Bedhaya Sang Amurwabhumi Untuk Rekonsiliasi

23 May 2015

Pentas tari ini digelar di tengah konflik internal keraton, setelah Sultan HB X mengeluarkan “sabda raja” dan “dhawuh raja”, yang isinya salah satunya mengganti nama putri sulung Sultan HB X GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. Sehingga pertunjukan tari klasik ini sekaligus adalah upaya untuk melakukan rekonsilasi antara raja dan “rayi dalem” (adik) yang ‘menolak’ sabda raja.

Pentas tari klasik gaya Yogyakarta, Bendhaya Sang Amurwabhumi untuk memperingati Jumenengan (naik takhta) ke-27 Sultan Hamengku Bawono X diselenggarakan Senin malam, 18 Mei 2015 di Pagelaran Keraton Yogya. Bedhaya Sang Amurwabhumi dimainkan 9 penari putri dengan kostum yang sama.

Pentas tari ini digelar di tengah konflik internal keraton, setelah Sultan HB X mengeluarkan “sabda raja” dan “dhawuh raja”, yang isinya salah satunya mengganti nama putri sulung Sultan HB X GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. Sehingga pertunjukan tari klasik ini sekaligus adalah upaya untuk melakukan rekonsilasi antara raja dan “rayi dalem” (adik) yang ‘menolak’ sabda raja.

Pementasan ini menjadi menarik, bukan hanya dari segi teknis tarian dan tata kostum serta tata lampu dan panggung, tetapi dilingkari konteks persoalan yang sedang hangat di keraton, sehingga Sultan merasa perlu mengajak adik-adiknya untuk kembali pada kebudayaan.

Bagi Sultan perbedaan pandangan dan pemikiran merupakan hal yang biasa terjadi, namun bukan berarti setiap perbedaan adalah permusuhan. Perbedaan bisa diselesaikan di ruang kebudayaan.

“Perbedaan yang dialami oleh bangsa, atau oleh kita sendiri seharusnya bisa diselesaikan dengan kembali pada budaya,” ujar Sultan HB X dalam memberi sambutan pentas Bedhaya Sang Amurwabhumi.

Sultan menegaskan bahwa kebudayaan memiliki tiga peran penting yang perlu diperhatikan. Pertama, kebudayaan memiliki kekuatan untuk mengikat cita-cita dan rasa kebersaman antarbangsa, antarkomunitas dan antarkeluarga. Kedua, kebudayaan merupakan upaya memelihara dan sebagai lahan pendidikan teologi.

“Ketiga, kebudayaan sebagai media rekonsiliasi dan akulturasi guna meningkatkan derajat hidup,” ujar Sultan HB X.

Pentas tari klasik ini sebagai ‘ruang budaya’ untuk saling bertemu antara Sultan HB X sebagai raja dengan rayi dalem, warga masyarakat dan relasi Sultan. Filosofi tari Bedhaya Sang Amurwabhumi, yakni setia pada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial, selaras dengan tujuan tersebut.

Semula pentas Bedhaya Sang Amurwabhumi ini hanya khusus untuk tamu undangan. Namun, banyak warga masyarakat datang ke Pagelaran untuk ikut menonton. Akhirnya mereka dibolehkan memasuki Pagelaran, setelah Sultan Hamengku Bawana datang dan memberi sambutan.

Dari kehadiran warga masyarakat dalam pentas tari klasik Bedhaya Sang Amurwabhumi, terkesan bahwa warga masyarakat sebenarnya tidak memasalahkan sabda raja dan dhawuh raja. Kalaupun pentas tari ini merupakan media rekonsiliasi, warga telah menyaksikan ‘menyatunya’ keluarga keraton, dan kiranya warga masyarakat akan merasa senang melihat harmoni dan kerukunan di keraton Yogyakarta.

Setelah pentas usai, mudah-mudahan rekonsiliasi melalui karya seni bisa saling membuka hati sehingga tercipta harmoni, seperti gerak pentas tari Bedhaya Sang Amurwabhumi.

Ons Untoro

Pentas Tari Bedhaya Sang Amurwabhmi untuk Jumenengan ke 27 Sultan Hamengku Bawono X di Pagelaran Kraton Yogyakarta, foto: Ons Untoro SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 01-12-15

    Lomba Lagu Puisi di

    Semua peserta memang terlihat masih tidak bisa membedakan antara lagu puisi dan musikalisasi puisi. Keduanya masih dicampuradukan, sehingga yang... more »
  • 01-12-15

    Tara Basro Ingin Ber

    Jatuh bangun di dunia film tak membuat perempuan berkulit eksotis ini patah arang. Berbagai casting dilalui sampai akhirnya ia berhasil membuktikan... more »
  • 01-12-15

    Petualangan Baru Ala

    Film ini memperlihatkan sisi romantis Aladdin yang dikemas secara jenaka dan kekinian dalam era digital. Film ini merupakan salah satu film yang akan... more »
  • 30-11-15

    Gaya Emha Memotret M

    Emha adalah juga seorang seniman. Adalah hal yang wajar apabila Emha khawatir dunia seni akan mengarah ke arah yang salah. Hanya asal mengikuti pola... more »
  • 30-11-15

    Sawitri (3): Menghad

    Selama tiga hari penuh, Sawitri bermatiraga dan berpuasa, agar pada waktunya, saat kematian Setiawan, Sawitri mendapat pertolongan, kekuatan serta... more »
  • 30-11-15

    Pelajar ACICIS Belan

    Suasana tawar-menawar pun menjadi kikuk karena masing-masing tidak memahami bahasa yang satu dengan yang lainnya. Bahasa isyarat menjadi penting... more »
  • 28-11-15

    Ngayogjazz 2015, Nge

    Satu hari penuh mulai dari pembukaan hingga penutupan Ngayogjazz 2015 desa ini terus-menerus didatangi pengunjung. Hingga saat malam tiba, penonton... more »
  • 28-11-15

    Topeng Kuno Cerita P

    Pameran topeng tersebut berlangsung di auditorium Museum Sonobudoyo lantai 1 dan 2, berlangsung selama 20—29 November 2015, dengan tema “The Power of... more »
  • 28-11-15

    Jumat Paing Hari Bai

    Jumat Paing, 4 Desember 2015, kalender Jawa tanggal 21, bulan Sapar, tahun 1949 Jimawal, hari baik untuk berbagai macam keperluan. Dan baik pula... more »
  • 27-11-15

    Buku Mardi Kawi, Acu

    Buku ini sering menjadi acuan bagi para arkeolog untuk membaca tulisan Jawa Kuna yang ada di relief candi-candi atau di lempeng-lempeng prasasti,... more »