- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Berita Museum
- Pameran
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Kontak Kami
Beritabudaya»MEMBACA PUISI DALAM GUYURAN HUJAN
Rembulan, bila bulan purnama tiba, pastilah bundar dan sinarnya menerangi bumi. Tetapi, pada bulan purnama 10 Januari lalu, bulan tidak kelihatan. Awan gelap menutupi dan hujan tidak henti-hentinya mengisi malam. Namun demikian, di tengah hujan deras, para penyair tahun 1980-an, yang mengisi acara ‘Sastra Bulan Purnama’ di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta, tidak berkurang semangatnya. Para hadirin yang hadir, dan duduk di kursi, ada juga yang lesehan di tikar, tambah memberi semangat. Dalam guyuran hujan, puisi tidak henti-hentinya dibacakan dan hadirin yang hadir menyimak, meski suasana dingin meyelimutinya. Bahkan, pendengar radio streaming Tembi ada yang mengirim sms memberi komentar penyair yang sedang membaca.
Ya, ‘Sastra Bulan Purnama’ bulan Januari ini, yang menghadirkan tajuk ‘Membaca Puisi Mendengar Nurani’ diwarnai hujan yang deras. Bahkan, suara hujan sekaligus menjadi irama untuk mengiringi puisi demi puisi dibacakan. Bustan Basir Maras, yang tampil terakhir, dan hujan belum berhenti, sementara jam sudah menunjuk angka 10 malam, tampil membacakan puisi dengan penuh ekspresif. Agaknya, Bustan terbiasa tampil di panggung membacakan puisi-puisinya, sehingga ia tidak melupakan performance.
Tak kalah menariknya, penyair Dhenok Kristianti, yang kini tinggal di Bali, dengan gaya ke ibuan dan tidak mengurangi ekspresi puitiknya, membacakan dua puisinya dengan cukup mengagumkan. Satu puisinya yang lain, Dhenok meminta Maria Widy Aryani untuk membacakan. Setidaknya, pada malam sastra bulan purnama edisi 4, ada dua penyair perempuan yang ikut tampil, selain Dhenok ada Rina Ratih.
Selain pembacaan puisi, Slamet Riyadi Sabrawi yang sedianya akan menyajikan fragmen monolog, akhirnya tampil dengan dramatik reading, membawakan naskah yang berjudul ‘Kasir Kita’. Penampilan Slamet Riyadi Sabrawi menggunakan bahasa Pekalongan, sehingga memberikan suanasa tersendiri dalam acara itu.
Penampil yang lain dan menghadirkan musik puisi adalah Terry Perdanawati. Kolaborasi musik dan puisi yang dilakukannya, setidaknya ‘menghangatkan’ suasana sekaligus menambah musik alam yang berasal dari suara hujan.
Bambang Widiatmoko, yang sekarang tinggal di Jakarta, tampil dengan puisi-puisi lembutnya dan dibacakan dalam suara yang santun. Ekspresi Bambang yang kalem, seolah seperti puisinya yang teduh.
Rasanya, penampil lainnya, yang membacakan puisi-puisinya, semuanya hadir secara memikat. Purwadmadi, yang keihatan kalem kesehariannya, ketika membacakan puisinya, ternyata membuat pendengarnya kagum. Karena penampilan Purwadmadi penuh penghayatan. Demikian juga Marjudin, yang santai, sebagaimana puisi-puisinya, dengan duduk bersila,Marjudin membacakan puisi-puisinya. Budi Nugroho dan Sigit Sugito, tampil dengan menyenangkan dan menghangatkan suasana.
Krishna Miharja, dengan suara lantang, dan penampilan khas seorang yang tinggal di dusun Pirakbulus, Goedan, ternyata tampil dengan menggetarkan. Tiga puisinya ia bacakan dengan gaya seperti seorang orator. Krishna Miharja, yang sehari-harinya seorang guru matematika, sejak tahun 1980 sampai sekarang tidak berhenti menulis puisi. Tentulah puisinya tidak matematis, melainkan sangat imajinaif dan bertolak belakang dengan rumus matematika yang dia ajarkan pada murid-muridnya.
Sastra Bulan Purnama yang jatuh pada 10 Januari 2012 adalah edisi ke IV. Sebagai ruang untuk mendinamisir kehidupan sastra di Yogya, rasanya momentum ini perlu untuk dijaga bersama agar tidak berhenti ditengah jalan. Atau malah sekedar sebagai kegiatan yang, hanya ‘sekali lewat’. Kontinyuitas kegiatan, adalah sesuatu yang penting bagi kegairahan sastra di Yogya. Maka, bulan Februari ‘Sastra Bulan Purnama’ akan menampilkan penyair yang lebih muda lagi, yakni penyair yang mulai menulis tahun 1990, dan kualitas puisinya tidak kalah hebatnya dengan penyair sebelumnya.
Meski hujan, tak ada halangan sastra bulan purnama untuk diselenggarakan, walau tanpa dihiasi bulan bundar di langit.
Ons Untoro