Tembi

Berita-budaya»SUARA DAUN, SUARA HATI

09 Jun 2011 07:08:00

SUARA DAUN, SUARA HATITajuk pameran lukisan menghadirkan nuansa romantis, yakni ‘Suara Daun, Suara Hati’. Seperti hendak menggayuh suasana puitis. Pameran dua pelukis, Suitbertus Sarwoko dan Widoyo berangkat dari masa lalu yang berbeda, dan visual yang, sama sekali berlainan. Pameran ini dilakukan di Bentara Budaya Yogya, Jum’at (3/6) yang lalu dan akan berakhir pada Minggu (12/6).

Daun-daun jati, kisah masa lalu Suitbertus Sarwoko tidak pernah lenyap dari ingatannya. Kisah masa kecil yang sehari-harinya terbiasa dengan hutan jati, dan sering mendengar suara daun jati yang tertiup angin, jatuh dan diinjak kaki, rupanya membekas dalam diri Sarwoko. Ingatan yang terus hidup itu,SUARA DAUN, SUARA HATIakhirnya dituangkan dalam karya lukis. Simbol-simbol daun jati, dalam berbagai macam visual, agaknya upaya Sarwoko untuk mengajak publik ‘mendengarkan’ suara daun.

Jadi, bagi Sarwoko, ‘suara daun’ bukan sebagai kalimat puitis, tetapi realitas masa lalu yang, hampir saban hari dia ‘dengar’.

Lalu suara hati?

Ini kisah yang lain lagi dari apa yang dialami oleh Widoyo. Rasa kecewa terhadap keadaan yang melingkari kehidupannya, membuat hatinya marah. Celakanya, dalam kemarahan Widoyo,SUARA DAUN, SUARA HATIjuga seperti dialami kebanyakan orang, tidak mampu melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan yang semakin tidak karuan. Agaknya, apa yang divisualkan oleh Widoyo adalah upaya ‘mendengarkan’ suara hati untuk merespon keadaan yang semakin tidak menyenangkan.

Tapi kenapa dia ambil celeng untuk menyampaikan ‘suara hati’-nya?

Barangkali karena celeng, bisa mewakili amarahnya untuk mengumpat. Dan biasanya, orang terasa mantap kalau mengumpat dengan kata: Celeng!. Dalam kata lain, celeng yang divisualkan oleh Widoyo merupakan bentuk umpatan.

Melukis memang bukan sekedar persoalan teknis, melainkan perlu memikirkan ‘content’ dan yang tidak kalah penting adalahSUARA DAUN, SUARA HATImemiliki sikap pembelaan atau keberpihakan. Joko Pekik, yang dikenal sebagai ‘pelukis celeng’, karena karya ‘ trilogi celengnya’ sempat menjadi wacana. Saat membuka pameran lukisan karya Suitbertus Sarwoko dan Widoyo diantaranya mengatakan:

“Seorang pelukis, selain perlu memiliki identitas, juga harus berani konfrontasi melawan penguasa-lupa, dengan demikian karya lukisnya menjadi memliki makna”.

Suwarno Wisetrotomo, seorang kurator dan pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, pada pengantar katalog diantaranya mengatakan:

“Kedua pelukis ini sama-sama menyuarakan renuSUARA DAUN, SUARA HATIngan-renungannya. Suitbertus menyuarakan melalui ‘riwayat hidup’ sang daun yang ditata (digubah) ulang, hingga mengundang makna (dan tafsir) yang lebih luas tentang riwayat kehidupan. Sementara Widoyo ingin segera menyuarakan kesaksian-kesaksiannya atas peristiwa sehari-hari yang mengganggu kata hatinya. Karya-karyanya dapat dilihat sebagai artefak ‘riwayat hati’ Widoyo yang galau. Menyuarakan sesuatu yang tak sanggup bersuara sendiri, apalagi dengan segenap kebenaran dan kejujuran, pastilah akan memperkaya jiwa yang menyuarakan atau jiwa-jiwa khalayak yang lebih luas. Keduanya kini tengah mendatangi publik di ruang pameran Bentara Budaya Yogyakarta”

Dua visual yang berbeda, namun sebenarnya keduanya tidak bisa dipisahkan. Karena daun mudah ditemukan di hutan dan celeng atau babi hutan mudah pula ditemukan di hutan. Dengan demikian ‘suara daun, suara hati’, sesungguhnya berada dalam satu ‘area’, dan berangkat dari pengalaman yang berbeda.

Dengan kata lain, ‘suara daun, suara hati’ bukan kisah mengada-ada. Hanya saja muatan keberpihakannya belum kedengaran ‘suaranya’.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta