Tembi

Berita-budaya»SUSAH DAN MAHAL CARI SEKOLAH

11 Jul 2011 09:21:00

SUSAH DAN MAHAL CARI SEKOLAHSetiap tahun selalu saja ada keluhan, susahnya mencari sekolah untuk anaknya. Selain susah, sekolah sekarang mahal sekali. Selalu saja, setiap tahun, orang tua murid saat memasukkan anaknya dimintai sumbangan, istilahnya ‘uang gedung’, tetapi setiap tahun, para murid dan orang tua murid, melihatnya bahwa gedungnya tidak kunjung berubah. Dari dulu, sampai murid sudah lulus dan ganti murid baru, gedung sekolahnya, masih seperti sebelumnya.

Pendidikan dan uang sudah tidak bisa lagi dipisahkan. Orang tua yang tidak memiliki uang, tidak bisa menyekolahkan anaknya, apalagi masuk sekolah favorit. Pendidikan tidak bisa berjalan tanpa uang (banyak), dan uang bisa dipakai untuk modal menyelenggarakan pendidikan. Jadi, pendidikan bukan lagi sebagai proses untuk mengembangkan pikiran dan mengubah watak, melainkan pendidikan ditempatkan sebagai komoditas yang dijual kepada khalayak, karena itu perlu iklan, sebagaimana perusahaan mengiklankan produknya.

Untuk masuk di SMA swasta, seorang tua harus tawar menawar pada pihak penyelenggara sekolah berapa uang sumbangan, atau uang gedung yang harus diberikan pada sekolah tersebut. Pada akhirnya, karena orang tua tersebut ‘dianggap’ tidak banyak uang, disepakati memberi sumbangan masuk sebesar Rp 10 juta dan uang SPP tiap bulan sebesar Rp. 500 ribu. Tentu saja, ada orang tua yang memberi sumbangan lebih besar dari jumlah yang disebutkan itu. Ada juga yang masuk SMP dikenai sumbangan untuk sekolah, selain SPP sebesar Rp 5 juta.

Di Yogya, kita bisa bayangkan bagaimana mahalnya sekolah dibandingkan UMR Propinsi yang besarnya tidak lebih dari Rp 1 juta rupiah. Seorang pegawai swasta di Yogya, jika menyekolahkan anaknya dan tiap bulan harus membayar SPP sebesar Rp 500 ribu, tentu akan mengurangi biaya hidup kesehariannya.

Negara, yang mestinya bertanggung jawab terhadap pendidikan warganya, malah membiarkan pendidikan diambil swasta sehingga orang tua yang tidak memiliki uang banyak susah mengaksesnya. Pada tingkat menengah pertama dan menengah atas, yang menggunakan sistem NEM (nilai ebtanas murni), anak-anak yang NEM-nya rendah tidak bisa mendapatkan sekolah yang dikategorikan sebagai favorit, karena sekolah kategori itu telah ‘diserbu’ anak-anak yang NEM-nya tinggi. Belum lagi ada sekolah yang dikategorikan bertaraf internasional, yang dengan sendirinya menciptakan ‘klas’ diantara para siswa lainnya.

Imajinasi favorit dan sekolah bertaraf internasional sebenarnya ilusif, karena tidak selalu ‘menjamin’ anak yang masuk ‘dijalur’ itu memiliki kecerSUSAH DAN MAHAL CARI SEKOLAHdasan yang prima. Karena pada dasarnya, proses belajar tidak bisa diwadahi dalam kategori sekolah favorit dan bertaraf internasional. Belajar adalah satu proses yang terus menerus tiada henti, dan anak perlu menjalaninya seperti itu.

Dalam kata lain, favorit atau bertaraf inetrnasional, agaknya sekedar untuk membedakan besaran biaya sekolah, dan fasilitas yang diberikan, tetapi metode yang digunakan tidak jauh berbeda. Kalau favorit dan bertaraf internasional artinya mahal, dengan demikian bertaraf internasional adalah cara lain untuk tidak jujur. Selain itu, apa yang dimaksud dengan ‘bertaraf internasional?’. Apakah karena pengantarnya bahasa Inggris, sehingga disebut(-kan) sebagai bertaraf internasional? Internasional mana? Tingkat Asean, tingkat Asia, atau tingkat dunia, yang melampaui dunia barat? Orang tua perlu kritis mempertanyakan apa yang dimaksud dengan bertaraf internasional.

Kita memang tahu, bahwa masyarakat tidak bisa lepas dari pendidikan formal. Karena sistem yang berlaku dimasyarakat adalah member tempat pada orang yang memiliki pendidikan formal, lebih khusus lagi memiliki gelar kesarjanaan. Maka, seringkali kita menemukan orang yang gelarnya lebih dari satu, tetapi kapasitas berpikirnya tidak seperti jumlah gelar yang disandang.

Dalam kata lain, sistem yang berlaku dimasyarakat kita bukan menghormati orang yang cerdas atau pandai, atau juga memiliki kemampuan, tetapi memiliki gelar kesarjaaan. Karena itu, seringkali kita dengar, orang membeli gelar kesarjanaan, atau perguruan tinggi ‘obral gelar kesarjanaan’.

Merespon pendidikan kita, yang sebut saja, runyam, banyak meluluskan anak didik, termasuk sarjana, tetapi kapasitasnya diragukan, pilihan yang perlu diambil, tetap terus mengikuti pendidikan formal, tetapi tidak henti-hentinya terus belajar sendiri. Mencari pengetahuan yang tidak ada di tempatnya belajat, dengan cara memasuki ruang-ruang alternative, perpustakaan, forum-forum diskusi, lembaga penelitian.

Untuk mengembangkan pengetahuan, ada banyak cara, tidak hanya lewat sekolah. Maka, kita harus terus mengupayakan. Karena kita sering temukan, lepas dari pendidikan tinggi, bahkan dari luar negeri, kapasitas berpikir dan karakternya tidak mencerminkan kualitas pendidikannya. Pada konteks ini, pen didikan memang mahal, tetapi terasa sia-sia,.

Belajar terus menerus tanpa henti, adalah cara lain untuk menambah pengetahuan. Karena itu, kita harus melakukannya.

Ons Untoro

Foto-foto diambil dari browsing di geogle




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta