Sudah Sepantasnya Maret Nanti Sastra Bulan Purnama Mengenang Linus Suryadi

Linus Suryadi meninggal pada usia 48 tahun. Menjelang meninggal, Linus Suryadi sedang menulis prosa lirik yang berjudul ‘Dewi Anjani’. Prosa ini belum selesai.

Linus Suryadi penyair yang tinggal di dusun Kadisobo. Kalurahan Trimulyo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Foto: Dokumentasi Ons Untoro
Linus Suryadi dengan Vespa kesayangannya

Publik sastra di Indonesia, apalagi di Yogyakarta, mengenal penyair Linus Suryadi. Semasa hidupnya Linus, demikian panggilan akrabnya, produktif menulis karya sastra, terutama puisi dan esai. Salah satu karyanya, yang pada tahun 1980-an menjadi fenomena karya sastra di Indonesia berjudul‘Pengakuan Pariyem’. Karya ini merupakan puisi panjang, yang oleh Umar Kayam disebut sebagai Centhini modern.

Mungkin tidak banyak orang yang tahu, terutama orang yang tidak tinggal di Yogya, bahwa Linus Suryadi sehari-hari tinggal di Dusun Kadisobo, Kalurahan Trimulyo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Tahunya, Linus tinggal di Yogya.

Jarak antara Kadisobo dengan Yogyakarta, kira-kira 20 km. Hampir setiap hari dari Dusun Kadisobo ia menyusuri dusun-dusun lainnya untuk menuju kota Yogya, karena aktivitas kesehariannya sebagian besar di kota Yogya. Di kota Yogya, Linus bisa menuju banyak area menemui banyak sahabatnya, misalnya di Pusat Studi Kebudayaan UGM ia bisa bertemu dengan Umar Kayam, Bakdi Sumanto, Ashadi Siregar, Faruk HT dan sejumlah seniman lainnya.

Atau Linus Suryadi mengunjungi sahabat lainnya, misalnya Landung Simatupang, yang ketika itu masih tinggal di Kemetiran. Atau kalau tidak, dia bertandang ke Kompas Yogya di Kotabaru untuk berbincang dengan Hariadi Saptono, atau mampir di Pusat Kebudayaan Indonesia Belanda ‘Karta Pustaka’ untuk ngobrol dengan direktrisnya, Anggi Minarni. Pendek kata, Linus Suryadi di kota Yogya bisa bertemu banyak sahabat, termasuk penyair muda, yang meminta ‘belajar’ menulis puisi darinya.

Dari Kadisobo, Linus Suryadi mengenderai vespa. Kendaraan ini, sampai akhir hayatnya selalu menemani Linus kemana pun pergi. Vespa itu menjadi saksi pergaulan Linus dengan banyak teman. Linus Suryadi adalah seorang penyair yang mempunyai perhatian pada relasinya. Dengan tekun, Linus memperhatikan sekaligus membimbing penyair muda yang mulai tumbuh.

Sejumlah karya sastra, terutama puisi dan esai karya Linus Suryadi sudah diterbitkan. Misalnya kumpulan sajak yang berjudul ‘Langit Kelabu’ diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1980. Kumpulan sajak yang lain, ‘Perkutut Manggung’ diterbitkan Pustaka Jaya, Jakarta tahun 1986. Judul yang lain ‘Rumah Panggung’ dan ‘Kembang Tunjung’, keduanya diterbitkan Nusa Indah, Ende, Flores tahun 1988. Masih ada beberapa kumpulan sajak dan esainya lainnya yang diterbitkan oleh penerbit lainnya.

Linus Suryadi telah menerbitkan banyak karya sastra, salah satu yang fenomenal Prosa Lirik ‘Pengakuan Pariyem, Foto: Ons Untoro
Prosa Lirik Pengakuan Pariyem: Centhini modern

Sebagai penyair nasional, Linus Suryadi dikenal luas di kalangan publik sastra. Tetapi, kesehariannya di Dusun Kadisobo, oleh ibunya, Linus Suryadi tidak ditempatkan sebagai penyair yang dikenal luas, melainkan sebagaimana umumnya anak di desa. Dan karena itu, ibunya dengan bersahaja memanggil Linus Suryadi laiknya memanggil anaknya.

“Le, Nus iki lho kopimu (Nak, Nus ini kopimu),” begitulah ibunya menyapa.

Linus Suryadi lahir 3 Maret 1951 dan meninggal pada 30 Juli 1999, pada usia 48 tahun. Menjelang meninggal, Linus Suryadi sedang menulis prosa lirik yang berjudul ‘Dewi Anjani’. Prosa ini belum selesai, tetapi beberapa serinya pernah dipentaskan dan dibacakan di beberapa tempat, diantaranya di Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta.

Prosa liriknya yang berjudul ‘Pengakuan Pariyem’ pertama kali diterbitkan Penerbit Sinar Harapan tahun 1981. Kemudian diterbitkan Pustaka Pelajar tahun 1999, dan yang ketiga tahun 2009 diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Menurut Ashadi Siregar, Linus Suryadi, yang dikenal sebagai penyair yang kuat dalam lirik, kiranya menemukan kesempatan luas untuk merefleksikan suasana lingkungan melalui karya ini (Pariyem) dan dapat dilihat sebagai pujangga Jawa lama dahulu, yang dengan kekuatan lirik mengungkapkan dunia di luar dirinya setelah melalui pemikiran Kejawen.

“Sebagai orang kejawen, Linus memang jadi pribadi yang khas, lebih-lebih di tengah-tengah keluarganya yang Katolik taat,” kata Ashadi Siregar.

Karena itu, untuk mengenang Linus Suryadi, yang lahir di bulan Maret, Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan Oleh: Tembi Rumah Budaya, pada bulan Maret 2013, salah satunya, akan diisi dengan membaca puisi-puisi karya Linus Suryadi AG, termasuk membaca prosa lirik ‘Dewi Anjani’ yang belum rampung dan belum diterbitkan.

Ons Untoro



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta