Membaca Puisi di Tengah Hujan

Author:editorTembi / Date:21-05-2014 / Hujan pun bertambah deras. Puisi terus dibacakan. Bunyi hujan sekaligus menjadi musik bagi pembacaan puisi Sastra Bulan Purnama edisi ke-32 yang diberi tajuk ‘Membaca Puisi Menguatkan Hati’.

Daladi Ahmad, penyair dari Magelang menggubah puisi karyanya menjadi lagu dan tampil dalam Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya, foto: Umi Kulsum
Daladi Ahmad

Sore hari gerimis mengguyur Yogyakarta, tak terkecuali di Amhpyteater Tembi Rumah Budaya, yang akan dipakai pertunjukan Sastra Bulan Purnama edisi ke-32. Tetapi, acara memang sengaja diselenggarakan di ruang terbuka, karena mendekati malam cuaca terlihat cerah. Sebagaimana nama program, Sastra Bulan Purnama, memang tepat kalau diselenggarakan di ruang terbuka.

Ketika Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan, Rabu 14 Mei 2014 pada pukul 20.00 dengan diawali pembacaan puisi oleh Achmad Masih, cuaca masih cerah. Penonton sambil duduk sembari menikmati minuman hangat, melihat penyair membaca puisi. Puisi pertama dibacakan penyair Achmad Masih berjudul ‘Perempuan Bersarung’ dan serta tampil seorang pembaca puisi, Ema Kismi Anna, membacakan puisi Achmad Masih.

Pembaca kedua, seorang penyair perempuan, Suprihatin, membacakan puisi yang cukup panjang berjudul ‘Setengah Indonesia’. Pada saat Atin, demikian panggilannya, membaca puisi, gerimis kecil mulai turun. Tak terpengaruh oleh gerimis, ia masih menghabiskan satu judul puisinya, bahkan diteruskan puisi kedua dan gerimis tidak reda, malah berubah menjadi hujan.

Suprihatin membacakan puisi berjudul ‘Setengah Indonesia’ dalam acara Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya, foto Umi Kulsum
Suprihatin

Maka, pertunjukan dipindah di pendapa, dan hujan pun bertambah deras. Puisi terus dibacakan. Bunyi hujan sekaligus menjadi musik bagi pembacaan puisi Sastra Bulan Purnama edisi ke-32 yang diberi tajuk ‘Membaca Puisi Menguatkan Hati’.

Para penyair yang tampil dari generasi berbeda, dan datang bukan hanya dari Yogya. Penyair Wieranta dari Solo, dan Daladi dari Magelang. Empat penyair lainnya, Matroni Muserang, Sri Yuliati, Suprihatin dan Achmad Masih tinggal di Yogya. Generasi paling tua Achmad Masih, yang lahir tahun 1949, sesudah iti Wieranta, usia 56 tahun. Selebihnya penyair yang lahir dari tahun 1960-an sampai 1990-an.

Daladi, penyair dari Magelang, tampil tidak membacakan puisi karyanya. Dengan gitar akustik yang dia bawah dari Magelang, ia menggubah puisi karyanya menjadi lagu. Maka, alunan suara Daladi berbaur dengan bunyi rintik hujan, seolah seperti puisi, suasananya puitik. Penampilan Daladi memberikan warna lain dari kebiasaan penyair membaca puisi dengan membawa teks puisi.

Wieranta dengan gaya bersahaja membacakan puisinya, di tengah hujan yang semakin deras. Beberapa pembaca lain membacakan puisi karya Wieranta.

“Saya senang kalau puisi saya ada yang membacakan sehingga tidak hanya saya yang membaca sendiri,” kata Wieranta sebelum acara dimulai.

Maroni Muserang, peyair muda, membacakan puisi karya dalam acara Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya, foto: Umi Kulsum
Matroni Muserang

Sri Yuliati, membacakan puisi karyanya dan dibantu pembaca lain. Puisi-puisi karya Sri seperti ‘dihidupkan’ oleh para pembacanya. Sri sendiri membaca dengan penuh ekspresif, bahkan terlihat teaterikal.

Matroni Muserang, seorang penyair muda penuh bakat, berasal dari Sumenep, Madura, membacakan puisi karyanya dibantu oleh Ami Simatupang, aktris dari Teater Stemka. Ami, demikian panggilannya, menghayati betul puisi karya Matroni, sehingga puisi yang dibacakan terasa hidup.

Selain enam penyair yang membacakan puisi karyanya sendiri, masing-masing penyair meminta orang lain untuk ikut membacakannya, sehingga pembaca puisi Sastra Bulan Purnama edisi ke-32 menampilkan sejumlah pembaca puisi, seperti Tosa Santosa, Ema Kismi Anna, Ami Simatupang, Wahyudi dan beberapa pembaca lainnya.

Ami Simatupang, aktris teater, membacakan puisi karya Matroni Muserang dalam Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya, foto: Umi Kulsum
Ami Simatupang

Matroni Muserang, sebagai penyair muda, mempunyai bakat yang menggembirakan dalam hal menulis puisi. Delapan puisinya memiliki kekuatan tersendiri sebagai puisi. Berikut salah satu puisinya berjudul “Pintu”.

Pintu 02

Dari pintu
aku melewati lingkaran sejarah
yang kerap masuk
di lumuri kegersangan

Waktu yang berbaju pintu 
aku masuki perlahan 
dan tarikan kata 
yang tak sempat aku bawa 
berceceran di jalanan 
memunguti baju agama

Pintu ke dua berjalan di atas gelombang 
seperti perahu aku tunggangi 
mengayun pelan 
sepelan kata berhembus di kupingku 
di atasnya aku bawa kebijaksanaan dan kolam kehijauan

Ons Utoro

Bale Karya Pertunjukan Seni

Latest News

  • 23-05-14

    Ada Mastodon di Muse

    Di museum yang terletak di Jalan Babarsari 2 Tambakbayan Yogyakarta ini, para pelajar dan masyarakat dapat belajar berbagai koleksi yang berkaitan... more »
  • 23-05-14

    Konser Gala Orkes Ma

    Tahun ini, ‘Gala Concert’ kembali terasa spesial karena rekan-rekan mahasiswa dipimpim oleh konduktor tamu dari Jepang, Kanako Abe dan host konduktor... more »
  • 23-05-14

    Perbincangan Tentang

    Sebagai kota kecamatan, Lasem masih ramai. Bahkan bisa dikatakan kota kedua teramai setelah Ibukota Kabupaten Rembang. Pilihan kata Tiongkok Kecil... more »
  • 22-05-14

    Calon Mono Durung Me

    Pepatah ini mengajarkan kepada kita bahwa apa pun yang masih belum terjadi atau bersifat calon selalu saja memiliki kemungkinan untuk tidak terjadi... more »
  • 22-05-14

    Deniar Titih Aldyan,

    Deniar yang masih sekolah di SDN Loktabat 1 Kota Bantarbaru, Kalimantan Selatan, ini memainkan tokoh-tokoh wayang dengan cekatan dan lincah. Ditambah... more »
  • 22-05-14

    Karya Arsitek Romo M

    Karena lebih dari sekadar fisik, arsitektur Romo Mangun akan dapat dipahami dan dirasakan dengan lebih baik jika diikuti dengan membaca tulisannya... more »
  • 21-05-14

    Situs Gunung Padang.

    Judul : Situs Gunung Padang. Misteri dan Arkeologi  Penulis : Ali Akbar  Penerbit : Change Publication, 2014, Jakarta  Bahasa... more »
  • 21-05-14

    Membaca Puisi di Ten

    Hujan pun bertambah deras. Puisi terus dibacakan. Bunyi hujan sekaligus menjadi musik bagi pembacaan puisi Sastra Bulan Purnama edisi ke-32 yang... more »
  • 21-05-14

    Sanding Gendhing yan

    Pertunjukan ini memberikan proses belajar kepada pengrawit-pengrawit cilik, supaya mengerti makna dari karawitan dan mengenal karakter dari alat... more »
  • 20-05-14

    Retno Maruti, Tak Ke

    Pertunjukan tari selain sebagai santapan mata, juga bisa menjadi santapan batin yang konon bisa membuat orang bisa berpikir lebih positif. Itu yang... more »