Kesetiaan Juwaraya kepada Langen Mandra Wanara

Dengan jiwa yang jujur, dan sikap yang sederhana, dan setia, Juwaraya mampu melanggengkan warisan kesenian Langen Mandra Wanara, yang kini sudah berumur 122 tahun. Kesenian yang langka ini masih terus dipentaskan setiap tahun di dusunnya, sementara di dusun-dusun lain drama tari ini hanya tinggal kenangan.

Juwaraya, Ketua Sanggar ‘Langen Mudha Mandra Budaya’, dusun Sembungan, Bangunjiwo Kasihan, Bantul, DIY, pelestari kesenian Langen Mandra Wanara, foto: herjaka HS
Juwaraya, generasi keempat yang mampu menumbuhkan generasi berikutnya
untuk terus menyalakan api kesenian Langen Mandra Wanara

Pada hari Rabu, tanggal 5 bulan Juni (Nasional) atau bulan Ruwah (Jawa) tahun (Nasional) 1954, di dusun Sembungan, Kasihan, Bantul, DIY, lahirlah seorang anak laki-laki putra dari Bapak Djojowiyana. Bocah itu diberi nama: Juwaraya, akronim dari Juni, Ruwah, Rabu dan Djoyowiyana.

Juwaraya tumbuh sebagai anak desa yang lugu dan sederhana. Pada umur 13 tahun, ia untuk pertama kali pentas kesenianLangen Mandra Wanara yang ada di desanya. Kesenian ini bentuknya drama tari. Cara menarinya dengan posisi jengkeng (berlutut), dengan memfungsikan lutut sebagai penyangga. Dialognya menggunakan tembang (nyanyian). Oleh karenanya para pemain, terutama yang mendapat peran pokok, harus dapat nembang Jawa dan menari.

Langen Mandra Wanara artinya adalah: Langen = bersenang-senang, Mandra = berjumlah banyak, dan Wanara = kera. Diartikan secara bebas: orang banyak menari dengan menirukan gerakan kera yang bebas dan lucu untuk menyenangkan diri sendiri dan orang lain. Oleh karenanya cerita dalam kesenian ini menggunakan kisah Ramayana, yang dalam babak tertentu mengisahkan bala tentara kera yang jumlahnya amat banyak.

Kesenian Langen Mandra Wanara diciptakan oleh KPH Yudonegoro III, yang kemudian menjadi Patih Danurejo VII, pada tahun 1890 di luar tembok Keraton Yogyakarta, untuk ‘menandingi’ Beksan Wayang Wong (tari wayang orang) yang hanya ada di dalam tembok keraton.

Juwaraya, Ketua Sanggar ‘Langen Mudha Mandra Budaya’, dusun Sembungan, Bangunjiwo Kasihan, Bantul, DIY, pelestari kesenian Langen Mandra Wanara, foto: herjaka HS
Juwaraya di depan kostum Langen Mandra Wanara.
Ia sadar benar bahwa kesenian ini tidak punya nilai komersial,
karena itu hanya bisa terus hidup dengan semangat mandiri.

Dikarenakan sifatnya pertunjukan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat saat itu dan ditujukan untuk menyenangkan hati, maka Langen Mandra Wanara tumbuh berkembang secara luas di masyarakat kala itu. Di antaranya di wilayah kota Yogyakarta yaitu: di kampung Notoyudan, Kumendaman, Sosrowijayan, dan kampung Tegalgendu. Di kabupaten Sleman di desa Morangan, Triharjo, dan desa Kembangarum, Danakerta, Turi. Di kabupaten Bantul: di kelurahan Jambitan, Banguntapan, dan di dusun Sembungan Bangunjiwo Kasihan. Di dusun Sembungan ini Langen Madra Wanara dibentuk pada tahun 1930.

