Spirit dari Kedunggubah

Author:editorTembi / Date:29-12-2014 / Ons Untoro, pegiat budaya dari Yogyakarta dan dikenal sebagai penyair yang aktif menulis puisi sejak akhir 1970-an diminta memberikan pidato kebudayan dalam peresmian perpustakaan yang diberi nama ‘Pustaka Grumegah’.

Tiga buku Driyarkara yang menjadi koleksi perpustakaan ‘Pustaka Grumegah’ di desa
Buku koleksi Perpustakaan Pustaka Grumegah

Ons Untoro, pegiat budaya dari Yogyakarta dan dikenal sebagai penyair yang aktif menulis puisi sejak akhir 1970-an diminta memberikan pidato kebudayan dalam peresmian perpustakaan yang diberi nama ‘Pustaka Grumegah’, Sabtu pagi, 20 Desember 2014 di Desa Kedunggubah, Kaligesing, Purworejo. Desa Kedunggubah merupakan desa kelahiran filsuf Prof. Dr. Driyarkara, yang namanya diabadikan menjadi mana perguruan tinggi: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Bahan pidato kebudayaan yang diberi judul ‘Spirit dari Kedunggubah’ disajikan lengkap, agar netter  tembi.net bisa membacanya.

Pagi ini, saya sampai desa Kedunggubah, desa di mana Driyarkara dilahirkan. Baru pertama kali saya mengunjungi desa ini, dan baru tahu, desa di mana sekarang saya berada adalah tempat kelahiran seorang tokoh besar.

Ketika beliau wafat tahun 1967, saya masih kecil, dan belum mendengar nama Driyarkara. Saya mengenal beliau dan membaca karyanya, untuk pertama kali tahun 1980, ketika di toko buku loak menemukan buku karya beliau, yang terletak di bawah tumpukan. Judul buku tersebut “Sosialitas Sebagai Eksistensi’, yang diterbitkan PT. Pembangunan tahun 1962. Buku ini merupakan bahan Pidato Inagurasi, Pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Luar Biasa Dalam Ilmu Filsafat Pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Dari buku itulah saya mulai mengenal Driyarkara, dan tulisan2 lama dari beliau yang saya dapat secara lepas-lepas. Kini kita bisa membaca karya beliau dalam buku ‘Karya Lengkap Driyarkara’ setebal 1.500-an halaman. Juga ada buku yang ditulis dalam bahasa Jawa dan dimuat di majalah Praba dengan nama samaran Pak Nala. Kumpulan tulisan yang diterbitkan menjadi buku dan diberi judul ‘Rerasan Owah Gingsiring Jaman’.

Dalam kesempatan ini, saya tidak akan membahas siapa Driyarkara. Karena menyangkut beliau bisa dibaca melalui karya-karyanya. Saya lebih tertarik pada spirit Kedunggubah, yang tak lain adalah spirit Driyarkara, dalam bentuk perpustakaan. Di desa ini didirikan perpustakaan, artinya spirit belajar dari Driyarkara tidak akan punah. Para keluarga Driyarkaya, saya rasa tahu betul bagaimana memelihara spirit Driyarkara, maka dari itu didirikanlah perpustakaan.

Kita tahu, perpustakaan adalah tempat ilmu, dan dengan adanya perpustakaan dengan sendirinya ada upaya membangun tradisi membaca. Karena kita tahu, tradisi membaca bangsa kita bisa dibilang masih lemah. Karena itu, upaya membangun tradisi membaca adalah dengan mendirikan perpustakaan.

Dari perpustakaan Driyarkara ini, proses kebudayaan sedang dan akan terus berlangsung di Kedunggubah, yang kelak di masa depan akan lahir para cerdik pandai dari Kedunggubah.

Suasana ruang perpustakaan ‘Pustaka Grumegah’ di desa Kedunggubah, Purworejo, foto:
Suasana Perpustakaan

Pendirian perpustakaan ini menjadi menarik karena dilakukan di desa, yang kini di banyak desa di Indonesia lebih banyak dibuka minimarket, yang memberi ruang masyarakat untuk bersikap konsumtif. Tak ada kecerdasan yang digulirkan dari minimarket, kecuali keinginan untuk membeli.

