat di aliran Bengawan Solo, Sangiran bisa dikatakan sebagai kawasan sekitar Bengawan Solo sebab Kali Cemara, Kali Brangkal, dan Kali Pohjajar yang melintasi kubah Sangiran merupakan anak sungai Bengawan Solo. Kawasan Cagar Budaya Sangiran memiliki areal sebaran temuan yang amat luas (sekitar 56 kiometer persegi) dan mengalami masa hunian oleh manusia purba terlama (lebih dari satu juta tahun) dibandingkan dengan situs prasejarah lain di dunia.

Situs prasejarah di Ngawi yang telah banyak dikenal adalah situs Trinil, Kecamatan Kendunggalar, Jawa Timur. Lokasi lain ada di Dusun Soko, Desa Karangasi, Kecamatan Ngawi, di aliran Bengawan Madiun tidak jauh dari pertemuan Bengawan Madiun dan Bengawan Solo. Di daerah Bojonegoro dan Tuban terdapat peninggalan berupa peti kubur batu. Masyarakat setempat menyebutnya kunur kalang. Dinding, alas dan tutupnya dibuat dari papan batu, dengan lubang kubur sedalam 60 cm. Peti kubur batu yang ditemukan di Desa Kawengan, Kecamatan Kedewan dan Kecamatan Dander Bojonegoro berjumlah lebih dari 100 buah.

Sumber data tekstual pertama yang memberitakan aktifitas manusia di Bengawan Solo adalah Prasasti Telang yang dikeluarkan Rakai Watukura Dhyah Balitung dari Mataram. Pokok isinya mengenai penetapan Desa Telang, Mahe, dan Paparahuan sebagai desa perdikan (sima) berkenaan dengan pembuatan penyeberangan sungai di desa Paparahuan. Desa-desa di pinggir sungai ditetapakan menjadi sima sebagai imbalan atas kewajiban menyeberangkan penduduk dan pedagang secara cuma-cuma. Maklumat raja ini berlaku turun-temurun sehingga hak kelola atas perahu penyeberangan menjadi milik penuh dari pemimpin sima dan keturunannya.

Menyusuri Bengawan Solo adalah menyusuri kembali riwayat masa silam. Kedung Bacin yang terletak di kawasan Kecamatan Kebak Kramat, Karanganyar, Jawa Tengah adalah kisah kemakmuran desa hingga perhatian istimeawa dua kerajaan yaitu Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Di sini terdapat sisa pesanggrahan milik bangsawan Surakarta, dan pada masa-masa tertentu diadakan pesta panen ikan. Namun sejak tahun 1980-an situasi berubah. Berbagai limbah pabrik dan limbah domestik memberi andil besar dalam pencemaran sehingga mematikan berbagai macam ikan. Aktifitas perniagaan zaman Hindu-Buddha hingga jaman kolonial dapat ditemui di Dusun Banjar, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, yang lebih dikenal dengan kawasan Ngawi Purba. Di tempat inilah cikal bakal Kabupaten Ngawi. Hal ini antara lain tercermin dari artefak bangunan, termasuk makam Patih Ngawi RP. Pringgokoesoemo.

Batu-batuan raksasa yang diduga meupakan batuan breksi vulkanik banyak ditemukan di aliran Bengawan Solo Dusun Ngamban, Pacitan, Jawa Timur dan Dusun Ngulang, Wonogiri, Jawa Tengah. Batu berwarna putih kehitaman atau keabu-abuan ini berukuran tinggi 6-7 meter dengan berbagai macam bentuk.

Benteng Pendem atau Benteng Van Den Bosch terletak di jalur pertemuan Bengawan Solo dan Bengawan Madiun tepatnya di Desa Pelem, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Benteng ini adalah saksi sejarah pertempuran antara pasukan Diponegoro dan tentara Belanda di Ngawi semasa berkobarnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Sebuah dam kuno yang diduga dibangun Belanda ditemukan di Dusun Losari, Desa Selomarto, Kecamatan Giriwoyo. Panjang dam 38,5 meter, tebal 2-3 meter. Posisi dam berada dalam garis lurus dengan aliran Bengawan Solo lama. Sekarang aliran sungai sudah bergeser kea rah kiri dam kuno. Dam tersebut berfungsi untuk menahan arus dan lumpur. Sebuah perahu kuno bernilai historis yang dapat mengungkap peradaban di masa awal abad XVII ditemukan di alur Bengawan Solo September 2009. Perahu tersebut sekarang diletakkan di areal sawah Dusun Padang, Desa Padang, Kecamatan Trucuk, Bojonegoro, Jawa Timur.