Pada 1967, saat Juwaraya bergabung untuk pentas, kesenian tersebut sudah hidup selama empat generasi. Mulai dari generasi IV inilah, Juwara menerima estafet untuk menumbuhkan generasi selanjutnya. Hingga sekarang (tahun 2012) di tangan Juwaraya telah tumbuh generasi V, VI dan VII yang menghidupkan kesenian Langen Mandra Wanara di dusun Sembungan.

Sementara di tempat lain kesenian ini telah mati, tidak demikian di dusun Sembungan. Sosok Juwara menjadi kunci dalam mempertahankan dan menghidupi kesenian yang semakin tidak popular ini. Dengan pemikiran yang sederhana, bahwa kesenian yang telah diwariskan itu baik, memberi rasa senang dan menjadi sarana untuk belajar banyak hal tentang kesenian Jawa beserta nilai-nilainya, maka Jiwaraya dengan semangat dan kemampuannya berusaha untuk menghidupkan terus kesenian tersebut.

Seiring dengan semangat untuk terus menyalakan api kesenian ini, Juwaraya membeli instrumen gamelan perunggu nada Slendro dan nada Pelog satu persatu hingga akhirnya mendekati komplit. Juga dilakukan pengadaan kostum. Dengan modal gamelan, kostum, dan tempat yang memadai, kesenian Langen Mandra Wanara mampu terus hidup. Namun, unsur terpenting yang membuat kesenian ini terus hidup di dusun Sembungan adalah minat dan semangat warganya, yang berhimpun dalam Sanggar ‘Langen Mudha Mandra Budaya’ yang artinya kesenangan kaum muda dalam banyak budaya.

Di rumah Juwaraya setiap hari Minggu mulai dari pukul 12.00 sampai 14.00, mereka berlatih tembang, tari dan juga karawitan. Di tempat yang sama, paling tidak sekali dalam satu tahun, kesenian Langen Mandra Wanara Sembungan ini pentas dengan biaya swadaya.

Bapak dari Menik (sarjana Tari), Menak (sarjana Geografi) dan Manik (sarjana Karawitan) ini menyadari bahwa untuk menghidupi kesenian yang popular pada dekade 1930-an ini tidaklah mungkin menggantungkan bantuan dari pihak lain baik pemerintah, perusahaan swasta maupun perorangan, karena secara materi kesenian ini tidak menjanjikan. Namun bukan berarti bahwa tidak ada bantuan yang datang dari pihak luar. Pernah pada dekade 1980-an Dinas Kesenian Kanwil Dikbud membantu pengadaan kostum untuk lima tokoh. Juga pada 1990-an diberi bantuan uang Rp 500.000 dari Dinas P & K Provinsi DIY.

Rumah Juwaraya, Ketua Sanggar ‘Langen Mudha Mandra Budaya’, dusun Sembungan, Bangunjiwo Kasihan, Bantul, DIY, pelestari kesenian Langen Mandra Wanara, foto: herjaka HS
Rumah limasan warisan dari orangtua Juwaraya yang menjadi tempat tinggalnya
sekaligus menjadi tempat latihan Langen Mandra Wanara

Pada Selasa 23 Oktober 2012, saat Tembi ngobrol dengan Juwaraya, Langen Mandra Wanara sudah berumur 122 tahun. Kesenian ini masih hidup sesuai dengan aslinya.

Pernah suatu kali seorang pemerhati menanyakan kepada Juwaraya: mengapa penarinya kok ‘jengkeng’ tidak berdiri? Dijawab oleh Juwaraya: aslinya memang jengkeng kecuali pada adegan perang, penari boleh berdiri. “Saya tidak berani mengubah apa yang diwariskan. Sejak pertama kali saya mengenal Langen Mandra Wanara ya seperti itu,” tutur Juwaraya dengan apa adanya.

Mungkin karena Juwaraya menghayati warisan itu dengan cara yang jujur, sederhana, dan setia maka Langen Mandra Wanara masih hidup hingga saat ini, sesuai dengan aslinya, di dusun Sembungan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, satu kilometer arah barat dari pabrik gula Madukismo.

herjaka HS


Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta