Tembi

Berita-budaya»SASTRA KISAH PERISTIWA 65

23 Aug 2011 07:11:00

SASTRA KISAH PERISTIWA 65Memori peristiwa 1965 tidak pernah lepas dari ingatan. Selain upaya orde baru melakukan reproduksi ingatan melalui film G30S/PKI, yang setiap memperingati peristiwa 65 selalu diputar ditelevisi dan wajib dilihat oleh para siswa. Tentu saja, film versi penguasa ini mempunyai misi yang bebeda dengan karya sastra yang juga mengkisahkan peristiwa 65.

Ada banyak karya sastra yang latarnya mengambil peristiwa 65, misalnya ‘Sri Sumarah dan Bawuk’ karya Umar Kayam. Atau juga karya-karya Pramudya Ananta Toer. Pada masa orde baru, sastra yang mengambil kisah peristiwa 65, apalagi ditulis sastrawan dari Lekra, pastilah tidak bisa beredar secara terbuka.

Ini ada satu karya sastra yang (kembali) mengkisahkan peristiwa 65 ditulis oleh Tinuk Yampolsky dengan judul ‘Candik Ala 1965’. Diskusi novel ini dilakukan di Bentara Budaya Yogyakarta, Rabu (17/8) lalu dengan narasumber Dr. Budiawan, sejarawan dan penulisnya, Tinuk Yampolsky.

Sebelum diskusi dimulai dibacakan salah satu judul bagian dari novelnya, untuk memberikan imajinasi pada para hadirin yang, barangkali belum membaca. Di ruang diskusi juga disediakan buku yang didiskusikan dengan harga Rp 40.000,-.

Budiawan melihat, sejak Soeharto jatuh pada bulan Mei 1998, telah terbit puluhan cerita pendek (cerpen) dan novel tentang tragedi 1965. Berbeda dari karya-karya terdahulu,SASTRA KISAH PERISTIWA 65 novel ini (Candik Ala 1965, Ons) tidak bertutur mengenai peristiwa 1965 itu sendiri, tetapi lebih tentang torehan-torehan yang mengendap di dalam diri sebagian warga bangsa.

“Jadi bukan peristiwa 1965 itu sendiri yang dikisahkan, melainkan trauma yang diakibatkannya yang merupakan kisah pokok novel karya Tinuk Yampolsky ini” kata Budiawan.

Hal yang dilihat oleh Budiawan dari novel ‘Candi Ala 1965’ ini ialah mengenai memori trauma mengenai peristiwa 1965. Peristiwa yang menelan banyak korban mati atau dipenjarakan, sesungguhnya tidak berhenti pada peristiwa itu saja. Rentetannya panjang sampai orang yang sama sekali tidak terlibat peristiwa 65 dan lahir setelah peristiwa 65, masih terkena ‘getahnya’, karena dianggap tidak bersih lingkungan.

Kisah traumatik itulah yang oleh Tinuk Yampolsky melalui novelnya ‘Candik Ala 1965’ disebutnya sebagai beban generasi. Bagi Tinuk, gerenarasi yang ketika peristiwa itu masih belia, atau yang lahir sesudahnya, harus menanggung resiko politik yang tidak diketahuinya.

Tokoh novel ini bernama ‘Nik’. Sebuah nama pendek yang gampang diingat setiap kali selesai membaca. Di tahun 1980-an, demikian menurut Budiawan, di zaman yang mulai resah dan gelisSASTRA KISAH PERISTIWA 65ah, Nik yang telah tumbuh dewasa pun hidup dibawah baying-bayang kekhawatiran kedua orang tuanya perihal nasib dirinya yang kini bekerja sebagai seorang penyiar radio.

“Bayang-bayang kekhawatiran itulah yang membuatnya tidak pernah berterus terang tentang kegiatan-kegiatan yang ia lakukan:bergaul dan masuk kedalam komunitas para seniman yang kritis dan vocal terhadap para penyelenggara Negara” ujar Budiawan.

Dari novel karya Tinuk Yampolsky, dan novel-novel lain sejenis, kita bisa melihat, bahwa ingatan akan sejarah masa lalu bangsa kita pernah mengalami ‘zaman gelap’, ialah apa yang dikenal dengan sebutan pertistiwa 1965. Bukan saja menelan banyak korban dan kekerasannya bersifat massal, melainkan dibarengi penistaan akan harkat kemanusian dan sekaligus membenarkan kekerasan itu sendiri.

Membaca sastra yang mengkisahkan peristiwa 1965, sebenarnya sedang membuka ingatan bangsa pada masa lalu yang tidak pernah bisa dilupakan. ‘Candik Ala 1965’ karya Tinuk Yampolsky melalui ‘Nik’ tokohnya sedang membuka ingatan pembaca akan sejarah masa lalu bangsanya sendiri.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta