Bincang-bincang dengan Pak Sagio
Wayang Gagrag Jogyakarta
Sagio alias Mas Lurah Perwitawiguna (pemberian gelar nama dari Kraton Jogya) adalah seorang ahli tatah sungging wayang Kulit Purwa gagrag (corak/gaya) Jogyakarta yang tinggal di desa kerajinan Gendeng Bangunjiwa Kasihan Bantul. Ia didampingi oleh Sunarto dosen jurusan Kriya Fakultas Senirupa Institut Seni Indonesia Jogyakarta pada Jumat 20 April 2012 jam 19.00 sampai dengan jam 22.00 yang lalu menularkan ilmu serta pengalamannya perihal tatah sungging wayang kulit purwa gagrag Jogyakarta kepada para seniman dan budayawan pada acara Bincang-bincang Seni di Bentara Budaya Jogyakarta.
Menurut penuturanan Pak Sagio, munculnya wayang kulit purwa (yang dimaksud wayang kulit purwa adalah wayang yang menggambarkan tokoh-tokoh dari cerita Ramayana dan Mahabarata). gagrag Jogyakarta ini seiring dengan berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menyusul Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua (palihan negari) yaitu Surakarta dan Jogyakarta. Salah satu isi dari perjanjian tersebut bahwa Sultan Jogyakarta akan melanjutkan tradisi Mataram, sedangkan Sunan Surakarta akan membuat yang baru, termaksuk dalam hal ini Wayang Kulit Purwa.
Suasana bincang-bincang seni
Oleh karenanya sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, wayang kullit yang ada disebut dengan wayang kulit gagrag Jogyakarta. Walaupun pada kenyataan lahirnya wayang gagrag Jogyakarta secara utuh mulai pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII dan Sultan Hamengkubuwono VIII, karena sebelum Sultan Hamengkubuwono VII wayang kulit purwa yang ada di kraton Jogyakarta masih campuran dengan gagrag Surakarta.
Perintis seni tatah sungging wayang kulit gagrag Jogyakarta adalah dua orang dalang yang bernama Jayaprana dan Jaka Panatas anaknya. Kedua dalang bapak dan anak tersebut tinggal di Desa Danaraja daerah Wonosobo. Di tempat itu Jayaprana berbesanan dengan Ki Atak dengan menjodohkan Jaka Panatas dan Sutiyah, yang kemudian pasangan tersebut melahirkan anak laki-laki dan diberi nama Bagus Riwong. Sesungguhnya Jayaprana dan Jaka Penatas adalah abdi Pangeran Mangkubumi, namun dikarenakan Pangeran Mangkubumi perang melawan Belanda mereka berpisah. Setelah perang usai dan Pangeran Mangkubumi menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Jayaprana dan Jaka Panatas datang menghadap dan menyatakan diri sebagai abdi raja.
Karya-karya Pak Sagio
Di Kraton Jogya Jayaprana mengembangkan dan menciptakan tatah sungging wayang purwa dengan ciri yang menggambarkan seseorang yang sedang menari, untuk tokoh putra. Hasil karya Jayaprana dinamakan dengan gaya ‘Andhadhap’. Sedangkan Jaka Panatas mengembangkan dan menciptakan tatah sungging wayang purwa yang menggambarkan seseorang yang sedang dalam posisi berdiri dan berhenti, untuk tokoh putri. Hasil karya Jaka Panatas tersebut dinamakan dengan gaya ‘mandheg’. Wayang yang dihasilkan oleh keduanya dhalang Bapak dan Anak tersebut disungging (diwarna) dengan tehnik gradasisederhana, tidak rumit. Ada perbedaan yang mendasar diantara ke duanya, yaitu wayang karya Jayaprana tatahannya kurang halus dan sunggingannya kuat, diisi dengan motif ‘cawen.’ Sedangkan wayang karya Jaka Panatas tatahannya halus tetapi tehnik sunggingnya kalah kuat dibandingkan dengan tehnik sungging karya Jayaprana. Dalam proses selanjutnya karya Jayaprana dan Jaka Panatas saling melengkapi dan berpadu yang kemudian dikukuhkan menjadi tatah sungging wayang kulit purwa gagrag Jogyakarta.
Sementara itu Ki Atak (besan Jayaprana), membuat wayang purwa yang bentuknya gagah dan pendek atau kakkong, akronim dari kata tungkak (tumit) cedhak bokong (pantat). Jenis wayang purwa karya Ki Atak merupakan cikal bakal wayang purwa gagrag Kedu. Tidak ketinggalan dengan Bagus Riwong, anak Jaka Panatas dengan Sutiyah ini juga menciptakan tatah Sungging wayang kulit purwa yang berbeda dengan karya Jayaprana, Jaka Panatas dan Ki Atak dan disebut dengan gaya ‘Prayungan.’
Seperti yang dituliskan Pak Sagio pada makalahnya bahwa dari seni pahat ada motif yang khas pada gagrag Jogyakarta yaitu, mas-masan, inten-inten, bubukan, langgatan. Demikian juga pada seni sungging, wayang gagrag Jogyakarta mempunyai ciri khas pada tehnik gradasi, motif khusus (tlacapan, sawutan, drenjeman, bludiran dan isen-isen) dan dominasi warna emas.
Selain berbincang-bincang mengenai fisik wayang gagrag Jogyakarta, terlontar pula keprihatinan mengenai keberlangsungan pengrajin wayang kulit gagrag Jogyakarta. Dulu masih banyak anak-anak yang setelah pulang sekolah belajar seni tatah sungging di tempat saya, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Tutur pak Sagio dengan nada prihatin.
foto dan tulisan: herjaka
Artikel Lainnya :
- Perbedaan Sastra Anak di Dua Negara(30/01)
- Tata Krama Suku Bangsa Jawa di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah (01/04)
-
Menurut sumber, Dokumen 2 Institut Sejarah Sosial Indonesia, pelarangan buku di Indonesia sudah ada sejak era kolonial antara tahun 1920-1926. Saat itu adalah masa kejayaan kaum pergerakan yang sering disebut Bacaan Liar oleh negara kolonial, tujuan kaum ini adalah mendorong pembacanya agar turut berpartisipasi bersama kaum pergerakan untuk menentang kediktatoran " href="https://tembi.net/selft/2010/20100317.htm">Pelarangan Buku "Menutup Jendela Dunia"(17/03)- 20 Mei 2010, Primbon - Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari(20/05)
- 15 Maret 2011, Bothekan - KAYA TIMUN JINARA(15/03)
- 14 Februari 2011, Kuliner - HANGATNYA SOP B 2 SIANG HARI(14/02)
- JUDUL BUKU(03/06)
- Digitalisasi Manuskrip Warisan Ki Hadjar Dewantara Hampir Rampung(08/01)
- Serba Soto Di Tembi(27/02)
- KARYENAK TYASING SESAMA(03/01)