Bengawan Solo yang melintasi daerah Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Surakarta, Karanganyar, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan dan Gresik memainkan peranan yang penting dalam peristiwa ekonomi, politik, religi, kesenian, transportasi mau pun komunikasi. Bengawan Solo berperan sebagai tali pengikat antar daerah, semenjak dari pedalaman Jawa Tengah sampai pesisir Jawa Timur. Bengawan Solo dapat dilintasi perahu dan kapal sungai dari Gresik hingga ke Solo dan sebaliknya. Bagi kerajaan Mataram Islam, pelabuhan pada muara Bengawan Solo di Gresik dan Jaratan merupakan pasar produksi pangan yang didatangkan dari Mataram lewat bengawan tersebut.

Pada masa ketika jalan-jalan darat yang menghubungkan daerah-daerah masih dalam kondisi belum memadai, maka jalur sungai merupakan jalur lalulintas yang mudah dilalui dan menjadi pilihan. Ketika kondisi air Bengawan Solo masih baik, perahu kategori sedang (sekitar 50 ton) dan kecil (sekitar 30 ton) dapat berlayar sampai kota Surakarta. Perahu besar (100 ton atau lebih) dapat melakukannya di musim penghujan. Kini ketika muka sungai kian lebar akibat erosi dan debit airnya menurun perahu kecil pun sulit untuk berlayar. Sementara di sisi lain jalur lalulintas darat semakin membaik dan menjangkau pelosok, akibatnya lalulintas sungai semakin ditinggalkan. Perubahan penggunaan jalur transportasi ini melatari berubahnya arah hadap rumah tinggal. Dari semula menghadap ke arah sungai menjadi ke arah jalan darat. Rumah tinggal dan pabrik yang berada di tepi sungai posisinya membelakangi sungai, dan sungai menjadi tumpahan sampah baik dari pabrik mau pun rumah tangga. Hulu Bengawan Solo yang lebarnya tak dari 10 meter saat musim hujan dan 5 meter saat musim kemarau juga mengalami kerusakan. Pinggiran sungai dengan kemiringan 30-40 derajat hampir semuanya menjadi lahan pertanian. Nyaris tak ada tegakan keras untuk menyimpan air dan menahan erosi. Akibatnya sedimentasi selalu meningkat.

Walau pun Bengawan Solo sudah banyak berubah dibanding dulu, tetapi bagi sebagian orang tetap menjadi berkah sampai saat ini. Banyak orang atau masyarakat yang hidupnya tergantung pada Bengawan Solo. Penambangan pasir, pembuatan arang di pinggiran Bengawan Solo, bercocok tanam di ladang pasang surut, jasa penyeberangan., mencari ikan, budidaya tambak adalah contoh kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat. Walaupun hasilnya tidak menentu, dapat dikatakan sangat membantu ekonomi rumah tangga. Seringkali kegiatan (“mencari makan”) mereka tidak memperhatikan kelestarian alam. Misalnya penebangan kayu untuk pembuatan arang kurang sebanding dengan penanaman kembali, budidaya tambak dengan menebang bakau /mangrove secara membabi buta, pencurian kayu di hutan-hutan sekitar aliran Bengawan Solo, pembuangan limbah tanpa disaring terlebih dahulu. Lahan sekitar aliran sungai yang dijadikan lahan bercocok tanam membuat tanah gembur dan mudah longsor bila terkena air.

Saat ini yang sangat mendesak untuk dilakukan adalah “penyelamatan” Bengawan Solo. Hal ini tentu saja melibatkan semua pihak baik dari masyarakat, pemerintah maupun pihak swasta. Hal-hal yang bisa dilakukan antara lain penanaman tanaman yang bisa menahan erosi di lahan sekitar bengawan, penanaman pohon di daerah resapan/tangkapan air, pengolahan limbah sebelum dialirkan ke sungai, penanaman bakau di daerah muara dan sekitarnya, penambangan pasir yang tidak membabi buta, dan lain-lain. Penyakralan mata air (seperti bersih dusun dengan menguras mata air di Dusun Tenggar, Desa Jeblogan,Wonogiri, Jawa Tengah) merupakan salah satu cara melestarikan arti penting sumber air bagi kehidupan dengan pendekatan kearifan lokal sesuai keyakinan masyarakat yang bersangkutan.

Teks : M. Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta