Titik Terang,
Perlawanan Ratna Sarumpaet Lewat Teater
Ratna Sarumpaet yang dikenal sebagai seniman dan aktivis, seringkali frontal dalam menyuarakan suara rakyat dan membela orang-orang kecil. Melalui karya pertunjukan teater berjudul ‘Titik Terang’ pendiri Ratna Sarumpaet Crisis Centre ini kembali mengupas masalah kemanusiaan, HAM, dan keadilan.
Sidang rakyat sedang berlangsung
Ini bukan kali pertama Ratna Sarumpaet membuat karya yang dengan lugas dan keras menyikapi segala bentuk ketimpangan, kekerasan, ketidakadilan dan pengkhianatan pada kemanusiaan. Ingat ‘Marsinah Menggugat’, monolognya yang kala itu terus dihadang dan dicekal dengan brutal. Namun ia tidak pernah berhenti, usai reformasi, tahun 2000 Ibu 4 anak ini melahirkan ‘ALIA, Luka Serambi Mekah’ menolak pembantaian yang berlangsung di Aceh, dan karya-karya lainnya.
Setelah vakum 7 tahun, ia kembali lewat karyanya ‘Titik Terang, Sidang Rakyat Dimulai’ yang berlangsung 3-6 Juli di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ratna mengajak kita untuk melihat kenyataan korupsi yang terus menggila, penjajahan kapitalis yang membuat kedaulatan rakyat dan harkat bangsanya terus dirampas dan masalah pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya.
Dengan tatanan panggung sederhana, pertunjukan diawali dengan sekumpulan anak kecil bernyanyi tentang harapan dan mimpi-mimpinya, kemudian Ratna Sarumpaet masuk berperan sebagai ‘Ibu’ yang berbicara mengenai ketidakpedulian dan pembiaran pemerintah, pengkhianatan, dan perampasan hak rakyat. “Kematian adalah satu-satunya jalan agar rakyat tak lagi merasakan sakit,” itu kalimat terakhir yang diucapkan Ratna.
Adegan kemudian berpindah ke peran Arma (Maryam Supraba), seorang putri koruptor yang meratap dan menangis menanggung malu karena perbuatan ayahnya. Kemudian disusul dengan kemunculan Arman (Rio Dewanto), kekasih Arma dan juga seorang aktivis, yang menyemangati Arma dan mengajaknya untuk bersama-sama membela hak rakyat.
Arman dan Arma sedang berbincang tentang ayah Arma yang seorang koruptor
Kemunculan Eddy (Teuku Rifnu Wikana) yang berperan sebagai jaksa, melakukan monolog dan memberikan banyak cerita tentang kondisi negara dengan sangat menarik. “Saya diminta untuk memberikan testimoni tentang bangsa ini, kondisi pemerintah dan lainya,” ujarnya. Adegan berlanjut dengan cerita-cerita Eddy tentang bagaimana ia melihat negara yang katanya tak ada lagi ada “petrus” dan pembunuhan massal, justru kini rakyat dibiarkan miskin, ditembaki seenaknya, dicap teroris tanpa diadili. “Rezim saat ini justru lebih jahat,” katanya.
Ia juga memberikan ilustrasi cerita tentang bagaimana anaknya dituduh sebagai pengguna narkoba dan dibuat sakaw di penjara yang akhirnya meninggal dunia. Juga tentang istrinya, Ema, yang masuk ke ranah politik dengan tujuan tulus mau menolong dan mendengarkan aspirasi rakyat. “Di Negri ini pengakuan partai bukan karena perbuatan baik yang dilakukan, tetapi berapa jumlah setoran”.
Tokoh Eddy kemudian mengatakan bahwa penguasa sesungguhnya negeri ini bukan kepala negara, tetapi pemodal asing. Mereka merekayasa teroris, tentara dan polisi saling tembak, rakyat dibuat tidak stabil sehingga mudah diprovokasi. “Demokrasi kita adalah demokrasi kapital. Negeri ini adalah negeri preman tanpa pemimpin,” teriak Eddy ke hadapan penonton.
Adegan monolog lain yang membuat pertunjukan ini semakin menarik adalah kemunculan Ria (Atikah Hasiholan) yang berperan sebagai pelacur. Kemunculannya dari tengah bangku penonton dengan dandanan serba menor, dengan pakaian seksi berwarna merah, membuat penonton terpukau dengan aktingnya.
Ratna Sarumpaet sebagai tokoh ‘Ibu’
Meski sudah beberapa kali berakting dalam film dan serial FTV, Atikah bisa membawa dirinya memerankan tokoh Ria, karena ini bukan kali pertama ia berperan dalam pertunjukan teater. Tercatat beberapa judul antara lain,‘Terpasung’ (1996), ‘Anak-anak Kegelapan’ (2003), dan ‘Pelacur & Sang Presiden’ (2005) diperankan perempuan kelahiran 3 Januari 1982 ini dengan baik.
Dalam perannya sebagai pelacur, malam itu Atikah juga diberikan peran monolog yang memberikan testimoni, namun dari kacamata seorang pelacur. “Aku nggak peduli apakah aku pantas memberikan pendapatku malam ini tentang kondisi negara dan rakyatnya, yang pasti sudah lama aku sakit hati melihat kondisi rakyat,” katanya lantang dengan logat Manado.
Dalam lakonnya, Atikah juga bercerita tentang kondisi temannya, Meta yang orangtuanya diteror ditembaki oleh aparat karena ‘melawan’ kebijakan-kebijakan yang merugikan orangtuanya sebagai petani. Juga temannya Titi yang berangkat dari kampung untuk bekerja sebagai TKW, malah ditipu, disekap dan dijadikan pelacur rumah bordil di Korea Selatan. “Aku tutup testimoni ini dengan kata, penguasa negeri ini lebih suka memelihara koruptor, sementara rakyatnya dibiarkan miskin, satu lagi sampaikan salamku kepada menteri tenaga kerja kita, siapa namanya Muhaimin itu, jangan sekali-kali coba mendekatiku, karena aku akan terus berjuang demi Titi,” tutupnya sambil berlalu.
Penonton pun tertawa riuh mendengar penuturan terakhir Atikah yang malam itu berperan sebagai pelacur. Adegan ‘Sidang Rakyat’ pun dimulai, dengan set panggung seperti dalam persidangan lengkap dengan hakim dan jaksanya juga penonton sidang. Arman dan Eddy sebagai jaksa akan membacakan tuduhan-tuduhan terhadap para tersangka dalam kasus ‘Bank Abad’.
Atikah Hasiholan berperan sebagai pelacur
Tersangkanya adalah gubernur bank, mentri keuangan, kepala negara. Lucunya para tersangka ini tidak diperankan oleh pemain, kursi penonton dibiarkan kosong. Dalam adegan ini sindiran-sindiran terlihat jelas atas kasus Bank Century yang sampai saat ini tak jelas bagaimana kelanjutannya, aspirasi rakyat dan tuduhan-tuduhan yang dijelaskan oleh jaksa kepada para tersangka terlihat gamblang.
Adegan diakhiri dengan Arma, putri koruptor yang memilih bunuh diri karena tidak mau hidup menanggung malu perbuatan ayahnya. Ratna Sarumpaet muncul kembali, perannya sebagai ‘ibu’ sekaligus narator dalam pertunjukan ini sangat kuat. Kalimat-kalimat yang mengalir dari mulutnya adalah kalimat melawan, perjuangan demi memperjuangkan nasib rakyat. “Saya tidak pernah takut diburu oleh para intelijen di luar sana, atau diancam oleh para preman. Saya akan tetap berjuang dan melakukan pergerakan demi bangsa dan negara,” katanya sambil menutup pertunjukkan.
Dari awal sampai akhir pertunjukan, terlihat jelas bahwa ‘Titik Terang’ ini adalah alat perjuangan tentang kemiskinan, kedaulatan rakyat dan konstitusi yang diinjak-injak. Di panggung ini kasus Century diungkap, juga beragam masalah yang ada di Indonesia. “Ini karya saya yang paling keras, namun saya berharap lewat karya ini selain menghibur juga bisa memberikan pengetahuan kepada orang-orang yang tidak menyadari betapa besarnya masalah yang terjadi di Indonesia tercinta ini,” papar wanita ini, yang menggarap naskahnya bersama Yulden Elwin ini.
Naskah & foto:Natalia S.
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Pagelaran Mahakarya Batik Bantul 2013 di Tembi(13/07)
- ArtJog13 Menghadirkan Banyak Kapal Di Taman Budaya Yogyakarta(12/07)
- Karyawan PT Astra Internasional Jakarta Belajar Budaya di Tembi(12/07)
- Jogja Jadi Kota Naga(10/02)
- Membaca Puisi Membasuh Hati Di Tembi(09/02)
- Grebeg Mulud Mengakhiri Tradisi Sekaten(08/02)
- Tiga Perempuan Mencuci di Kali Gedhe(07/02)
- Nasib Situs Budhis dan Missing Link Perkembangan Agama Budha Abad 14(05/02)
- Landung Membaca Esai untuk Bol Brutu(03/02)
- Catatan Singkat dari Peluncuran Buku How Brutu Are You(02/02)