Ludruk Budhi Wijaya, Pentas Langka di Yogya
Author:editorTembi / Date:19-01-2015 / Selain sebagai pengungkapan suasana kehidupan masyarakat, ludruk juga dapat berfungsi sebagai penyaluran kritik sosial, dan sekaligus sebagai hiburan. Oleh karenanya muatan lawak menjadi perhatian khusus pada setiap pementasan.
Para aktor ludruk Budhi Wijaya memang handal dalam menghibur penonton
Salah satu tamu undangan membawa serta istri dan kedua anaknya untuk menghadiri gelaran pameran seni rupa ‘Asam Garam Bentara’ yang memamerkan karya para kurator Bentara Budaya, yaitu GM Sudarta, Hermanu, Ipong Purnama Sidhi, Hari Budiono, dan Wiediantoro, di Bentara Budaya Yogyakarta pada Jumat 9 Januari 2015.
“Kali ini saya ingin mengenalkan anak-anak saya yang masih duduk di bangku SLTA kepada kesenian ludruk yang akan menyemarakkan acara pembukaan pameran,” kata penonton itu. Namun rupanya ia sedikit kecewa, pasalnya pada pengantar pembukaan pentas tidak ada penjelasan singkat apa itu kesenian ludruk, kapan kesenian tradisional itu lahir dan dimana? Pengantar singkat ini penting supaya para hadirin yang belum mengenal ludruk mendapat sedikit gambaran mengenai kesenian tersebut.
Adegan topeng kembar
Namun rasa kecewa itu hilang seketika, saat pentas Ludruk Budhi Wijaya dari Jombang Jawa Timur dimulai. Para pemain senior yang ditampilkan pada adegan awal, dengan gerakannya, dengan ekspresinya dengan banyolannya dan dengan iringannya telah mampu menjawab, seperti apakah kesenian ludruk itu?
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur yang secara umum memiliki lima unsur pokok yang meliputi: tari ngremo, kidungan, lawak, alur cerita utama, dan musik karawitan (jula-juli). Cerita utama mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari yang mengandalkan pada spontanitas kehidupan rakyat. Dialog atau pun monolog dalam ludruk menggunakan bahasa Jawa lugas logat Surabaya jawatimuran, sehingga mudah dipahami oleh masyarakatnya.
Selain sebagai pengungkapan suasana kehidupan masyarakat, ludruk juga dapat berfungsi sebagai penyaluran kritik sosial, dan sekaligus sebagai hiburan. Oleh karenanya muatan lawak menjadi perhatian khusus pada setiap pementasan. Yang membedakan kesenian ini dengan kesenian tradisi yang lain seperti ketoprak misalnya, adalah bahwa pemain ludruk semuanya laki-laki, baik untuk pemeran laki-laki maupun untuk pemeran wanita, terkecuali jika mengudang bintang tamu sebagai terobosan untuk mendatangkan penonton, seperti yang sering dilakukan oleh ‘manajemen’ Ludruk Budhi Wijaya.
Didik Purwanto (tengah) pimpin Ludruk Budhi Wijaya bersama
para pengrawit dan pesinden
Malam itu halaman Bentara Budaya Yogyakarta penuh dengan penonton yang menyaksikan kesenian ludruk dengan cerita ‘Topeng Kembar.’ Sembari duduk lesehan persis di depan panggung atau duduk di kursi yang ditata di belakang tikar, mereka menikmati hidangan yang disediakan pihak Bentara Budya secara gratis, berupa soto kudus dan camilan jagung rebus, kacang rebus, serta ceriping singkong.
Bagi para aktor senior ludruk Budhi Wijaya tentunya mereka dapat membaca bahwa penonton malam itu bukan penonton ludruk pada umumnya. Sebagian besar dari mereka adalah perupa yang jarang sekali menonton kesenian ludruk, bahkan beberapa diantaranya belum pernah menonton ludruk. Berdasarkan pengalamannya mereka dapat memperkirakan bahwa penonton yang seperti ini biasanya dikategorikan sebagai penonton yang empuk ‘gampang daden-dadenane’ atau mudah untuk dibuat tertawa. Dan benarlah apa yang diperkirakan, begitu pemain muncul dan beraksi, mereka tertawa ngakak berkepanjangan.
Pentas ludruk di Yogyakarta yang sudah sangat langka setelah tutupnya Taman Hiburan Rakyat pada dekade 1970-an selain membangkitkan kenangan masa lalu, masa kejayaan kesenian tradisi yang lahir di Jawa Timur ini, juga memberikan referensi baru akan kesenian tradisi bagi yang belum pernah melihatnya.
Syukurlah oleh karena kiprah Romo Sindhunata, Hermanu, dan kawan-kawan Bentara Budaya Yogyakarta para penggemar ludruk dan juga mereka yang merasa memiliki kesenian ini yang tinggal di Yogakarta, masih dapat menyaksikan pemain-pemain terbaik dari Ludruk Budhi Wijaya pimpinan Didik Purwanto dari Kabupaten Jombang, yang masih laris ditanggap hingga saat ini.
Romo Sindhunata (tengah) di antara para pemain senior Ludruk Budhi Wijaya
Walaupun aneka macam terobosan telah dilakukan oleh kelompok Ludruk Budhi Wijaya, yang didirikan tahun 1982, diantaranya, dengan menampilkan tari ular, campur sari, bintang tamu aneka tarian dan nyanyian, berapa lama lagi kesenian khas Jawa Timur masih mampu bertahan menghadapi gempuran budaya global yang menghajar?
Di sela-sela gelak tawa penonton malam itu, terselip kekhawatiran yang dalam, siapakah yang bakal meneruskan kesenian ludruk ini jika tidak nampak pemain muda yang menjadi andalannya.
Herjaka HS
Foto: Wury
Latest News
- 20-01-15
Kyai Sorogeni Diyaki
Kedatangan Kyai dan Nyai Sorogeni di wilayah Banaran ini dengan maksud untuk mendita (hidup layaknya seperti pendeta), yakni meninggalkan... more » - 20-01-15
Kamus Jawa-Belanda,
Salah satu koleksi buku lama di Perpustakaan Tembi adalah buku tentang kamus bahasa Jawa-Belanda, dan sebaliknya. Buku terbitan tahun 1931 ini masih... more » - 20-01-15
Maria Pratiwi Jatuh
Maria menjadi harpanis muda Indonesia yang berhasil mencapai sertifikat skor tertinggi dari Royal School of Music dari tahun 2008 sampai 2011. Selain... more » - 19-01-15
50 Years of Blessing
Avip Priatna adalah salah satu konduktor yang sejak 1995 telah berkontribusi membawa harum nama Indonesia dengan memenangkan beragam kompetisi paduan... more » - 19-01-15
Asean Youth Center,
Sebuah ruang yang diharapkan bisa menginspirasi dan mengembangkan kreativitas generasi muda sedang dibangun, rencananya akan ada 100 Asean Youth... more » - 19-01-15
Ludruk Budhi Wijaya,
Selain sebagai pengungkapan suasana kehidupan masyarakat, ludruk juga dapat berfungsi sebagai penyaluran kritik sosial, dan sekaligus sebagai hiburan... more » - 19-01-15
Prajurit Keraton Kas
Kesatuan prajurit Keraton Kasultanan Yogyakarta yang lain adalah Dhaeng. Struktur prajurit ini terdiri atas dua orang panji yakni Panji Parentah dan... more » - 17-01-15
Mengenang 100 Hari,
Sejumlah teman Bakdi Sumanto, termasuk murid-muridnya akan membacakan karya-karya Bakdi Sumanto baik berupa puisi maupun cerpen. Bahan-bahan yang... more » - 17-01-15
Kisah Pujangga Walmi
Usman Effendi, dalam buku ini tidak hanya menulis tentang kisah Rama dan Sita saja, tetapi juga latar belakang pujangga Walmiki menciptakan epos... more » - 17-01-15
Menjelajah ke Museum
Museum Radya Pustaka Surakarta termasuk salah satu tempat wisata budaya yang sudah lama ada. Museum ini berdiri pada 28 Oktober 1890 atau hampir... more »