Tembi

Makanyuk»TONGSENG EMPRIT PILIHAN MENU EKSOTIS

22 Dec 2008 03:25:00

Makan yuk ..!

"TONGSENG EMPRIT" PILIHAN MENU EKSOTIS

Pastilah orang sudah terbiasa mendengar --dan sudah menikmati—tongseng kambing, tongseng sapi dan tongseng ayam. Karena, ketiga jenis menu tongseng itu mudah sekali ditemukan di Yogya. Tidak hanya di kota, tetapi di sudut-sudut pedesaan pun, tiga jenis menu tongseng itu mudah sekali dicari. Ringkas kata, tiga jenis menu tongseng itu merupakan menu harian.

Namun, kiranya jarang dan hampir susah menemukan tongseng emprit. Rumah makan ‘Pulo Segaran’ di Rumah Budaya Tembi menyediakan tongseng yang ‘sulit’ ditemukan –bahkan mungkin tidak tersedia— di rumah makan yang lain.

Seorang tamu yang lama tinggal di Semarang, dan kini kembali menetap di rumah tempat tinggalnya yang lama di Yogya, mampir ke rumah makan ‘Pulo Segaran” di kompleks Rumah Budaya Tembi. Tamu itu, Indro Kuswarjo namanya, mengajak istri dan dua orang anaknya memilih menu tongseng emprit.

“ Saya hanya heran ketika lewat di depan Rumah Budaya Tembi, setelah dari Gabusan, melihat spanduk ada tulisan tongseng emprit, saya mampir. Saya merasa inimenu eksotik” kata Indro Kuswarjo.

Tongseng emprit hanyalah salah satu dari beberapa menu yang disediakan restoran di Pulo Segaran, di Tembi, jl. Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul. Selain tongseng emprit ada menu sop nila. Minumnya, yang menyenangkan, setidaknya untuk saya, adalah teh poci

Burung emprit kiranya orang mengenalnya. Bentuknya kecil dan biasa memakan padi di sawah. Orang bilang, burung emprit merupakan jenis burung yang tidak disukai petani.

Mengenai daging emprit, sebut saja begitu, pada tahun 1970-an saya sering memakannya, tetapi bukan dimasak tongseng, tetapi dibakar atau digoreng. Burung emprit, yang ketika itu mudah sekali dicari, anak-anak sering mencarinya di sawah, atau juga di pohon-pohon, yang biasanya membuat ‘susuh’ (rumah manuk).

Mengapa tongseng emprit?

Katanya menu itu diambil dari Serat Centhini. Orang Jawa mengenal karya sastra yang terdiri dari 12 jilid tersebut. Di dalam kisahnya, diantaranya menyebut resep masakanJawa. Tentu ada banyak menu lain yang disebut dan bukan hanya tongseng emprit. Karena menyajikan kisah macam-macam hal, Serat Centhini disebut juga sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa.

Kita fokuskan saja pada tongseng emprit di restoran “Pulau Segaran”. Kepada tamu yang memesan menu ini, akan disajikan satu porsi tongseng emprit yang terdiri dari 5 ekor emprit dan sepiring nasi. Rasa tongseng emprit ini, kalau pinjam istilah Bondan Winarno, seorang wisatawan kuliner, belum ‘mak nyus’. Namun demikian, tongseng emprit memiliki rasa tersendiri, yang sifatnya eksotik. Ringkas kata, bukan hanya menunya yang eksotik, rasanya juga eksotik.

Ketika makan tongseng emprit, yang hampir-hampir sulit ditemukan dagingnya, tulangnya tidak perlu dibuang. Sebab kalau hanya diambil dagingnya yang hanya sebesar ‘kepala ibu jari tangan’, orang tidak akan mendapatkan kenikmatan. Cara makannya, seluruhnya dinikmati, sehingga tulang-tulangnya yang tidak keras sekaligus bisa dikunyah dan ‘rasa eksotisme’-nya akan ditemukan.

Teh poci bisa menyertai tongseng emprit, meski tamu bisa juga memilih jenis minuman lain, misalnya wedang secang. Atau minuman yang konvensional, es teh, es jeruk. Satu teko teh poci dan satu buah cangkir kecil berikut gula batu, lagi-lagi, memberikan rasa eksotisme.

Kabarnya, tongseng emprit, mungkin lebih tepat daging emprit, dipercaya bisa menyembuhkan penyakit asma. Ada orang yang memesan tongseng emprit untuk dibawa pulang, katanya untuk mengobati anaknya yang sakit asma. Soal kepercayaan ini relatif. Namun, pada Serat Centhini, selain menyebut bermacam resep makanan, juga menyebut obat-obatan Jawa. Makanya. Serat Centhini disebut sebagai eksiklopedi kebudayaan Jawa seperti telah disinggung diatas.

Jika anda ingin ‘kembali’ ke Jawa masa ‘laloe’, datanglah ke Rumah Budaya Tembi di Bantul, dan masuki rumah makan ‘Pulo Segaran’ dengan memilih satu porsi tongseng emprit seharga Rp 10.800 dan teh poci seharga Rp 4.500,- sambil mendengarkan musik klenengan Jawa, anda diajak ‘menemukan’ Jogja masa ‘laloe’.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta