Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»ANGSA, SUMUR DAN PENJARA

01 Oct 2008 11:16:00

Perpustakaan

ANGSA, SUMUR DAN PENJARA

Judul buku : Angsa Merampas Roti Bebek-bebek
Masa kanak-kanakku di Kamp Tahanan Jepang
Di Jawa.
Pengarang : Anne-Ruth Wertheim
Penerbit : Galang Press
Tahun : 2008
Tebal : 48 halaman

Permainan angsa, atau yang sekarang dikenal dengan nama permainan Ular tangga, menjadi kisah hidup Anne-Ruth Wertheim beserta mamanya dan dua saudaranya di Kamp Tahanan Jepang di Jawa. Ketika dadu dimainkan, jumlah angka yang tertera sebagai awal melangkah dipermainan angsa: Anne tidak mau jatuh ke dalam sumur.

Kisah permainan Angsa seperti menggambarkan kehidupan Anne di dalam tahanan Jepang di Jawa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia 1942-1945. Pada waktu itu Anne masih kecil, ketika Belanda kalah perang dan Jepang menguasai Indonesia, Anne beserta kedua orang tuanya berikut seorang adik dan kakak di tahan oleh tentara Jepang. Namun ayahnya ditahan ditempat yang berbeda dari istri dan ketiga anaknya. Satu kisah yang sendu dan menyedihkan: Seorang anak dirampas kebebasannya, karena persoalan politik yang tidak dimengerti.

Namun ibu Anne rupanya seorang ibu yang mengerti dunia anak-anak. Ia selalu tidak memperkenankan anaknya melihat kekerasan yang dilakukan tentara Jepang, kapan memberikan hukuman pada tahanan. Ibu Anne membuatkan permainan anak-anak, yang rupanya untuk tidak menghilangkan dunia anak-anaknya, yakni: bermain. Dalam usia relatif kecil, Anne dengan satu kakak dan satu adik harus meringkuk dipenjara. Dalam suasana pilu, Anne menuturkan di halaman 11:

“Dari umur delapan sampai sepuluh tahun aku dipenjara di kamp interniran Jepang di Jawa. Sangat lama jika sekarang aku mengingatnya kembali. Kenyataannya memang lebih dari dua tahun. Jika dipikir, memang benar-benar merebut sebagian besar dari masa kanak-kanakku”

Jawa begitu luas, tetapi tidak disebutkan di mana Jawa dalam buku ini. Barangkali karena Anne memang tidak mengerti letak kamp tahanan itu. Namun yang pasti Jawa adalah tempatnya. Atau mungkin juga sengaja tidak menyebutkan letak lokasinya dan menunjuk Jawa, karena ia bersama kedua orang tuanya serta kakak dan adiknya tinggal di Jawa.

Buku dengan jumlah halaman yang sangat tipis ini menyenangkan untuk dibaca. Bukan karena bisa cepat selesai, tidak sampai satu jam. Tetapi yang menarik adalah, buku ini disertai dengan gambar-gambar di penjara dan gambar-gambar permainan angsa. Anne memberikan kisah bagaimana permainan angsa dan dia takut benar saat melangkah jatuh ke sumur. Permainan itu seperti kehidupan yang sedang dijalaninya. Anne mengeluh sekaligus bersedih mengingatnya sambil menuturkan:

“Aku orang yang tidak mau kalah. Aku benar-benar tidak suka jatuh ke dalam ‘sumur’. Tapi ketika dadu hendak membawa aku ke ‘penjara’ seketika itu aku menangis” kata Anne di halaman 11. Teks ini terletak di atas gambar sumur.

Kata ‘sumur’ dan kata ‘penjara’ yang ditulis dengan tanda kutip, menunjukkan bahwa itu hanya permainan pada masa 50 tahun yang lalu, setidaknya ketika buku ini ditulis Anne tahun 1994. Kesadaran memberikan tanda kutip pada dua kata tersebut tampaknya merupakan kesadaran reflektif setelah masa itu berlalu dan dituliskan pada kurun waktu dan jaman yang berbeda. Namun sekaligus, dua kata itu, ketika Anne kecil di tahanan, seperti kenyataan yang dialaminya. Karena itu dia menangis.