Spirit Kedunggubah hadir secara lain, bukan membuka ruang konsumtif, melainkan membentuk tradisi membaca, yang memperkaya rohani dan menambah pengetahuan. Perpustakaan adalah tanda, bahwa hidup tidak harus selalu diisi dengan sikap hedonis dan rakus, tetapi bagaimana mengembangkan pengetahuan.

Saya kira, pemerintah perlu ‘meniru’ Kedunggubah dengan membuka perpustakaan dengan memberi fasilitas lengkap ketimbang memberi ijin banyak mall. Kota-kota di Indonesia, saya rasa kita sama tahu, lebih mudah menemukan mall dan minimarket daripada menemukan perpustakaan.

Hari ini, di Kedunggubah, saya melihat, tradisi intelektual dimulai mengikuti jejak spirit Driyarkara.

Untuk mengakhiri pidato kebudayaan ini, perkenan saya membaca puisi, yang saya tulis malam hari 19 Desember 2014, dan saya beri judul “Kedunggubah”. Sebut saja, puisi ini sebagai rasa kagum saya kepada (alm) Driyarkara dan tanah kelahirannya, yang saya

Kedunggubah

Jejak masa lalu tak berlalu 
Anak-anak mengejar masa depan 
Nama yang kita kenal dari masa lalu 
Kembali ke desa menghidupkan cahaya 
Jejak itu masih terasa, tidak hanya di Kedunggubah 
Di Jakarta ada namanya, melekat di tubuh lembaga 
Dia bukan hanya dikenang Ilmunya menempel di kepala 
Bekal mengejar masa depan

Aku tak akan pernah lupa 
Tempat di mana dirimu dilahirkan 
Kedunggubah jalan membuka dunia

19 Desember 2014

Ons Untoro

Berita budaya

Latest News

  • 30-12-14

    Outbond SMKN 6 Yogya

    Selama dua hari beturut-turut pada Senin-Selasa, 15-16 Desember 2014, siswa-siswi SMKN 6 Yogyakarta melaksanakan outbond di Tembi Rumah Budaya.... more »
  • 30-12-14

    Keistimewaan Yogya M

    Dalam diskusi ini, para pembicara melihat bahwa keistimewaan yang diributkan bukan hanya persoalan kesenian, lebih dari itu bagaimana kebudayaan... more »
  • 30-12-14

    Numerology Tahun 201

    Untuk tahun 2015 ini hasil penjumlahan angka = 8. Jika dikaitkan dengan peri kehidupan di bumi Nusantara ini, secara kosmologis angka 8 menjadi... more »
  • 29-12-14

    Sega Bancakan dan Es

    Sega Bancakan sangat kental bernuansa Jawa, dengan komponen utama sega abang (nasi merah), ayam kampung, kuah areh, yang dilengkapi dengan krupuk... more »
  • 29-12-14

    Macapatan Malam Rabu

    Saat melakukan perjalanan dari Jawa hingga sampai Negara Ngesam (daerah Suriah) Nabi Isa berhenti di suatu jalan. Di tempat tersebut Ia mendapatkan... more »
  • 29-12-14

    Spirit dari Kedunggu

    Ons Untoro, pegiat budaya dari Yogyakarta dan dikenal sebagai penyair yang aktif menulis puisi sejak akhir 1970-an diminta memberikan pidato... more »
  • 27-12-14

    Menyimak Gending-gen

    RM Palen Suwanda Nuryakusuma mulai menulis dan menyusungendhing-gendhing karawitan sejak berusia 23 tahun. Gendhing karya pertamanya adalah... more »
  • 27-12-14

    Aneka Warangka Keris

    Masyarakat Jawa yang kurang kenal dekat dengan dunia keris biasanya hanya tahu bahwa sarung keris namanya warangka. Padahal sebenarnya setiap bagian... more »
  • 27-12-14

    Orang Sabtu Paing Ku

    Orang Sabtu Paing kurang perhitungan atau kelewat berani, suka pamer, sombong dan panas hati, bergaya sok kaya, kurang rendah hati, jika bertengkar... more »
  • 26-12-14

    Voice of Asmat, Perp

    Pertunjukan musik akustik dibawakan sekelompok anak muda berbakat, yaitu Putri Soesilo, Aji Setyo, Dika Chasmala, dan Alwin. Mereka memadukan rasa... more »