Kenyataan permainan angsa yang menggunakan dadu itu dialami adiknya yang tidak mau makan lantaran sakit. Permainan dadu itu menunjuk angka 58 yang dilambangkan dengan gambar tengkorak. Tulis Anne di halaman 25:

“Sehari sebelum ia jatuh sakit kami bermain permainan-angsa, dan ia berhenti di angka 58: ‘Maut’;”

Lagi-lagi kata maut ditulis dengan tanda petik seperti dua kata telah disebut diatas. Rupanya, kenyataan dalam permainan, oleh anak-anak dimengerti sebagai kenyataan riil. Atau memang, permainan angsa merupakan gambaran riil kehidupan yang dijalani, tetapi mempunyai unsur menghibur dan mendidik. Rasanya, seperti proses pendidikan yang mengagumkan diberikan ibu Anne di kamp tahanan.

Menulis sejarah pengalaman

Dalam bahasa aslinya buku ini berjudul ‘De gans eet het broad van de eenden op, mijn kindertijd in een Jappenkamp op Jawa’ diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Hersri Setiawan menjadi ‘Angsa Merampas Roti Bebek-bebek’. Jarak penerbitan bahasa aslinya kedalam bahasa Indonesia cukup lama 14 tahun. Namun kisahnya memberikan pelajaran sejarah , kebudayan dan politik bagi pembacanya.

Anne memberikan kisah bagaimana dia diperlakukan secara diskriminatif lantaran dia Yahudi, tetapi dia juga berlaku diskriminatif kepada orang lain, khususnya pada Yahudi Timur.

“Jika ada orang yang merasa kehilangan sesuatu, segera saja orang-orang Yahudi Timur yang dipersalahkan. Maka kami suka memaki mereka, dan sebaliknya juga mereka terhadap kami. Jujur saja, aku harus mengakui, kemi telah mendiskriminasikan mereka” (hal 31)

Sejarah pengalaman seseorang, yang juga dialami orang-orang lain, setidaknya seperti pengalaman Anne di kamp tahanan Jepang di Jawa, merupakan sejarah pengalaman yang menarik untuk diketahui orang lain. Barangkali memang sangat personal sejarah yang dia tulis. Tetapi justru karena bukan ditulis oleh sejarawan, yang dalam menulis membuat jarak terhadap peristiwa. Sejarah pengalaman ini menjadi terasa lain. Setidaknya, Anne menghadirkan suasana pada masa itu. Gambar-gambar yang disertakan, juga beberapa foto, seolah seperti hendak ‘menghidupkan’ suasana kamp tahanan Jepang di Jawa. Ia, Anne-Ruth Wertheim, seperti hendak ‘mengembalikan’ masa kanak-kanaknya yang terampas oleh persoalan politik yang tidak dia pahami. Ia, seperti hendak berkata: Anak-anak dan perempuan, dalam perubahan politik sebagai pihak yang menjadi korban, sehingga perubahan politik menjadi terasa tidak manusiawi.

‘Kombi’ alias ‘Gado-gado’

Rasanya menarik bagian epilog dari buku ini. Tampaknya refleksi dan renungan Anne mengenai apa yang disebut jati diri atau kombinasi, yang disebutnya sebagai ‘kombi’ atau ‘gado-gado’ adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari dan tidak bisa dipilih. Seseorang telah dilahirkan dengan kulit putih, sawo matang, kuning tanpa harus bisa memilih warna kulitnya. Seseorang juga tidak bisa memilih darahnya campuran antara Belanda dan Yahudi dan tinggal serta menikmati aroma Indonesia. Karena itu, seperti Anne-Ruth Wertheim, yang setengah Yahudi dan setengah bukan Yahudi, sesungguhnya bukan kedua-duanya. Inilah yang disebutnya sebagai ‘kombi’ atau ‘gado-gado’.

“Biarkanlah lahir jatidiri-jatidiri yang terdiri lebih daripada darah dan kebudayaaan yang selalu ditekan-tekan. Suatu pembawaan atau sesuatu yang berkembang selama kehidupan seseorang: laki-laki, perempuan, kekasih, anak, cucu, orang tua, pengasuh, opa-oma, saudara perempuan, saudara laki-laki, keturunan, warna kulit, pilihan seksual, perhatian, bakat, ketrampilan, kerja, kepekaan, keyakinan beragama atau tidak beragama, latar belakang, gaya hidup, nafsu…setiap orang mempunyai jati diri kombinasi. Kita semua adalah kombi” (hal 47)

Teks terakhir yang ditulis dalam epilog ini tampaknya kegelisahan Anne sekaligus kenyataan dari keadaan jaman yang sekarang sedang kita alami, dimana batas-batas menjadi sangat tipis, interaksi antar orang, antar negara mudah sekali terjadi. Tetapi perspektif ‘kamp tahanan Jepang’ yang diskriminatif masih mudah ditemukan.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta